Kepala yang memerintahpun kehilangan kuasa, dan semua indera seakan berjalan sendiri. Tidak ada akal apalagi pemikiran yang berpijak pada jati diri. Kami berdua tunduk pada dorongan primitif yang mulai menguasai. Semakin tidak bisa berkutik, terlebih lari. Entah terlempar kemana spatula yang dia pegang tadi. Seperti bahan bakar yang tumpah dan sekarang terpantik api, kamipun sama-sama terbakar api gairah. Sarung tangan yang dia kenakan pun tidak sempat terlepas. Tidak peduli dia menggenakan celemek, dan adonan tepung yang perpindah di leher ini, kami pun saling berpagut. “Rima. A-aku …,” ucapku sesaat setelah mengambil jeda untuk meraup napas. Mata ini menatapnya dengan sendu. Sejuta keinginan untuk melahap habis wanita indah di depanku ini. Dia begitu indah dan mulai mencaduiku. Otak sadarku seperti memberi tanda kalau dialah yang patut untuk didamba. Ingin berontak pada keinginan ini, tapi aku seperti terlumpuhkan dengan bibir merah yang sedikit terbuka ini. ‘Aku tidak sanggup,’
Apa salah kalau sebagai orang tua ikut campur memilih jodoh untuk anak? Seperti aku yang mengharapkan Amelia mendapatkan pasangan yang tepat. Memang tidak untuk disegerakan sekarang. Namun, bukankah lebih baik dia mendapatkan cinta satu kali dalam hidupnya. Tentu saja, itu yang terbaik dari pilihan yang baik.Seperti sekarang ini. Aku berbicara dengan Elysia. Aku, dia, dan Hendra, duduk di meja bar, menghadap pemandangan kolam renang yang seakan bersambung dengan samudra.“Suamiku titip salam untuk kalian. Sebenarnya aku juga marah kepadanya karena di hari ulang tahunku, dia justru mementingkan bisnis. Namun, aku mendapatkan hadiah besar darinya, mengundang kalian semua,” ucap Elysia sambil memandang aku dan Hendra bergantian.Maharani menemani Denish dan Anind. Mereka masih beradaptasi dengan lingkungan baru. Sedangkan Jenifer mengikutinya. Katanya, sekalian latihan kalau nanti secepatnya mendapatkan momongan.“Kita bisa mengenang masa-mas sekolah dulu.”“Sekalian melupakan berapa us
“Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Ingin segera diresmikan hubungan kalian?” Aku langsung melontarkan pertanyaan. Mata ini memindahi mereka, Wisnu dan Rima yang duduk tepat di depanku.*“Wisnu. Kenapa kamu tidak ke villa? Tidak kangen dengan mama dan adik-adik kamu?”“Besok, Pi. Wisnu masih ada pekerjaan.” Jawaban yang memantik kesal di hati ini. Tidak pernah aku merasa kesal kepada anak ini. Aku selalu membanggakan dengan kepintaran dan kepatuhannya. Namun, kenapa kali ini dia teledor?“Pekerjaan apa sampai kamu tidak sempat menyambut kedatangan Mama kam? Dia sudah berusaha memaksakan diri untuk menginjakkan kaki di tempat ini? Apa kamu sibuk dengan Rima?” ucapku langsung to the point .Setelah sambungan telpon Pak Santoso Lee terputus, hanya satu yang ada di pikiran ini. Menuntut jawaban ke Wisnu. Memang dia bukan anak kandungku, tetapi dia adalah tanggung jawabku. Hitam putih yang dia lakukan, merupakan cerminan apa yang kami bekalkan kepadanya. Apalagi ini menyangkut anak ora
Boleh pacaran apalagi usia sudah matang. Namun harus diiingat, berhubungan itu bukan sekadar berdasarkan rasa suka dan ucapan cinta, ada tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan. Tidak hanya pada diri sendiri, tetapi terhadap keluarga.“Ran. Aku jalan-jalan. Apa aku balik lagi ke villa saja?” tanyaku setelah sambungan video call dengan Maharani tersambung. Aku mengedarkan camera ponsel ke sekitar, yang menunjukkan beberapa artshop dan keramaian trotoar di jalan Seminyak.“Tidak usah, Mas. Aku ajak Denish ke restoran depan saja. Mungkin dia bosan saja.” Kemudian dia mengarahkan ke Denish. Kemudian say hello dan layar pun menggelap.“Sudah?” ucapku sambil menatap Wisnu yang berdiri diam di depanku. Dia mengangguk sambil tersenyum kaku. Sikap tidak enak masih kentara sampai sekarang.Benar yang diucapkan tentang rencana mereka. Rima mencari tempat penginapan. Di mobil Wisnu sudah ada koper dan bawaan Rima yang lain. Karenanya, aku menyuruh mereka mencari penginapan tidak jauh dari kami
Pelayan yang datang, mengurungkan niatku untuk turun ke panggung. Perut yang melilit mengingatkan aku akan rasa lapar.“Pesan apa saja. Terserah kamu, Papi lapar sampai tidak bisa berpikir,” ucapku sambil menyerahkan buku menu kepadanya. Sengaja aku melakukan ini. Supaya suasana mulai cair.“Papi mau makan Indonesian Food, Italian, atau Europe?” tanya Wisnu setelah membuka-buka buku menu. Dia terlihat kebingunan dengan pilihan beragam.“Makanan Indonesia sajalah. Lidah Papi masih kampungan,” sahutku sambil tertawa. Banyolanku ternyata disambut tawa oleh Wisnu. Kemudian dia membuka halaman yang khusus makanan Indonesia.“Pi. Semua pakai bahasa Inggris.” Kemudian berpindah duduk di sebelahku dan menyodorkan buku menu. “Ini maksud pecel dan ini urap-urap, kan?” ucapnya sambil menunjuk diskripsi menu.“Indonesian salad with peanut sauce. Steamed vegetables with grated coconut for dressing. Kalau tidak tahu, bisa salah kita. Dipikirnya salad yang seperti di majalah-majalah itu,” tambahnya
“Rima pacar Wisnu ada di Bali?” ucap Maharani dengan kedua alis mulai bertaut. Kekawatiranku mulai terjadi. Padahal aku sudah mengatakan kalau Rima tinggal di penginapan dan Wisnu tetap di apartemen.“Tidak mungkin mereka tidak bersama. Pasti mereka di salah satunya. Kalau tidak di apartemen, ya di hotel. Mereka itu sudah beranjak dewasa. Mulai ada keinginan lebih kalau berduaan. Bagaimana ini, Mas. Apa tidak berbahaya? ”Tatapan Maharani menunjukkan kekawatian. Dia memegang lenganku. Aku tersenyum mencoba menenangkan, walaupun sebenarnya aku kawatir ketahuan. Mempunyai istri pintar, susahnya seperti ini. Tidak gampang dibohongi. Kalau tidak masuk akal, dia tidak akan percaya.“Ran. Kita kan kenal Wisnu anaknya seperti apa? Dia itu anak yang bertanggung jawab. Kamu sudah bekali dia dengan banyak hal. Tidak mungkin mereka salah jalan.”“Iya, Mas. Tetapi saat ada setan lewat, mana ingat semua pesan dan nasehatku. Kenikmatan lebih menarik perhatian dari pada larangan yang membosankan.”
Kami disambut dengan sepasang pekerja yang menggunakan baju tradisional. Yang perempuan menggunakan kebayak dengan selendang yang dililitkan di pinggang. Sedangkan yang laki-laki menggunakan baju safari dangan kepala mengenakan ikat kepala yang disebut udeng. Aku mengambil dua bunga jepun di tempayan tempat pintu masuk. Bunga berwarna putih kekuningan itu aku letakkan di saku baju. “Kita duduk di sana,” ucapku menunjuk tempat duduk khusus dua orang. Terletak di depan, ujung sebelah kiri. Kami duduk sambil menikmati alunan musik yang merdu. Lagunya Anita Baker, Givin You The Best That I Got, dilantunkan oleh penyanyi perempuan dengan indah. Suara dan lafalnya tidak menyangka kalau dia orang kita. ~~ We love so strong and so unselfishly. And I tell you now that I made a vow. I’am givin you the best that I got, baby. Yes, I tell you now. That I made a vow. I’am givin you the best that I got, honey. ~~ Aku ikut bersenandung di bagian reff. Terasa santai dan nyaman. Semua penat di p
‘Apa-apaan ini?’ Aku menatap Mas Suma yang melangkah ke depan. Dia menuju panggung dan berbicara dengan pemain musik. Mereka mengangguk senang, bahkan mengacungkan jempol ke arah suamiku. Semakin aku mengernyit, saat tangan Mas Suma menunjuk ke arahku. Tangannya diikuti mereka, dan aku pun menyambut dengan senyuman. ‘Oh, mungkin Mas Suma request lagu untukku,’ pikirku dengan hati kembali menghangat. Merasa dispesialkan. Namun, perkiraanku tergeser saat dia menerima gitar yang disodorkan oleh pemain musik. “Tes! Tes!” ucapnya sambil mengetuk pengeras suara. Dengan menggunakan bahasa Inggris dia melanjutkan bicara. “Terima kasih atas kesempatan yang luar biasa ini. Saya ingin mempersembahkan sebuah lagu kepada istri saya yang di sana!” serunya sambil menunjuk ke arahku. Semua pengunjung tertuju kepadaku. Tepuk tangan riuh menyambutnya. “Aih, Mas Suma ini ada-ada saja ulahnya,’ runtuk hatiku sambil menebar senyuman kaku. Malu karena menjadi tontonan seperti ini. Wajahku mulai mema
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan