Musibah ini membuatku lebih berhati-hati. Membuka mataku bahwa semakin kita berlari, semakin besar resikonya. Semakin tinggi pohon semakin kencang pula, angin yang menerpa.Kasihan Sopir Pak Tiok, tidak tahu apa-apa berakhir di rumah sakit. Beruntung cideranya tidak fatal, hanya butuh beberapa hari di rawat di rumah sakit.Benar kata Mas Suma, aku harus beradaptasi dengan keadaanku sekarang. Mereka, Mas Suma dan Mas Tiok memberikan pengertian kepadaku, walaupun aku penyangkal pada awalnya. Bahwa kita harus hati-hati menghadapi seseorang, siapapun itu. Karena di dalam bisnis, penuh trik dan tipu muslihat untuk mencapai sesuatu. Kebiasaanku yang mudah percaya seseorang harus diubah.Aku sudah mengerti akan hal ini, hanya tidak terfikirkan sampai harus berhubungan dengan kekerasan.Seringkali aku tidak habis pikir, kekuasaan membuat seseorang tidak bersyukur, malah keserakahannya semakin tidak terbatas."Rani, masalah ini sebenarnya masalah pribadiku. Catherine masih penasaran denganku.
"Papi jadi penasaran," sahut Mas Suma."Siap, Pi. Wisnu akan jelaskan. Presentasinya ada di lap top," ucapnya seraya bersiap berdiri."Stop! Makan sahur dulu. Nanti setelah salat Subuh, diskusinya dilanjutkan," ucapku.Kami melanjutkan makan kembali. Kalau tidak diawasi, mereka akan melanjutkan ngobrol. Apalagi Mas Suma, dia paling bersemangat kalau membahas inovasi ataupun bisnis. Kalau sudah bicara, suka tidak ada remnya.Sahur saat ini, aku menyiapkan sayur capcay kuah, daging bumbu kecap dan ayam goreng. Walaupun ini puasa pertama, kami tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. Banyak program dan target yang harus kami kerjakan.Puasa bukanlah penghalang untuk bekerja. Bukankah salah satu tujuan puasa agar kita merasakan laparnya kaum papa? Mereka tetap berkerja keras walaupun dengan perut kosong, bukan malah membentangkan selimut menunggu waktu buka tiba.Setelah salat Subuh berjamaah, Wisnu langsung ditarik Mas Suma untuk meneruskan diskusi yang tertunda tadi. Kami berpindah k
Hari ini saya ke gallery. Persiapan terakhir untuk barang yang akan di kirim ke Paris untuk pameran. Aku diantar Pak Maman dan ada dua motor pengawal yang membuntutiku dari belakang. Berasa ribet tetapi harus dijalani. Keamanan nomor satu.Harus nurutlah sama Mas Suma, walaupun keinginanku mendapat bodyguard mirip Kevin Costner tinggallah angan. Bermimpi dimasa genting inj diperlukan untuk mengurai kepenatan emosi dan otak. Maunya … Sudah siap di gallery, Aitu, Mas Tiok termasuk anggota team pemasaran dan team produksi. "Barang sudah di paking dan akan diambil hari ini oleh cargo," terang Aitu. "Barang pameran sudah, perlengkapan lainnya bagaimana?" tanyaku kembali."Kami sudah cetak flyer dengan lay-out seperti kemarin dan beberapa perlengkapan juga sudah dipak dan akan disertakan pada pengiriman. Ini daftar packing list," serah Aitu."Perlengkapan yang berangkat ke Paris bagaimana? Jangan sampai ada kendala.""Sudah Bu Rani. Saya dan dua orang dari pemasaran. Paspor, Visa termas
"Kenapa? Biasanya dia selalu ngalah sama kamu?" tanyanya heran."Dia ngompori aku tentang pameran Maison O yang di Paris itu," ucapku mengadu. Mas Suma malah tertawa melihatku. "Rani ... Rani, baru kali ini aku melihatmu seperti Amelia kalau ngambek. Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Mas Suma menarikku di sofa. "E ... tidak, Mas Suma. Jauh, dan aku belum pernah ke sana. Apalagi ada Baby Anind yang masih ASI," ucapku berusaha tersenyum normal."Iya, aku percaya. Kita beli makan, yuk. Buat buka puasa! Kamu ingin makan apa? Lontong kikil, mau?" ucap Mas Suma.Kesalku berangsur berkurang terganti rasa lontong kikil yang sudah terbayang. Ditambah sambal dan perasan jeruk nipis. Hhmmm, sedap.Sejenak aku lupa Maison O, aku lihat kesamping, Mas Suma sudah tersenyum seakan tahu apa yang aku pikirkan."Kelihatan jelas?""Apanya?""Yang ada disini," tunjukku ke kepala."Oo, ngiler soto kikil atau Maison O?" ungkapnya memperlebar senyuman di wajahnya.Tuh, kan!***Setelah membeli makan untuk
Pov KusumaCatherine. Nama itu muncul kembali mengusik kehidupan. Terasa mengganggu dan membuatku gerah. Tidak hanya terhadapku, tetapi mengganggu keluarga dan orang di sekitarku. Sikap lunakku tidak membuatnya tahu diri akan kedudukannya. Parahnya lagi, dia mengartikan bahwa aku masih memberinya peluang. Seperti saat itu. Aku menerima kedatangannya di kantor. Beralasan diutus Pak Wahono, Papanya yang memegang pabrik di Bandung, dia berhasil mengelabuhiku."Mas Suma ...!" teriaknya langsung berhambur memelukku erat. "Catherine ... tolong lepaskan. Ada apa?" tanyaku sambil melepas tangannya. Tidak menjauh, dia malah memandangku lekat. "Catherine, ada apa? Ayo kita duduk saja," ucapku langsung menariknya untuk duduk di sofa. Sengaja aku duduk di seberangnya, di sofa single."Mas Suma, aku sekarang sudah bebas," ucapnya dengan mata berbinar dan senyuman lebar. "Bebas? Bebas maksudnya apa?""Suamiku sudah meninggal dan dia memberiku warisan yang banyak. Kita akan menjadi team yang k
POV Maharani Kebiasaan Mas Suma, suka lupa dengan apa yang dipesan. Tadi pagi sudah pesan akan buka puasa dengan pepes bakar, ternyata malah pulang terlambat. Entah apa yang dikerjakan, dia hanya memberitahu untuk tidak menunggunya. [Desi, apa masih ada meeting di kantor?] [Malam Bu Rani. Hari ini tidak ada jadwal meeting, Bu. Pak Kusuma sudah pulang setelah buka puasa. Saya sekarang sudah bersiap pulang] Balasan Desi berbeda dengan yang dikatakan Mas Suma. Kalau tidak ada meeting, dia kemana? Aneh, tidak biasanya dia seperti ini. Kejadian akhir-akhir ini membuatku kawatir dan membuat pemikiranku tidak baik. " Kak Wisnu! Tolong Mama ke sini sebentar!" teriakku. Wisnu yang berada di kamar langsung ke luar menghampiriku. "Ada apa, Ma?" "Kak, tolong cek mobil Papi sekarang ada di mana? Ini username dan paswordnya," ucapku sambil menyodorkan lap top Mas Suma. Aku ingat, dia memasang GPS Mobil Tracker di semua mobil, termasuk mobil yang dia pakai sekarang. Aku bisa melacak keberada
BRAAKK ...!"Mas Suma ...!" Aku langsung berhambur ke dalam. Sepi tidak ada orang. Ruangan ini terasa hening, di meja makan masih tersisa makanan yang sedikit berantakan. "Mas Suma ...!" teriakku sekali lagi."Sudah ketemu?" tanya Pak Tiok.Aku menggeleng dan terduduk lemas. Mas Suma kau dimana?"Ayo Ran. Mungkin di ruangan lain. Aku bertemu dengannya di sana, dekat balkon," kata Pak Tiok langsung berlari ke tempat yang dia maksud."Rani! Ini Pak Kusuma!" teriaknya. Aku langsung berlari menghampiri dan terlihat, Mas Suma tergeletak di sofa dengan mata terpejam. Kakinya terkulai ke bawah dengan pakaian berantakan, bahkan kancing bajunya pun sudah terbuka."Mas Suma!" "Sabar, Ran. Dia tidak apa-apa," kata Pak Tiok setelah mengecek denyut nadi dan pernapasan."Pak Tiok, tolong hubungi dokter Hendra," ucapku dengan memberikan ponselku kepadanya.*"Rani, Suma tidak apa-apa. Dia minum obat tidur dalam dosis lebih. Sebentar lagi dia pasti bangun. Jangan kawatir, ya," ucap Dokter Hendra
"Papi ...!" teriak Amelia menyambut kami. Ditemani Wisnu, mereka menunggu kami di depan pintu rumah.Amelia berhambur memeluk Papinya dan Wisnu langsung menghampiriku."Ma, Papi tidak apa-apa, kan?" tanya Wisnu sambil menggandeng tanganku."Ayo kita masuk dulu. Ceritanya di dalam," ucap Mas Suma menarik kami. Amelia masih lengket menggelendot di lengannya."Mas Suma, bersih-bersih dulu. Hilangkan bekas kotoran tadi," ucapku dengan mendorongnya masuk ke kamar. "Kalian tunggu sebentar, nanti Papi ke sini lagi. Amelia, tolong kasih tahu Bik Inah hangatkan bubur kacang hijau tadi. Nanti kita makan bersama." "Baik, Ma."*"Mas Suma, harus bersih-bersih badan. Saya tidak mau ada bekas Catherine di sana," ucapku sambil menyerahkan kantong plastik besar ke arahnya."Untuk apa ini?""Taruh yang Mas Suma pakai di sini. Saya tidak mau melihatnya, lagi."Tanpa melihatnya, aku berbalik menuju almari menyiapkan baju bersih untuknya. Rasa kesal masih lekat di hatiku. Mengingat keadaannya tadi deng
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan