Targetku tertunda karena minggu kemarin kami harus pulang ke kampung untuk acara Akikah dan Selapanan Baby Anin. Dua hari kami di sana. Keluarga besarku merayakannya dengan meriah. Kebersamaan dan rasa gotong royong yang kental, sangat terasa. Indah sekali rasanya kalau di kampung. Tanpa kedua baby, kami juga sempatkan ke pondok sawahku. Menikmati segarnya udara di persawahan sambil makan bersama. Selera makan kami naik berlipat-lipat. "Ran, kalau kita membuat tempat makan seperti ini, pasti asyik, ya. Aku suka sekali, bisa buat relax. Tidak hanya perut yang dikenyangkan, tetapi juga pikiran!" kata Mas Suma saat itu sambil menikmati makan siang kami.Bagaimana tidak nyaman, makan di pondok yang di tengah-tengah sawah. Angin semilir dan sesekali terdengar burung berkicau.Ikan gurame goreng, tempe koro goreng, ayam kampung bakar dengan lalapan sayur dan pete goreng utuh. Dilengkapi dengan sambal tomat. Tersaji dalam satu tampah besar dan satu bakul nasi. Satu jam kemudiam, tersisa ha
Para remaja memikirkan hal taksir menaksir, pusingnya seperti mikir negara. Anak-anak ini membuatku tersenyum dengan tingkahnya ini."Kak Amel, memang Rangga anaknya seperti apa? Kok sampe buat rebutan seperti itu? Cerita dong, tentang Rangga," kataku merayu. Amelia terhenyak dari keterdiamannya dan menatapku lekat. Kemudian dia tersenyum dan mulai bercerita."Rangga itu anak tunggal, Ma. Papanya tentara dan mamanya ibu rumah tangga. Dia sering ditinggal berdua saja sama mamanya kalau papanya tugas. Dengan kami bertiga, Rangga perhatian tapi galak. Kadang-kadang lucu, tapi sering nyebelin juga, sih!" ceritanya dengan mata berbinar.Iya, perkiraanku benar. Bukan hanya anak dua itu yang suka dengan Rangga. Namun, Amelia juga.Aduh! Bakalan ada cerita cinta segi empat, nih!"Dia anak baik, kan?" tanyaku dengan nada curiga."Baik, Ma. Malah kelewat baik. Dia malah yang jagain kita kalau ada yang gangguin. Dia juga sering bantu Amel.""Terus, Rangga pilih siapa?""Tidak tahu. Mereka takut
"Mas Suma, sebelum berangkat ke kantor, mampir dulu ke ruang kerja. Ada yang ingin aku diskusikan," ucapku.Kami makan pagi berdua saja. Amelia sudah berangkat sekolah dengan membawa sandwich isi telor ceplok. Kebiasaan dia, makan pagi di mobil, dengan alasan yang tidak berubah, takut telat.Kedua baby sudah bangun. Baby Danis makan pagi dengan Mbak Tias di dekat aquarium dan Baby Anin masih berjemur di taman dengan Mbak Dwi."Baiklah. Selesai makan, kita langsung ke sana. Ran, nambah lagi!" ucap Mas Suma menyodorkan piring kosongnya. Nasi putih, sayur bayam dan empal gepuk, menu pagi ini. "Nasinya jangan segitu. Tambah dikit! Dagingnya juga, dua potong" teriaknya."Apa bisa dihabiskan? Ini piring kedua lo, Mas," ucapku heran. Tidak biasanya Mas Suma makan pagi sebanyak makan siang, seperti sekarang ini. Memang, paduan antara sayur bayam bumbu sere dan empat gepuk yang bumbunya terasa sekali, membuat badan terasa segar."Ran ... kamu ingat tidak, kamu peras aku semalaman. Makanya ja
Aku langsung ke galeri setelah singgah dari rumah sakit. Keperluanku tentang kontrasepsi sudah selesai.Pak Tiok, Aitu dan dua orang karyawan baru sudah di kantor. Aitu sudah siapkan semua berkas yang aku kirim kemarin.Kami memulai meeting dengan penjabaran awal pemikiran dari ide ini. Berawal dari tumbuhan semak yang meranggas dan tersisa batang dan dahan daun sampai terbentuk produk seperti gambar contoh. Berangkat dari sini, Irwan dan Sandi team kreatif yang baru akan mengembangkan dalam barang lainnya. Mereka juga akan menggambar detail sebagai dasar produksi, yang tentunya setelah ada persetujuan dariku."Bahan yang digunakan apakah sudah ditentukan?" tanya Irwan."Saya belum menentukan bahan yang pasti. Yang saya inginkan, tampilan harus terlihat mewah dan bersinar. Apa ada usulan?" tanyaku."Bentuk partnya slim dan ada detail ruas. Walaupun begitu harus kokoh dan kuat. Menurut saya, menggunakan bahan logam yang di beri lapisan warna krom ataupun gold. Untuk sistem kerjanya, n
Mobil itu berhenti di depan kami, dan Mas Suma keluar dengan masih memakai kaca mata hitamnya. Sejenak dia berhenti di sebelah mobilnya dan menoleh ke arah kami."Mas Suma .... " Duh, semoga dia tidak salah paham, lagi.Pak Tiok yang sudah berdiri langsung menghampiri Mas Suma. Mereka saling menjabat tangan, dan saling sapa dalam senyum. Beberapa saat mereka berbincang, entah apa yang dibicarakan. Yang tertangkap di mataku, Mas Suma tertawa terkekeh.Dengan langkah panjangnya mereka menghampiriku, aku langsung berdiri menyambut suamiku. Mas Suma langsung merengkuh pinggang dan mencium pipi kanan dan kiri ini. "Apa yang kau sampaikan ke Pak Tiok? Aku jadi penasehatnya?" bisik Mas Suma setelah menyudahi sentuhan yang membuatku melotot. Oh, ternyata Pak Tiok sudah menyampaikan masalah tadi. Lega rasanya. Kami duduk bertiga di teras gallery melanjutkan pembicaraanku dengan Pak Tiok tadi. "Iya. Mas Suma lebih berpengalaman dengan apa yang dihadapi Pak Tiok ini. Okey, saya tinggal sebe
Setelah berbincang selesai, kami langsung pamit pulang. Itu pun dengan mencolek berkali-kali memberi tanda ke suamiku untuk segera menyudahi perbincangan ini."Bu Rani, cookiesnya buat saya, ya," tanya Pak Tiok sambil menunjukkan toples kecil kepadaku."Boleh. Bawa saja, Pak. Ambil satu saja yang belum dibuka di bar," ucapku sambil merapikan bawaanku. Mas Tiok mengantar kami ke parkir, dia buru-buru mendahuluiku untuk membukakan pintu mobil untukku. "Ok, Pak Tiok. Ketemu minggu depan, ya!" teriak Mas Suma sebelum menjalankan mobilnya. Rencananya, kami akan makan malam bersama. Mas Tiok akan mengajak calon pacar-- sahabatnya-- itu, ingin memperkenalkan kepada kami. Hanya, waktu tepatnya akan di bicarakan kembali. Serasa mendadak seperti menjadi konsultan perkawinan."Seneng, ya!" tanya Mas Suma melihatku senyum-senyum."Senenglah, Mas. Akhirnya Mas Tiok mendapatkan tambatan hati. Eh, ternyata dia pernah menikah, tetapi gagal. Sampai dua kali, lo! Aku tidak menyangka.""O, pantas dia
"Mama ...." Amelia memegang lenganku dengan wajah merajuk. Keputusan Mas Suma untuk bertemu Rangga tidak bisa diganggu gugat. Apalagi sudah keluar kata 'pokoknya', sudah dipastikan tidak bisa berubah.Aku mengerti perasaan Mas Suma, dia pasti sangat kawatir akan Amelia. Dia ingin memastikan anak gadisnya tidak bergaul dengan orang yang salah. Sekarang, tugasku untuk memberi pengertian kepada Amelia. Bagaimanapun seusia dia, semakin dipaksa semakin menentang. Harus didekati dari hati ke hati. Aku harus menempatkan diri sebagai seorang sahabat bagi Amelia."Mama, bagaimana ini?" rengek Amelia."Sini sayang, Mama bilangin."Kamipun duduk di sofa panjang di depan taman, dia menyandarkan kepalanya di lenganku. "Rangga bilang ke Kakak, apa?" "Dia bilang, malam ini mau ke sini. Dia mau ngobrol sama Amelia, Ma. Tapi kenapa Papi mau ikut-ikutan, ya. Kan Amel nanti malu. Papi ini tidak asik!" teriaknya kesal."Sayang, Mama tanya. Kalau Kak Amel ke rumah orang, lebih suka dicuekin atau diajak
"Mas, mandi. Sudah sore. Ada apa, ya? Kok mondar-mandir terus."Dari aku keluar kamar mandi, dia bertingkah seperti itu. Apa tidak pusing? Aku saja melihatnya sudah terasa kepala berputar."Mas Suma!" teriakku langsung berdiri di depannya dan menatapnya."Rani, gimana caranya ngadepin temennya Amel, ya. Harus aku marahi atau bagaimana? Ih, dasar anak ABG, aneh-aneh saja. Anak itu, orangnya bagaimana, sih!"Aku menghela nafas panjang. Rasa kesal, ngregetan tercampur jadi satu. Dari tadi masalahnya itu itu saja!"Rangga, namanya. Selama aku ajak bicara, dia anaknya baik, sopan dan kelihatan pintar. Orang tuanya tentara, jadi dia dididik disiplin," kataku."Aku takut salah, Ran. Kamu tahu kan, aku selalu tidak bisa komunikasi dengan Amelia. Aku kawatir Amelia marah, padahal aku bermaksud baik.""Supaya tidak tegang, dia kita ajak ngobrol saja di ruang tengah. Ada Wisnu juga, jadi tidak tegang. Gimana?""Usul yang bagus! Istriku memang pintar dan sexy!" ucapnya.Dia menarikku dan mencium
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan