"Sudah malam, Ran. Tidur, yuk," ucapnya menghentikan aktifitasku.Aku mengecek email yang setiap harinya dikirim oleh Aitu. Laporan gallery yang hari demi hari mulai kewalahan mendapatkan order.Produksi kami lempar ke pabrik di Klaten dan di Jogja. Sempat keteteran, karena terbentur dengan jadwal yang sering tidak tepat."Iya Mas Suma, aku hanya membaca laporan sebentar. Buat meeting besuk dengan Aitu," ucapku sambil menutup laptop dan merapikannya di meja.Baby Danis dan Baby Anin tidur di kamar masing-masing bersama mbak perawatnya. Untuk Anin, tetap minum ASI dan sesekali diberikan dot berisi ASI perahanku. Seperti, malam ini."Sini, Ran. Aku ingin peluk!" ucapnya memelukku dari belakang. Berdua kami menatap cermin lebar di depan kami."Mas Suma, aku gendutan, ya. Perutku juga menggelambir. Kamu tidak jijik, lihat penampilanku seperti ini?" Tidak ada jawaban, malah terganti dengan dengusan hangat menyapu leherku. "Kamu tahu tidak, wanita kelihatan tambah cantik ketika habis mela
"Kalian kenapa berkumpul di sini semua? Nemenin Mama, ya?" Mas Suma yang kembali dari kantor heran, melihat kami semua ngumpul di ruang kerja.Ruangan ini berubah menjadi penampungan sementara. Wisnu dengan laptopnya, dia lagi mengerjakan tugas kuliahnya. Baby Danis main di dalam tenda potable berisi mainan bola, dan boneka. Sedangkan Baby Anin tidur di pangkuanku. Dan, Amelia main ponsel dengan camilan setoples di sampingnya.Sejenak mereka menghentikan aktifitasnya dan menghampiri Mas Suma untuk salim dan kembali ke formasi semula."Mas Suma sudah kembali. Sudah selesai meeting proyek yang untuk di Bali?" tanyaku sambil berdiri menyambutnya. Mas Suma menjawab dengan acungan jempol. Dia langsung menunduk mencium pipi Baby Anin dengan lembut. Yang dicium senyum sedikit, badannya menggeliat tetapi mata masih terpejam. Mas Suma tersenyum gemas."Dia baru tidur, kekenyangan minum ASI," ucapku seraya mengelus kepala suamiku ini dan mendorong menjauh. Sebelum kegemasannya bertambah, bias
Yang terlihat pertama, ada kotak bening yang di atas buffet kayu. Dalam kotak itu keluar cahaya dan ada yang bergerak-gerak di dalamnya. Seperti ada yang mondar-mandir.Berlahan, dari segala arah dalam kotak cahaya mulai menerang dan memperjelas apa yang ada dalam kotak."Aquarium!" teriak Amelia dan berlari mendekat.Bukan kotak ternyata, tetapi aquarium berbentuk curve. Kami bersamaan mendekat, serasa seperti masuk di dunia air, yang dikelilingi dengan ikan yang warna-warni. Dekorasi didalamnya kelihatan alami, ada tumbuh-tumbuhan dan menyembul dari dahan dan bebatuan. Ikanpun ada bermacam ukuran dan warna.Baby Danis kegirangan melihatnya, dia berusaha menempelkan tangannya ke arah ikan-ikan yang mondar-mandir. "Pis ... pis ... ," celotehnya. Yang dia maksud fish. Sedangkan, Baby Anin, hanya mengerjap-ngerjapkan mata dan menendang-nendang kakinya. Mertuaku ini, benar-benar perhatian dengan cucunya. Memberi hadiah yang ada edukasinya."Ma! Ada lobster!" teriak Amelia menunjuk l
'Suamiku ... suamiku, walaupun menggerutu tapi, mau bangun juga.'My Lovely Coach, stand by 24 jam.*"Sudah! Ayo kita mulai!" kata Mas Suma yang duduk di depan lap top.Setelah membersihkan badan dan salat berjamaah, kami sudah siap untuk diskusi."Semangat ...!" teriaknya lagi, entah karena ingin menyemangatiku atau mengusir rasa kantuknya. Sementara, aku abaikan ya, Suami.Aku tadi terbangun jam setelah tiga pagi.Di luar masih gelap.Setelah tahajut, langsung menuangkan ide di laptop. Bangun jam segitu, membuat otakku lebih jernih. Aku langsung duduk di sebelahnya, siap presentasi ke suamiku ini. Grogi juga ya, di depanku seorang Direktur Utama Adijaya Group. 'Bismillahirrohmanirrohim'"Masalah pertama, menentukan pangsa pasar. Setelah aku pikirkan, lebih baik difokuskan kepada end user saja. Sesuai dengan namanya, Gallery, yang merujuk produk exclusive dengan jumlah produksi per item yang dibatasi," jelasku.Mas Suma menatap dan mendengarkanku dengan seksama. Ditambah, tersenyum
"E ... e, maaf sebelumnya, Bu Rani. Saya tidak tahu apakan informasi saya yang sekarang diperlukan atau tidak," ucapnya sambil menarik nafas."Non Amelia sebenarnya biasa-biasa saja, Bu. Cuma, sekarang setiap hari kami selalu menjemput dan mengantar temannya. Tidak cuma satu, Bu. Tetapi, ada tiga orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Awalnya, saya pikir sekali saja. Tetapi, ini setiap hari. Sudah hampir seminggu.""Mereka seperti apa? Maksud saya, selama di mobil sikapnya bagaimana?" "Ya, mereka seperti anak-anak pada umumnya," tambahnya."Baik kalau begitu. Besuk, tolong saya di antar ke rumah mereka. Saya hanya ingjn lihat sekilas, mungkin lewat di depan rumah saja. Terima kasih. Tolong ini dirahasiakan" ucapku sambil berdiri. Aku harus cari tahu tentang teman-teman Amelia. Bagaimanapun, teman mempunyai pengaruh besar ke perkembangan seorang anak. Aku harus memastikan, semua yang berhubungan dengannya adalah yang berpengaruh baik. Lingkungan rumah, lingkungan sekolah, teman
Prasetyo ....! Iya benar, ini Mas Tiok!Dia melamar kerja di tempatku? Kok bisa?! * POV Kusuma Tadi malam, aku mendapat pesan dari Pak Prasetyo. Dia ingin bertemu denganku hari ini. Bukan sebagai wakil dari Pak Prayoya, ayahnya, pemilik PT Kurnia Sakti Prayoga. Awalnya, aku pikir dia akan membicarakan proyek di Bali yang sedang dikerjasamakan dengan PT KSP itu, ternyata ada keperluan pribadi. Entah apa. Hal ini membuatku tidak nyaman, mengingat dia pernah menaruh hati kepada Maharani, istriku. "Selamat siang. Pak Prasetyo sudah menunggu di ruang meeting," kata Desi sekretarisku. Aku langsung bergegas ke ruangan itu. Rasa penasaran dengan apa yang dimauinya, jangan sampai dia akan mengganggu istriku lagi. Dari pintu kaca, terlihat di duduk dengan tenangnya. Penampilannya, aku akui dia terlihat nyentrik tetapi berkelas. Rambutnya yang lurus panjang, diikat dengan rapi. Bajunya juga memperlihatkan statusnya. Kemeja dan stelan jas yang digunakan kelihatan dari brand ternama.
Aku lambaikan tanganku ke Mbak Tias, pengasuh Baby Danis. Dia langsung datang dan mengambil anakku untuk diganti baju yang sudah belepotan oleh sisa makanan."Kegiatan sekolah bagaimana sekarang? Banyak tugas?" "Banyak, Ma. Pusing, Amel!" keluhnya."Kalau mama dulu, bikin kelompok belajar. Jadi teman-teman mama ngumpul belajar bersama di rumah. Amelia ada seperti itu?""Memang boleh teman Amelia ke rumah?" tanya Amelia menatapku minta kepastian. Tujuanku, menggiring dia untuk mengajak teman-temannya ke rumah. Dengan begitu, aku bisa mengawasinya."Boleh, dong. Untuk belajar, kan?" Dia menjawab dengan anggukan."Mama pasti dukung kegiatan kalian. Masa sekarang, kalian harus fokus dan sibuk untuk meningkatkan kualitas kalian. Main boleh, tetapi utamakan belajar," ucapku sambil mengelus rambutnya yang panjang. "Minggu depan ya, Ma. Kalau gitu, Amel hubungi temen-temen!" teriaknya senang setelah aku mengangguk tanda setuju."Siaplah," ucapku dengan tersenyum."Tapi, Kak! Boleh, dong,
"Pak Kusuma benar sudah mengijinkan aku bergabung di sini?" Kalimat pertama yang terlontar dari Mas Tiok ketika menemuiku di galeri. "Iya, sudah. Mas Suma juga menceritakan kalau Mas Tiok menemuinya.""Kenapa diceritakan. Harusnya itu rahasia antara lelaki. Aduh, aku jadi malu.""Diantara kami tidak ada rahasia. Dalam pekerjaan ataupun keseharian," jelasku."Oya Mas Tiok. Mas Suma, memperbolehkan kita bekerja sama karena dia percaya dengan Mas Tiok. Tetapi, dengan dua syarat. Pertama, panggilan kita harus formal. Saya memanggil Pak Pras, ... ""Jangan Pak Pras! Untuk di galeri, panggil aku Pak Tiok saja dan aku panggil kamu Bu Rani, kan? Ok, tidak ada masalah," potong Mas Tiok yang sekarang berganti panggilan menjadi Pak Tiok."Ada lagi satu. Tidak ada masalah pribadi di sini. Itu yang sudah saya sepakati dengan suami saya," tandasku kepada Pak Tiok.Dia tersenyum dan menghela nafas sejenak."Sebelumnya, kita harus meluruskan sesuatu. Ibu Rani, kita sudah lama kenal. Terus terang, ra
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan