“Orang Jawa, menyebut suami istri itu adalah garwo yang kepanjangan dari sigarane nyowo artinya belahan jiwa. Biasa saat ada, dan sakit saat terpisah, karena suami istri itu adalah satu.”Kalimat ini yang pernah ibuku katakan.Teman hidup itu, dalam keseharian rasanya biasa. Bahagia, walaupun tak jarang muncul rasa kesal bahkan amarah. Namun saat kita berjauhan, kerinduan dan kekosongan menyeruak tak terkendali. Apalagi saat kehilangan, membayangkan saja hati ini sudah tidak sanggup. *“Mas Suma, kecelakaan ini menyita perhatian satu kawasan. Bahkan, mereka meningkatkan pengamanan. Kata Pak Maman, ada perwakilan mereka yang datang meminta maaf.”“Itu yang sebenarnya dari dulu aku protes ke mereka,” sahut Mas Suma menanggapi ucapanku. “Penjaga hanya fokus memeriksa orang memasuki kawasan yang menggunakan sepeda motor, atau mobil barang. Mereka ditanya-tanya detail, bahkan disuruh meninggalkan kartu identitas. Memang ciri-ciri orang jahat seperti itu? S.O.P nya aneh, kan?”Aku mengang
Prosentase hanya sebuah dugaan. Apapun kemungkinan bisa terjadi, walaupun itu hanya nol koma sekian persen. Kalau yang di Atas menghendaki, semua bisa terwujud. Kedua tangan bertumpu di meja wastafel. Berkali-kali kupejamkan mata, dan mengeratkan jemari, tetapi semua masih terasa sama. Sambil merapatkan ke meja, aku membasuh wajah. Rasa tidak nyaman ini tidak pergi sepenuhnya. Namun, kesegaran membuatnya berkurang. Dugaan kalau ada sesuatu yang tumbuh di rahim ini, masih dalam keraguan. Dulu Dokter bilang, kemungkinan hamil itu ada. Akan tetapi karena keadaanku yang tidak sekuat dulu dan usia yang tidak muda, itu memperkecil kemungkinan. Hanya satu cara untuk memastikan hal ini, melakukan tes kehamilan. Masih ada test pack yang aku simpan di lemari obat, sisa yang aku punya dulu. Aku siapkan di wadah kecil, dan alat itu dicelupkan sesuai petunjuk. Dengan hati yang masih gamang, diri ini menunggu hasil dengan harap-harap cemas. Sekian detik, cairanku itu seakan terserap dan memperj
Buat apa bebas finansial tetapi tidak disertai bebas waktu?*Tahapan seperti suamiku ini, bisa saja dia menarik diri dari perusahaan. Menyerahkan tanggung jawab kepada jajaran direksi untuk bertanggung jawab menjalankan perusahaan. Dia bisa ongkang-ongkang kaki dan menerima laba dari prosentase saham.Hasilnya, lebih dari cukup bahkan berlebihan walaupun untuk tujuh turunan. Namun, kenapa harus capek-capek menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga, seperti sekarang ini.Terlihat mengejar materi untuk menumpuk harta. Bukankah itu tidak di bawa saat kita mati. Bukankah lebih baik seusia Mas Suma fokus di rumah atau memperbanyak ibadah saja.Itu yang terlintas di pikiran ini, sesaat setelah perbincanganku dengan Mas Suma tadi. Rasa kesal mematik pertanyaan seperti itu. Buat apa bebas finansial tetapi tidak disertai bebas waktu?“Ran, aku bekerja tidak sekadar mencari uang. Ini karena tanggung jawab.” Aku teringat ucapannya dulu.“Di pundak suamimu ini, ada banyak keluarga yang menggantung
Yang di Atas memberikan yang tertepat bagi kita. Tidak ada alasan yang benar untuk menolaknya, walaupun itu mengandung resiko. Karena, pasti ada rencana indah di balik semua itu. * Dokter menjelaskan semua tentang resiko kehamilanku ini. Di usia di atas empat puluh tahun, ada beberapa yang harus diperhatikan. Keadaan tubuh yang tidak sekuat sebelumnya, tekanan darah, dan ini bisa berpengaruh pada janin atau sang ibu sendiri. “Satu minggu ini, Bu Rani saya anjurkan untuk bed rest, istirahat total. Mengingat kemarin sempat flek. Kita pantau dulu kekuatan janinnya, baru setelah itu kita putuskan apakah bisa aktifitas seperti biasa.” “Kalau saya dikasih vitamin atau obat saja untuk penguat janin, Dok?” “Iya. Saya pasti memberikan itu. Namun, tetap Bu Rani tidak boleh stress dan terlalu kecapekan. Apakah sedang ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan?” Aku mengerti apa yang dimaksud. Namun dalam keadaan seperti ini, apakah bisa aku hanya berdiam diri di ranjang? Sedangkan masalah ke
Darah lebih kental daripada air, ikatan keluarga lebih penting daripada hubungan dengan orang-orang yang tidak "sedarah. Apakah ungkapan ini masih benar? * Tubuh menjadi segar setelah istirahat yang cukup. Aku terbiasa tidur tidak terlalu lama. Bagiku, tidur yang berlebihan justru membuat pegal seluruh badan, dan tubuh terasa berat. Kalau mengikuti saran dokter, yang bed rest nya sepanjang hari di ranjang dan hanya boleh beranjak saat ke toilet. Kalau seperti itu, aku justru akan stress, karena bosan. Lebih baik, aku ke luar kamar san melakukan aktifitas seperlunya. Dalam keadaan sakit, bukan berarti kita terlihat lemah. Justru membersihkan diri dan mematut diri sesegar mungkin, bisa meningkatkan semangat untuk sembuh. Aku memoles make-up tipis, minimal tidak terlihat menyedihkan dan mengundang kekawatiran pada Amelia dan Wisnu. Sudah aku putuskan, nanti sore aku akan memberitahu kabar kehamilanku ke Mas Suma. Bukankah mengabarkan kabar baik, sebaliknya tidak ditunda. Siapa tahu
Tidak memberi tahu itu, apakah sama dengan merahasiakan?*Tanganku saling terkait, mengurai resah yang mempercepat detak jantung. Ucapannya seakan menunjuk, kalau aku menghianati perasaannya. Rasa serba salah, seketika menyeruak lekat. Menyisakan kepasrahan dengan apa yang akan diucapkan mertuaku ini.Sekilas aku memindahi wajah yang dihiasi keriput, tetapi tetap menunjukkan kecantikan dan ketegasan. Menunjukkan dimana kelas wanita yang aku hormati ini.“Kamu kan tahu, Kusuma itu wataknya keras. Mami saja angkat tangan terhadapnya. Justru Mami sering meminta tolong kepadamu. Tapi, kalau kamu juga bersikap sama dengan Kusuma, terus bagaimana?”“Iya, Mami.”Nyonya Besar lah yang sebenarnya menarikku ke keluarga ini. Dia sosok yang tidak terduga. Mempunyai kekuasaan dan taktik yang sering kita tidak menyadarinya. Itu yang sering menjadi benturan antara Mas Suma dan Nyonya Besar. Mertuaku yang selalu mengurus ini itu, menentukan hal terbaik menurut versinya, sedangkan Mas Suma juga bersi
Kalau dengan suami, aku masih bisa menyangkal atau nakal sedikit terhadap aturannya. Namun dengan mertua, bagaimana aku bisa berkutik? Apalagi mertuanya seperti Nyonya Besar.*Masih lekat di ingatan, bagaimana perlakuan Mas Suma saat kehamilan Danish dan Anind. Suamiku sampai menyewa suster, bahkan membuatkan ruangan khusus di galleri sebagai tempat istirahatku. Itu pun karena aku merajuk supaya tetap diperbolehkan melakukan kegiatan di luar rumah. Menunjukkan kesal-kesal sedikit sambil melancarkan segala bentuk rayuan.Nah, kalau sekarang dengan Nyonya Besar, apa yang bisa aku lakukan, selain menuruti kemauannya dia.“Mama diapakan sama Eyang?” tanya Amelia yang terlihat bergegas masuk ke kamarku, setelah Nyonya Besar pergi. Di belakangnya diikuti Wisnu dengan ekspresi yang sama.Keduanya menarik kursi dan mendekatkan diri di tepi ranjang.“Eyang hanya menunjukkan kasih sayang ,” jawabku sambil tersenyum menunjukkan aku baik-baik saja.“Apa Eyang sudah pulang?” tanyaku penasaran. T
Kecewa. Hanya meminta waktu luang sebentar saja tidak dikabulkan. Padahal tidak lebih dari lima menit. Hati ini merasa tersisih dan diduakan.Aku juga pernah bekerja, dan itu tidak sampai seperti ini. Bukankah Mas Suma pemimpin sekaligus pemilik perusahaan? Harusnya dia bisa membagi waktu atau mendelegasikan pekerjaan kepada bawahannya.Ini bekerja dari pagi sampai sore, dan sekarang menjelang malampun bekerja lagi.Apa, kenapa, mulai memenuhi pikiran ini. Tidak tahan dengan rasa penasaran, aku menghubungi Desi, sekretaris yang mengikutinya.“Desi maaf, ya. Aku menghubungimu untuk memastikan Mas Suma sudah makan atau belum.”“Sudah, Bu Rani. Kami sudah makan bersama tadi setelah rapat.”“Kasihan kamu diperas suamiku. Padahal kamu masih aura pengantin baru,” ucapku memancing keadaan di sana sebenarnya.Terdengar suara tawa kecil Dewi. “Bu Rani ini ada-ada saja. Saya sudah pengantin uzur, Bu”“Tapi sekarang rapat lagi, gitu?”“Sudah selesai dari tadi sore. Ini saya sedang santai di kama