#Pembantu_Rasa_Bos 8
#Kamu_Cantik!Penat rasanya!
Setelah ganti baju kebangsaan emak-emak, daster gombrong, terasa merdeka badan ini.Aku menggosok kakiku dengan minyak angin supaya pegal-pegalnya reda. Maklumlah faktor usia, jalan di mall sebentar sudah angkat tangan.
Seperti biasa sebelum tidur, aku membaca cerita favoritku di aplikasi. Alhamdulillah, bisa istirahat lebih awal.
Tok ... tok ... tok ....
Pintu kamarku ada yang ketok, siapa ya? Apa Bik Inah. Aku buka pintunya, ternyata Amelia dengan menampilkan selarik senyum penuh arti. Dia membawa guling.
"Ada apa, Sayang?"
"Tante, aku tidur sini ya. Please," pintanya dengan tampang memelas. Anak ini memang menggemaskan, manja sekali.
"Iya boleh. Tapi besuk harus bangun pagi!"
"Beres!"
Dia langsung menyelonong masuk dan berbaring memeluk guling yang dia bawa tadi. Iba rasanya melihat anak ini. Bagaimana hari-hari kemarin ketika aku belum datang. Pasti sangat kesepian.
"Langsung mau tidur? Atau mau makan apa gitu?" kataku sambil mengelus rambutnya. Dia menjawab dengan menggeleng.
"Ya udah, tidur saja."
Aku langsung berbaring disampingnya.
"Tante .... "
"Hmm .... "
"Aku ingin peluk Tante," kata Amel lirih. Aku rengkuh kepalanya dan dia memelukku erat.
"Sudah, tidur, ya."
Kubelai rambutnya perlahan-lahan, dan berangsur-angsur pelukannya melemah dan terdengar napasnya teratur. Dia sudah tertidur.
*
Tok ... tok ... tok ...."Rani ... !"
Ada yang mengetuk pintu kamar dan memanggil namaku. Apa aku bermimpi, ya?"Rani ...!"
Benar, ada yang memanggil namaku. Aku rapikan rambutku terlebih dahulu. Kemudian membuka pintu kamar, ada Tuan Kusuma di depanku dengan raut wajah kebingungan."Rani! Amel hilang! Dia tidak ada di kamarnya!" ucapnya serak. Tersirat kekawatiran yang amat sangat.
"Amel ada di kamar, Pak. Dia tidur."
"Tidak ada! Saya sudah cek! Kamu ini bagaimana, sih! Saya tinggal sebentar saja sudah berantakan!" bentaknya keras sambil matanya melotot.
"Ssttt ...."
Aku memberi kode untuk tidak berisik dengan menaruh telunjuk di depan mulutku.
"Bukan di kamarnya, Pak. Tapi di sini, di kamar saya."
Aku membuka lebar pintu kamar untuk menunjukkan Amelia yang lagi tidur.Tergopoh, dia menorobos masuk menghampiri anaknya yang lagi terlelap. Dibelai rambut dan dicium keningnya, sambil bergumam entah apa. Pemandangan ini membuatku sangat terharu. Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya, terlihat jelas di sana.
"Amelia tadi malam minta tidur dengan saya. Biarkan dia tidur, Pak. Sudah jam tiga pagi, sebentar lagi juga waktunya bangun," ujarku berbisik.
"Baik kalau begitu. Saya sangat kawatir tadi. Entah bagaimana kalau ada apa-apa dengan Amelia," ucapnya sambil mengusap wajahnya yang tadi tegang.
Dia beranjak dari tempat tidur dan menuju pintu. Tiba-tiba dia berbalik ke arahku.
"Rani! Tolong jaga dia, ya! Mulai saat ini, tugas utamamu adalah mengawasi Amelia. Apapun yang kau minta pasti saya penuhi. Tapi, tolong jaga dia!" katanya tegas. Raut wajahnya serius sekali, keningnya berkerut.
"Baik, Pak! Saya berusaha sebaik mungkin. Hari ini saya mulai mengantar dan menjemput Nona Amelia," tandasku menekankan kesungguhanku.
"Buatkan saya teh! Supaya saya relax sebentar. Saya di ruang kerja," pintanya, kemudian bergegas menuju ruangan di ujung rumah, ruang kerjanya.
Langkahnya pasti dengan kepala menunduk. Aku pandangi punggung laki-laki itu, punggung seorang ayah yang sangat mencintai anak gadisnya, punggung seorang yang digantungi banyak nasib para pekerjanya yang ratusan jumlahnya.
"Rani!" teriaknya tiba-tiba. Dia berhenti dan memiringkan badannya ke belakang, dan dengan sekilas dia menatapku.
"Kau sudah kelihatan lain hari ini! Good job!" katanya sekilas sambil tersenyum, dan melanjutkan langkahnya.
Waduh, apa dia memergokiku ketika memandanginya dari belakang, ya?
Malu aku!Atau, dia melihat penampilanku yang lebih glowing akibat, make over?
*
Pagi ini hari pertama, aku mengantar Amelia sekolah. Lumayan sibuk, karena harus menyiapkan nasi kotak. Bik Inah dari pagi juga sudah siap.
Amelia juga dari pagi sudah bangun. Dia ikut terjaga ketika aku salat subuh. Dia seperti terheran dengan apa yang aku lakukan, salat dan mengaji. Segera aku menyuruhnya kembali ke kamar dan siap-siap untuk berangkat sekolah.
"Amel sayang, buka pintunya. Sudah siap belum? Berangkat pagian, ya," ujarku. Aku ketuk pintu kamarnya pelan.
"Taraa ...! Amel sudah siap!"
Sengaja aku berangkat 30 menit lebih awal. Kata Pak Maman, kalau pagi akan terhindar dari antrian pengantar yang mengular seperti kemarin.
"Tante, aku senang hari ini. Amel seperti teman-teman yang diantar sama orang tuanya. Papi mana sempat seperti ini"
Seperti kemarin, dia menggelayut manja. Nempel terus. Untung aku sudah wangi. Tangannya terus menggenggam tanganku, dan sesekali aku elus lembut dia. Sepanjang jalan terukir senyum di wajahnya.
Aku memakai baju yang dibelikan kemarin. Dress terusan membentuk siluet badan yang panjang melewati lutut sedikit warna coklat susu. Potongan sederhana ditambah scraf motif warna cerah. Rambut aku ikat cepol agak tinggi dengan ikat rambut ada permatanya sedikit, leherku yang jenjang kelihatan lebih indah. Aku memakai sepatu bertumit sedang, warna coklat mengkilat. Badanku yang sudah tinggi menjadi lebih tinggi sedikit.
Tampilan sederhana, tetapi mewah.
Benar.
Kalau berangkat pagi, tidak ada antrian mobil pengantar. Kami bisa parkir di dekat pintu gerbang. Di depan sudah ada beberapa guru yang berjaga. Aku ikut turun mengantar Amelia ke dalam diikuti pak Mamang yang membawa makanan. Kami disambut seorang guru, setelah berkenalan ternyata dia guru wali kelas Amelia. Aku menjelaskan, bahwa mulai saat ini aku yang mengurus sekolahnya. Dan, sekalian minta ijin memberikan kotak makan ke teman sekelas Amelia. Sengaja aku lebihkan juga untuk gurunya.Amelia sangat senang, dia memelukku sebelum aku pulang.
"Tante, hari ini aku senang. Terima kasih, ya," bisiknya ketika dia memelukku. Aku cium sekilas puncuk rambutnya.
"Love you, Sayang. Belajar yang rajin, ya. Sore tante jemput lagi."
***
Bergegas aku turun dari mobil, waktunya sudah mepet. Aku harus menyiapkan keperluan Tuan Kusuma untuk berangkat ke kantor. Kalau baju kerja, selalu aku siapkan malam harinya dan sudah lengkap ada di ruang pakaian. Sekarang tinggal menyiapkan tas kerja dan makan pagi.Segelas teh hangat, air putih hangat, dan nasi uduk lengkap dengan ayam lengkuas yang kemarin dia pesan.
"Pagi!"
"Pagi, Pak!"
Dia menanyakan tentang bagaimana tadi mengantar Amelia. Setelah itu, dia kembali serius dengan ponselnya. Makan sambil main ponsel. Kalau Wisnu pasti aku marahi.
"Ini tasnya, Pak. Tolong cek apa ada yang ketinggalan."
" Tidak. Hari ini tidak ada meeting," katanya sambil menerima tas yang aku berikan.
"Begitu dong, Rani. Bajumu pas buat kamu. Saya mau setiap hari, kamu berpenampilan seperti ini. Kadang-kadang ada tamu yang datang ke rumah. Atau, tiba-tiba ada tugas keluar. Jadi kamu harus siap selalu. Claudia akan sering-sering datang untuk mengecek penampilanmu," ujarnya sambil tersenyum.
Dia menatapku agak lama. Dan, tersenyum.
"Ternyata, kamu cantik!"
***
"Papi, aku suka yang ini," kata Amelia putriku. Dia menyodorkan berkas kerja ke tanganku.Sudah berbulan-bulan kami mencari pekerja yang mengurus keperluan rumah. Ratusan lamaran yang masuk secara online, banyak yang berminat karena gaji yang ditawarkan besar. Anita karyawan Mami, yang menyortirnya dan tersisa lima belas kandidat. Tumpukan berkas itu sudah satu minggu di meja kerjaku tanpa sempat aku sentuh. Aku tidak ada waktu.Sebenarnya, yang aku cari tidak hanya sekedar pengurus rumah. Namun, teman untuk anakku, Amelia. Diumurnya yang masih labil, dia membutuhkan sosok yang bisa mendampinginya. Aku sebagai papinya tidak sempat dan tidak mengerti kebutuhan anak perempuan seusia dia. Sering kali dia membuatku stres tanpa aku tahu harus bagaimana. Mamiku yang akhirnya turun tangan."Papi! Dilihat dong, Pi. Aku pingin cepet punya temen," rengeknya dengan manja. Kebiasaan kalau ada yang diinginkan dia akan menggelendot di lenganku. Dan tidak akan dilepas sebelum keinginannya terkabul.
Hampir dua minggu aku bekerja di rumah ini. Sedikit demi sedikit aku mengerti tentang sifat Tuan Kusuma dan Nona Amelia. Aku merubah sedikit penataan rumah sehingga terkesan asri dan lebih nyaman, tentunya dengan seijin Tuan Kusuma. Dia membebaskanku untuk mengatur apa yang aku mau. Yang aku rombak di bagian dalam rumah dulu. Di depan pintu rumah, di bagian dalam, aku menaruh meja tinggi sebagai foyer yang di atasnya ada pot besar dengan dedaunan hijau dan bunga sedap malam. Jadi ketika masuk rumah, langsung disuguhi pemandangan daun hijau dan bau wangi bunga. Harapannya, masuk rumah langsung hilang aura negatif dari luar.Di ruang bagian dalam, aku juga meletakkan beberapa bunga hidup di beberapa titik yang aku ambil dari taman belakang. Kesan segar dan nyaman. Dalam hal ini, Pak Maman dan Pak Satpam yang membantuku. Ruang kerja Tuan Kusuma juga aku beri sentuhan sedikit. Setiap hari aku rangkai bunga pisang kecil berwarna kuning yang tumbih banyak di taman belakang. Aksen warna k
Hari minggu yang cerah.Matahari pagi, menghangatkan badanku. Alhamdulillah ....Kami, aku dan Amelia berkeliling di komplek perumahan. Berlari kecil saja. Taman yang rindang dan indah di kiri kanan. Suasana sepi, hanya sesekali saja kami bertemu Pak Satpam yang berpatroli keliling. Maklum, di hari minggu biasanya hari malas sedunia. Tuan Kusuma saja tadi belum ke luar kamar.Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya Amelia bercerita tentang teman-teman sekolahnya. Dia berlari ke sana sini tanpa arah, serasa jalan ini hanya miliknya saja. Sesekali dia tertawa terbahak-bahak, menceritakan kekonyolan temannya. Riang sekali dia. Anak ini sangat manis, semakin hari aku semakin sayang sama dia. Naluri keibuanku tersentuh ketika dia bersikap manja kepadaku. Kelihatan sekali selama ini dia kesepian."Istirahat dulu, ya. Tante capek!" teriakku. Aku mengatur napas yang ngos-ngosan."Capek, ya?! Faktor U, ya ...!" ledeknya sembari tertawa. "Di sana saja, Tante. Ada taman yang ada ayunannya. Deke
"Rani, maafkan Amelia, ya. Tolong dimengerti. Seumur dia, pikirannya masih labil," ucap Tuan Kusuma kepadaku. Suaranya terdengar berat, seakan ada beban disana. Mungkin dia menyadari, seberapa kesepiannya Amelia selama ini. Aku juga merasakan hal yang sama. Merasa iba hati ini.Amelia sudah mengurung diri di kamar. Kami tidak diperbolehkan masuk. Kata Tuan Kusuma, biasanya, dia akan keluar sendiri setelah kekesalannya reda. "Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Amelia hanya membutuhkan sosok teman. Mungkin dia melihat teman-temannya yang mempunyai saudara, dan itu terlihat menyenangkan," jelasku. Aku sodorkan teh chamomile hangat, teh ini untuk merelaxkan pikiran. Tuan Kusuma menghelakan napas dengan keras, seakan berusaha mengurai beban yang dia rasakan."Menghadapi Amelia, sering kali saya tidak mengerti. Susah sekali. Dia mempunyai saudara sepupu yang seumur. Tetapi, mereka di luar negeri. Hanya, saya, eyangnya yang diajak bicara. Itupun, jarang," jelas Tuan Kusuma lirih. "Rani, t
'Naluri lelaki adalah penggoda, ketika ada yang membuatnya tertarik. Endingnya? Tergantung si wanitanya bagaimana menanggapinya'***Sudah satu bulan berlalu, aku bekerja di keluarga Tuan Kusuma. Menyenangkan.Aku mempunyai kebebasan untuk melaksanakan tugasku, memasak, mengatur tatanan rumah, bahkan mengelola keuangan keperluan rumah. Aku anggap ini adalah rumahku sendiri yang harus memberikan yang terbaik.Diri ini juga diberi kebebasan untuk mendidik Amelia. Untuk hal terakhir ini, tentunya atas diskusi dan persetujuan dari Tuan Kusuma. Amelia mulai tertarik dengan salat dan malah minta diajari mengaji. Setiap Magrib, kami berjamaah dan dilanjutkan mengaji. Kadang-kadang, kami bercerita tentang kehidupan. Dikesempatan inilah, aku berusaha menggali apa yang dia inginkan dan aku mencoba ajarkan untuk kemandirinnya. Aku anggap dia sebagai anakku sendiri.Bertahap, aku mendidiknya. Aku arahkan dia untuk melakukan sesuatu bukan atas suruhan orang lain, apalagi paksaan. Namun, tetap d
Kesepakatan kami sebagai sahabat sudah terdeklarasi malam itu. Tugasku semakin banyak dan merepotkan. Selain mengatur rumah dan mengurus Amelia, aku diharuskan menjadi teman diskusi Tuan Kusuma.Alasannya, karena sebagai sahabat harus saling membantu, saling bicara, dan saling support. Bukankah itu wajar dan memang harus begitu, jelas Tuan Kusuma. Namun dengan satu syarat yang aku ajukan, tidak ada kontak fisik. Apapun alasannya, baik tidak sengaja ataupun sengaja. Waktuku seharian hampir habis karena mereka, Amelia dan Tuan Kusuma. Terkadang mereka berebut untuk bersamaku, dan bisa bekerja dengan tenang hanya ketika mereka tidak ada di rumah.Pernah Amelia memintaku menemani mengerjakan pekerjaan rumah, bersamaan Tuan Kusuma memintaku mendengarkan keluhannya."Papi ini kayak anak kecil! Tante harus ngajarin aku buat PR. Aku ada yang nggak ngerti!" Protesnya ketika Tuan Kusuma mencoba menghentikanku mengajari Amelia."PR apa sih!? Belajar aja sendiri. Atau, cari jawabannya di inter
Selama satu minggu kemarin, rumah ini terasa lebih hening, karena Amelia ujian semester. Tuan Kusuma sepertinya mengerti, dan dia membiarkan aku untuk mendampingi anak gadisnya. Setelah makan malam, aku langsung menemaninya belajar bahkan sampai tertidur dengan buku masih berserakan. Biasa, gaya belajar kebut semalam.Hari ini, penerimaan raport. Seharusnya Tuan Kusuma yang diharuskan hadir. Akan tetapi karena masih ada keperluan di kantor, terpaksa aku harus menemani Amelia ke sekolah terlebih dahulu. Di sekolah lebih ramai dari biasanya, tempat parkir penuh. Padahal, pembagian raport dibagi tiga gelombang, dan setiap kelas berbeda hari. Bagaimana tidak ramai, satu anak minimal memakai dua jatah tempat parkir mobil. Satu mobil anak dan satu mobil orangtua. Bahkan ada yang lebih, mama dan papanya membawa mobil sendiri-sendiri. Acara sekarang ini, bukan sekedar untuk terima raport, tapi, juga ajang menunjukkan status sosial. Dari kemarin, Tuan Kusuma menegaskan aku untuk tampil
Insiden tadi pagi menjadi trending topic hari ini. Awalnya, Wisnu kaget sekali. Setelah dijelaskan sifat papinya oleh Amelia, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Termasuk Bik Inah yang tadi pagi ketakutan setengah mati. "Tuan memang sering marah-marah, Bu. Tapi, baru tadi pagi saja, Tuan teriak keras seperti itu. Untung saya tidak jantungan," ucap Bik Inah sambil menepuk dadanya."Aku juga, Ma. Kaget! Pas, Om Kusuma teriakin nama aku, aku langsung mikir. Wah, ini pasti motorku. Apa aku nabrak mobil. Atau, kesalahan apalah. Makanya aku segera turun. Takut motorku dikiloin," cetus Wisnu sambil tertawa. "Memang laku, dikiloin?" tambahku."Ya, harus dibantu doa orang sekampung, Te!" timpal Amelia diakhiri tawa mengejek. Mereka langsung tergelak bersama. Aku tersenyum. Rumah semakin tambah ramai. Kami bersama dan bercanda, Amelia kelihatan senang sekali. Dia bercerita terus, dari tentang teman-temannya di sekolah, sampai tentang papinya. Wisnu manggut-manggut saja sambil makan camilan
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan