Sesaat suasana berubah hening. Hanya suara helaan napas mereka yang memburu, karena keduanya saling menahan emosi.
Setelah suasananya mulai terlihat membaik, aku lekas mengajak Ibu ke teras belakang, mengajak dia berbicara empat mata menanyakan ada perlu apa dia kembali ke Jakarta."Ibu malas tinggal di kampung. Semua tetangga membully karena Rani masuk bui. Kamu sih, menghadapi perempuan macam Alina saja tidak mampu. Cemen banget jadi laki-laki!" jawab Ibu masih dengan emosi meninggi."Coba saja Ibu yang ngomong sama Alin. Aku sudah mencoba tetapi dia tidak mau mencabut tuntunannya. Dia malah mengancam akan menghancurkan hidup aku. Dan Ibu tahu, sekarang aku sudah dipecat dari pekerjaan. Aku nganggur!""Nganggur? Kamu jangan ngawur! Kalau kamu jadi pengangguran, terus Ibu nanti siapa yang ngasih uang? Siapa yang bantu Ibu bayar kuliah Rani? Harusnya kamu menolak dong pas dipecat. Jangan cuma diam pasrah. Kamu kan kerja di perusahaan itu sudah tah"Ngeliatinnya nggak usah begitu juga kali, Bu. Biasa saja. Lagian hanya bercanda kok!" Dia terkekeh melihat ekspresi yang aku tunjukkan. Terlihat lucu mungkin."Bercandanya nggak lucu!" sungutku pura-pura merajuk.Aku dan Dafa memang sudah saling mengenal jauh sebelum aku bertemu dengan Mas Alex. Hanya saja saat itu kami tidak terlalu akrab, hanya bertemu sesekali saja dan itu pun secara tidak sengaja."Yasudah, Daf. Sudah jam tujuh malam. Aku mau pulang dulu. Maura juga sepertinya sudah ngantuk." Menoleh ke arah gadis kecilku yang sedang berbaring di sofa sambil memainkan ponsel."Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya.""Aku nggak pernah ngebut kalau lagi sama Maura.""Bagus kalau begitu. Oh, iya, Lin. Lusa temenku pulang ke Jakarta. Kamu jadi menggali informasi tentang Alex dan anak-anaknya?""Jadi dong. Aku penasaran, siapa sebenarnya perempuan di masa lalu Mas Alex dan kenapa mereka sampai berpi
"Kamu ngomong apa sih, Tiara. Di sini Alin yang diselingkuhi. Masa iya orang dizalimi harus menuai karma juga? Aneh kamu!" Dafa berkata dengan nada meninggi. Rona tidak terima terlihat jelas di wajah teduh laki-laki yang baru kali ini aku dengar meninggikan nada bicara itu."Lha, saya itu ngomong apa adanya, Daf. Siti juga kan tidak bersalah? Jadi Alin tidak boleh juga dong, memperlakukan Siti seolah-olah dia itu penjahat yang harus dihakimi. Seharusnya kalau Alex selingkuh sama Siti, Alin juga harus introspeksi diri!" "Laki-laki yang selingkuh kok perempuan yang disuruh introspeksi. Aneh! Apa kamu lupa kalau kamu itu juga wanita? Bagaimana kalau kamu berada di posisi Alin. Apa kamu masih bisa menyuruh diri kamu untuk introspeksi diri?!" Sang pemilik rahang tegas menatap bengis wajah temannya. Sementara aku, hanya bisa diam membisu, mencoba mencerna ucapan Tiara yang terkesan memojokkan itu.Tuhan, apakah benar aku juga sedang Engkau beri karma
"Pagar makan tanaman. Mengaku sahabat tetapi menusuk dari belakang. Pantas saja Alina menolak untuk kembali kepadaku. Ternyata kamu yang mempengaruhi dia, Dafa. Breng-sek. Sahabat macam apa kamu?""Aku tidak pernah mengkhianati kamu, Alex. Semuanya tidak seperti yang kamu lihat. Kamu salah paham. Aku hanya sedang menenangkan hati Alina yang tengah terluka!" Dafa menyahut seraya mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah."Bulshit! Mana ada maling ngaku. Bilang saja kamu sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Dengar, Dafa. Sampai mati pun aku tidak akan pernah melepaskan Alina untuk kamu!" Mas Alex kembali mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak kembali meninju wajah sabatnya akan tetapi segera kudorong tubuh tinggi besarnya itu."Kamu jangan main kasar sama Dafa. Kami memang tidak memiliki hubungan apa-apa selain teman. Lagian kalaupun kami memiliki hubungan spesial memangnya apa urusannya sama kamu. Kamu urus saja gundik kamu di rumah
POV Author.Aldo terus melajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju kediaman sang adik ipar. Dia merasa sangat kesal mendengar cerita Alina yang sudah dikasari oleh calon mantan suaminya. Apalagi ketika melihat jejak biru di rahang wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu. Mendadadak emosi Aldo meledak-ledak.Dicengkeramnya kemudi dengan erat hingga buku-buku tangannya memutih. Pria berkulit sawo matang itu sudah tidak sabar ingin menghadiahi tinju laki-laki yang sudah menipu mentah-mentah sang adik juga memporak porandakan perasaan perempuan yang dia kasihi setelah ibunya.Perputaran keempat roda mobil milik pria bertubuh macho itu berhenti tepat di depan rumah yang pernah ditinggali Alina bersama suaminya. Sambil menahan napas yang kian memburu kaki pria itu terayun cepat, mengetuk kasar pintu rumah yang separuhnya sudah dirobohkan itu hingga seraut wajah perempuan muncul sambil menerbitkan senyum menggoda."Ada mas ganteng. Nyari siapa, Mas?
Alex mengerang kesakitan sambil memegangi luka-luka lebam di wajah. Ia merasa begitu kesal kepada Aldo, karena sudah membuat dirinya babak belur, bahkan hingga tulang hidungnya patah saking ganasnya dia menyerang.Ingin melaporkan kakak iparnya ke kantor polisi, tetapi dia takut malah dilaporkan balik karena tindak kekerasan yang dilakukan tanpa sengaja kepada Alin. Ia takut mendekam di penjara seperti Rani adiknya.Sambil meringis kesakitan Alex menghubungi sang ibu, menanyakan perihal uang pesangon yang diambil ibunya serta kabar perkembangan kasus Rani. Dia juga berniat meminta uang untuk berobat."Ibu sudah berusaha mendatangi kantor polisi, menawarkan mereka sejumlah uang tapi ditolak. Mereka tetap akan memenjarakan adik kamu sampai batas waktu yang akan ditentukan oleh hakim di persidangan nanti. Ibu pusing Alex. Kamu cari duit lagi dong yang banyak. Kali uang yang Ibu kasih kemarin kurang banyak jadi ditolak!" cerocos ibu dua orang anak itu pan
Esti tidak menyangka kalau putrinya sedang mengandung dan sampai mengalami perdarahan seperti itu.Padahal, selama ini putri bungsunya itu selalu pulang tepat waktu, tidak pernah keluyuran malam apalagi membawa teman laki-lakinya ke rumah. Esti merasa bingung kepada siapa nanti ia minta pertanggungjawaban biaya yang akan dikeluarkan."Oh, iya, Bu. Omong-omong, apa suaminya pasien sudah dihubungi?" "Eh...anu, itu, apa? Eh... Suaminya lagi tugas ke luar kota. Saya tidak tega kalau mengabari menantu saya tentang kabar buruk ini!" jawab Esti gelagapan. Ia terpaksa berdusta sebab tidak mungkin mengatakan kepada dokter kalau putrinya hamil diluar nikah. Malu, pikirnya."Ya sudah kalau begitu. Biar Ibu saja yang mewakilkan.""Baik, Dokter.""Oke. Saya akan menangani pasien secepatnya.""Kalau begitu saya permisi dulu.""Silakan, Bu.""Oh ya, Dok. Ngomong-ngomong berapa bulan usia kehamilan anak saya
"bagaimana keadaan Rani, Bu? Apa kata dokter?" tanya Alex beberapa saat setelah sampai di rumah sakit."Kamu tanyakan saja sendiri sama adik kamu!" ketus Esti, melipat tangan di depan dada serta menatap kesal kepada putrinya."Katakan sama Mas. Siapa yang menghamili kamu?" Kini mata Alex terpantik ke wajah pucat Rani.Dan seperti saat ditanya oleh sang ibu, Rani hanya bisa menangis tersedu. Dalam hati ia menyesali mengapa dulu begitu gampangnya menyerahkan keremajaannya kepada laki-laki yang jelas-jelas tidak memiliki hubungan apa-apa. Bukan hanya sekali, setelah kejadian di tempat kosan Roy, pria itu menjadi sering meminta jatah kepada Rani, dan mengancam akan menyebarkan video syur mereka jika perempuan berusia dua puluh satu tahun itu menolak ajakannya.Hingga suatu hari Rani merasa ada yang aneh di dalam dirinya. Dia sering merasakan pusing, mual juga mudah kelelahan. Rani begitu ketakutan ketika terlambat datang bulan dan
Alex menyentak napas kasar. Bagaimana bisa ibunya berpikir sepicik itu? Meskipun ia kesal kepadanya, tidak mungkin dia juga tega merampas harta benda milik ibunya sendiri."Jujur saja, Alex. Kamu yang merencanakan ini semua 'kan?""Astaga, Ibu. Aku nggak mungkin melakukan hal seperti itu. Ibu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Masa iya ada anak merampok ibunya sendiri? Ada-ada saja!" Dia lalu kembali menghampiri Riana dan Rachelya, mengajak kedua buah hatinya masuk, membuatkan telur dadar untuk mereka berdua makan.Lamat-lamat dipandangnya wajah kedua gadis kecil yang semakin lama semakin mirip dengannya, ada yang berdesir aneh kala mereka menoleh lalu menerbitkan sedikit senyuman kepada Alex.Tidak bisa dipungkiri kalau dalam hati juga ada rasa sayang kepada mereka, sebab biar bagaimanapun kedua malaikat kecil itu darah dagingnya. Sama seperti Maura."Selesai makan kamu langsung bawa pulang mereka ke Jakarta dan kembalikan k
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu