Bara memang tidak membiarkan Nia menyentuh wajahnya tapi dia yang akan mendekat sehingga memberi kecupan sebentar pada bibir Nia. Ada rasa kecewa ketika Bara melepas ciuman itu.“Sudah, tidur yuk!” Bukannya melanjutkan memberikan sentuhan Nia, Bara malah menarik selimut dan menyelimuti tubuh mereka.Nia mulai hilang kesabaran. Otaknya sudah tidak bisa berpikir dengan baik. Yang dia inginkan sekarang adalah Bara menyentuhnya memberi kehangatan untuknya.“Mas!”“Tidur, Nia!”“Gila, apa dia mencampurkan sesuatu pada susu yang aku minum tadi?” Lagi-lagi Nia bertanya dalam hati yang tidak akan pernah mendapatkan jawabannya.Tanpa sadar Nia mengeram. “Argh ...!”“Kenapa, Nia?” tanya Bara dengan khawatir lalu mendekatkan wajahnya untuk memastikan keadaan istrinya itu. Namun pandangan Nia tertuju pada bibir sang suami. Rasanya Nia ingin sekali mengulumnya, mengigitnya dan ah ... otaknya mendadak diliputi fantasi liar.Bara yang tahu arah pandang istrinya itu berniat tambah mengodanya. Bibirny
Nia terbangun karena beban berat di perutnya. Matanya belum terbuka sempurna tapi dia merabanya.“Apa ini,” gumamnya sambil menyentuh lengan Bara. Tangan Nia menyusuri hingga ke bawah dan menyadari itu sebuah tangan, Nia segera membuka matanya.Nia terkesiap saat melihat Bara yang memeluknya erat dari belakang. Saat ingin mengerakkan tubuhnya mendadak merasakan nyeri pada bagian inti tubuhnya. “Kenapa aku?” lirihnya. Sekali lagi dia merasa aneh dengan tubuhnya.“Mungkin karena beban berat pada perutnya sehingga menjalar pada inti tubuhnya,” pikir Nia. Akhirnya perlahan ia mengangkat tangan Bara dan memindahkannya ke samping.Saat akan bangun, Nia menunduk untuk menyikap selimutnya. Namun begitu kagetnya, menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan baju. Dengan ketakutannya dia segera mengintip dari balik selimut dan melihat tubuhnya sendiri.“Argh ...!” teriak Nia dengan kencang. Bahkan yang sekarang ia lihat tubuhnya polos, tak ada sehelai benangpun.“Nia, ada apa?” Bara tiba-tiba bang
“Sudah dong, jangan ngambek lagi ya?”Bukannya suka dengan pertanyaan itu, Nia semakin geram saja dengan suaminya itu. Setelah mandi bersama dan hanya mandi saja, tidak dengan yang lain. Mereka akhirnya menyelesaikan dengan cepat. Bukan Nia sih tapi Bara, ia hanya takut akan tergoda oleh tubuh polos istrinya itu lagi dan pada akhirnya menerkamnya.Saat ini mereka sedang berada di atas kasur. Setelah mandi tadi Nia memang memilih kasur untuk tempat dia mengistirahatkan semuanya. Kebetulan juga hari ini adalah hari minggu jadi dia tidak perlu ke kampus dengan keadaan sakit seperti ini.“Kamu lapar gak?” tanya Bara lagi. Pria ini seolah tidak peduli dengan amarah sang istri. Sikapnya tetap manis dan perhatian meski Nia memarahinya. Bara sadar kekesalan Nia itu karena ulahnya. Jadi dia tidak akan membalas setiap perlakukan buruk Nia.“Sayang, mau makan apa?” Bara mengulangi pertanyaannya.Nia melirik pada Bara. Ingin sekali dia menghajar pria itu karena mengambil keuntungan darinya. “Mau
Seminggu berlalu sejak kejadian penyatuan mereka berdua.Tetapi Nia masih memedam marah pada suaminya itu. Meski begitu Bara masih tetap baik pada istrinya. Tidak peduli bagaimana juteknya, sinisnya dan tidak pedulinya Nia. Pria itu seolah tak menganggapnya beban.Setiap hari Bara yang mengurus rumah dan memasak. Ah, rupanya cinta telah merubah segalanya dari kebiasaan Bara. “Sayang, sarapan yuk!” teriak Bara pada Nia yang masih berada di dalam kamar.Tidak ada jawaban dari Nia, membuat Bara yang mengalah untuk memanggil istrinya di kamar saja. Dengan tergesa Bara melangkah menuju tangga dan berakhir pada pintu kamar yang masih tertutup rapat. Bara sendiri juga tidak tahu kenapa Nia tidak menjawab panggilannya karena setelah peristiwa itu Bara memilih tidur di kamar lain yang artinya mereka tidak satu kamar lagi.“Nia Sayang, sarapan yuk. Kamu gak ke kampus apa?”Dua menit kemudian, pintu tampak terbuka dan menampilkan Nia yang sudah rapi akan berangkat. Tanpa menjawab ucapan Bara, is
Byurr ... klontang ...Sebuah kaleng berisi cat jatuh dari atas kemudian mengenai kepala Nia.“Nia ...!” jerit Tina saat melihat sahabatnya itu terjatuh di lantai dengan berlumuran cat berwarna merah. “Tolong ... tolong ...!”Tidak ada jawaban dari Nia dan dipastikan dia sedang pingsan. Saat bersamaan Rektor sekaligus Dosen sedang berjalan cepat karena sebentar lagi jam perkuliahannya segera dimulai.“Pak Bara, tolong sahabat saya,” pinta Tina dengan wajah yang khawatir mendekati ke arah Bara.Bara tahu kalau Tina adalah sahabat istrinya, hatinya sudah bisa menebak pasti yang Tina maksud adalah Nia.“Tolong minggir!” ucapnya karena sudah banyak beberapa mahasiswa saling mengerumuni dan ternyata dugaannya benar dia adalah Nia, Bara bisa mengenali dari baju yang dikenakan.“Biar saya saja,” tolak Bara ketika ada seorang mahasiswa yang hendak membopong Nia. Dia cuman tidak mau istrinya disentuh orang lain apalagi seorang pria.“Gak papa, Pak. Saya saja, nanti baju Bapak kotor!” sahut ma
“Jadi bagaimana, Dok? Apa ada yang mengkhawatirkan?”Pandangan seorang Dokter muda tertuju pada Bara dengan mengulas senyum.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak Rektor! Benturan itu tidak membuat istri Anda cedera fatal, jadi mungkin sekarang harus banyak-banyak istirahat dan nanti saya kasih obat pereda nyeri kalau memang diperlukan.”“Tuh, kan, Mas. Aku bilang juga apa! Aku baik-baik saja kemarin itu cuman kaget aja,” desis Nia mendekatkan dirinya pada Bara.“Iya, tapi aku cemas, Sayang!” balas Bara seraya mengepalkan tangan kemudian memukul pelan kening Nia.“Ih ... kalau itu sakit,” omel Nia sambil mengerucutkan bibirnya.Bara yang gemas dengan tingkah istrinya itu langsung mencium kening yang ia pukul tadi.Cup.Tanpa mereka sadari masih ada Dokter yang berdiri dengan geleng-geleng kepala melihat keromantisan mereka.“Ehem ... sepertinya dunia sudah milik berdua ya dan yang lain seperti saya ini ngontrak!” goda Dokter sembari memberi senyuman pada kedua orang yang masih sali
“Beneran kalian tidak menjalin hubungan di belakangku?”Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang kesekian kalinya dilontarkan oleh Bara. Suaminya itu seperti tidak akan ada bosannya menanyakan hal itu.“Mas, sudah aku bilang enggak lho tapi kamu masih tanya berulang-ulang. Kan aku jadi kesel tuh,” keluh Nia menatap kesal pasa suaminya itu.Bara sudah melayangkan tatapan tajam. Ingin sekali percaya kalau ucapan istrinya itu benar, akan tetapi rasanya sulit sekali begitu teringat tatapan pria yang bernama Aldo itu. Sungguh Bara meyakini bahwa keduanya telah menyimpan sesuatu di masa lalu.“Kamu pikir aku gak kesel juga lihat kamu yang terang-terangan digoda pria lain di depan suaminya sendiri, hah?” sembur Bara lalu tangannya menarik kasar pinggang Nia. Pria itu melumat dengan kasar bibir istrinya.Nia bisa merasakan cumbuan kasar suaminya ini dilandasi rasa cemburu makanya ia membiarkan Bara melakukan apapun padanya.“Kenapa, sudah gak mau membalas ciumanku, hah?” tanyanya ketika melepas
“Mas, aku langsung ke supermarket ya. Mau beli kebutuhan dapur.” Itulah isi pesan Nia untuk Bara.Bara tersenyum membaca pesan dari sang istri kemudian mengetik untuk balasannya. “Oke, hati-hati di jalan. Misal acaranya sudah selesai, nanti aku jemput!” Tidak lama, Nia kembali mengirim jawabannya. “Iya.” Lalu pria itu memasukkan ponselnya ke dalam saku, merasa kalau pembicaraannya dengan Nia telah selesai.Acara pembukaan pengalangan dana untuk korban bencana alam yang dilakukan kampus membuat Bara tidak bisa menemani Nia untuk berbelanja. Nia sudah biasa kemana-mana sendiri yang buat dia itu tidak masalah kalau tanpa ditemani Bara. Berbeda dengan Bara. Sejak berbaikkan semalam dari situasi kemarahan yang beruntun, pria itu tidak mau lagi menambahnya.“Wah, sepertinya ada yang seru diponselnya, senyum Bapak mengembang sekali!”Bara terkesiap lalu perlahan dia mendongak demi melihat siapa yang telah mengodanya.“Pak Deni,” panggil Bara seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman.Seseo