Sintia mendatangi Lula, seorang psikiter muda, dan berjanji membayarnya dengan harga fantastis jika saja bisa membantunya.
Sebelumnya Lula menolak, karena terlalu berlebihan jika dia harus mengembalikan Glenn seperti dahulu lagi. Untuk proses penyembuhan trauma tidak semudah membalikkan telapak tangan dan diperlukan rentetan proses yang sangat panjang.
Tentu saja keberhasilan diperoleh jika yang bersangkutan dan keluarga mau kooperatif selain itu orang-orang terdekatnya juga mendukung.
“Aku akan membayarmu berapa pun yang kamu mau, asal anak saya bisa seperti dulu lagi. Punya semangat hidup, semangat bekerja, melupakan masa lalu dan menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Katakan aku harus membayar berapa?” tantang Sintia.
Lola menggeleng dan tersenyum, “Maaf Ibu Sintia, ini bukan tentang uang. Banyak kasus sama yang pernah saya hadapi sebelumnya. Pada prakteknya saya tidak bisa bekerja sendiri. Saya butuh bantuan orang-orang
Sintia sudah kembali ke Singapura, meninggalkan tanggung jawab buat Rega. Sebenarnya wanita itu ada dan tidak ada di sisi Glenn sama saja. Sama-sama tidak ada gunanya. Sementara Rega juga sudah lelah setiap hari harus menyeret Glenn dari club’ malam. Sahabatnya itu sudah seperti kehilangan akal sehat dan menghamburkan semua masalahnya dalam kesenangan malam. Jika siang dia tidak punya harapan hidup hanya menghabiskan waktu dengan tidur. Sungguh Rega pusing dibuatnya. Kondisi apartemennya pun kacau balau tidak terurus botol minuman bertebaran, dan segalanya acak-acakan. “Maaf aku menemuimu kembali,” ucap Rega di sudut kampus Nuansa, dirinya sengaja mencari Lala. Kebetulan gadis itu sedang asyik dengan laptopnya. Gadis itu mendongak dan cukup kaget demi melihat kedatangan Rega, “Untuk apa mencariku” tanya Lala. Gadis itu menghentikan aktivitas menulisnya, demi menghargai orang yang mengajaknya bicara. “Aku ingin minta tolong,” ucap Rega
“Terimakasih mau membantuku, jika ada apa-apa nanti kamu bisa meneleponku, aku pasti akan membantumu, jangan khawatir,” ucap RegaLala mengangguk. Sambil menikmati perjalanan menuju apartemen Glenn, “Jadi berapa lama aku harus di sana?” tanya Lala.Rega tersenyum. “Aku yakin kamu akan berhasil dalam waktu tidak lama,” ucapnya pasti.“Jika aku tidak berhasil bagaimana?” tanya Lala.“Aku percaya padamu!” jawab Rega.Empat puluh lima menit kemudian mereka sudah sampai di pintu apartemen Glenn. Lala menata hatinya agar terlihat biasa saja nantinya di depan Glenn. Bagaimana pun dia pernah memiliki rasa yang berbeda pada laki-laki itu.Raga dan Lala mengayunkan langkah bersama terlihat Rega mengatur langkahnya menyeimbangkan dengan langkah Lala. Laki-laki ini begitu menghargai perempuan dan sangat berbeda jauh dengan Glenn.Tak berapa lama pintu terbuka, menampakan sosok laki-laki
Sepertinya mata Lala baru saja terpejam ketika keributan itu kembali terjadi, dengan malas Lala memutuskan bangun demi melihat apa yang terjadi. Jam dinding menunjukan pukul 03.00 mereka baru pulang terlihat Rega memapah Glenn yang terlihat sempoyongan dan bicara tidak jelas, sementara bau alkohol begitu kentara, laki-laki itu membawa pria itu ke dalam kamarnya. “Kamu bisa nggak berhenti merepotkan orang lain?!” Bentak Rega begitu keras. Seraya menjatuhkan tubuh besar itu ke kasur. Glenn bangkit, kemudian memukul Rega, “Jangan terlalu peduli dengan hidupku!” ucap Glenn. Rega tidak membalas percuma membalas orang di bawah pengaruh alkohol. Lala menarik Rega, “Sudah pulanglah, biar aku yang urus Glenn!” ucap Lala kemudian. Akhirnya rega menurut untuk meninggalkan mereka berdua. Rega sangat yakin jika Lala bisa diandalkan. Setelah Rega pergi, Lala mendekati Glenn, yang terus memegangi kepalanya. “Duduklah ucap Lala, apa kamu pusing?” tany
Pelan-pelan Lala memindahkan lengan besar itu dari tubuhnya, tapi sia-sia karena dia malah lebih posesif dan mengetatkan tubuhnya. Laki-laki itu tertidur tapi jika Lala bergerak secara reflek lengan itu menariknya lebih dalam. Lala mendorong tubuh itu dan segera bangkit. Bukan karena apa-apa, tetapi dia merasa pegal tidur dengan ditimpa lengan itu meskipun dirinya suka. Tindakan Lala membuat laki-laki itu terbangun. “Tolong ambilkan air dingin,” ucapnya serak sepertinya tenggorokannya begitu kering. Lala bangkit mengambil air mineral dingin kemudian memutar tutupnya dan mengulurkan pada Glenn. “Minumlah,” ucapnya pelan. Glenn meminumnya dalam sekali tenggak hingga suara air yang masuk dalam tenggorokannya terdengar begitu kentara. Kemudian memberikan botol kosong itu pada Lala. Laki-laki itu memegang kepalanya dan matanya terpejam erat seolah menahan rasa pusing yang begitu hebat. Kemudian menghempaskan tubuhnya kembali di kasur. “ Apa yang kau rasaka
“Jadi kau memang ingin melihatku hancur?” tanya Glenn bingung.“Bukankah itu yang kamu lakukan sekarang? Untuk apa pura-pura bingung? Teruskan saja selagi kamu suka!” sinis Lala sambil menyuapkan sendok terakhirnya. “Mau nambah lagi nggak makannya?” tanyanya kemudian. Gadis itu menarik selembar tisu dan membersihkan bibir Glenn.Kemudian meraih teh hangat dan menyodorkannya ke arah Glenn. “Segera diminum,” pintanya.Tubuh kecil Lala beranjak untuk mencuci mangkuk kotor di tangannya, kemudian menyimpannya dengan baik setelah selesai.Glenn memperhatikan setiap kegiatan Lala. Sampai gadis itu sudah berada di depannya kembali.“Jika tidak ada yang harus aku lakukan lagi aku mau ke kamar. Kamu pikir aku tidak punya pekerjaan yang lain?” ucap Lala.Glenn tidak menjawab dan masih menatap gadis itu.“Kalau kamu mau pergi hura-hura lagi malam ini, aku ingatkan! Mala
“Sudah jangan lama-lama,” ucap Lala, melepaskan pelukan itu. Kemudian duduk di tepi ranjang. “Jika kamu sudah mengerti sebaiknya dipercepat prosesnya, karena aku juga punya urusan sendiri!” “Proses apa?” tanya Glenn tidak mengerti. “Proses menjadi waras,” sinis Lala. “Kamu nggak ikhlas membantuku di sini?” tuduh Glenn. Lala mengernyit, kemudian membenarkan helai rambutnya ke belakang telinga. Kemudian menatap Glenn. “Apa? Ikhlas kamu bilang? Untuk apa aku ikhlas? Pada akhirnya aku juga nanti yang di maki-maki! Dikiranya aku mengincar hartamu, dikira aku suka sama kamu! Yang benar saja, seperti tidak ada laki-laki yang lebih baik,” kesal Lala. Glenn menatap tajam Lala dengan memegang kedua pundaknya, “Jadi maksudmu aku tidak baik?” geram Glenn. ”Iya,” jawab Lala pendek. “Apa maksudmu?” Glenn mencengkeram pundak Lala hingga merintih kesakitan. “Akh ... Lepaskan!” pekik Lala. Gadis itu menggoyang-goyangkan tubuhnya demi bi
“Rega?” Lala cukup kaget ketika membuka pintu dan melihat Rega membawa plastik besar. Bahkan ini masih pagi, yang benar saja dirinya sudah datang. Rega tersenyum manis, “Kamu apa kabar, La?” Jawab Rega. “Seger banget kelihatannya, nggak bangun siang lagi?!” sindir Rega menahan senyumnya. Lala sadar jika itu sindiran, meskipun kejadiannya tidak seperti itu. “Setiap hari aku bangun pagi, Ga! Hanya saja terkadang tidur lagi jika perkerjaan sudah selesai,” kilah Lala mencari pembenaran. “Oh berarti pagi itu aku salah lihat, soalnya aku melihat Glenn tidur memeluk gadis yang begitu mirip denganmu, entahlah mungkin mataku yang salah,” ucap Rega dengan senyum sedikit sambil mengulurkan plastik itu. Jangan tanyakan bagaimana kondisi pipi Lala karena menahan malu, tentu saja semburat merah itu tidak bisa di sembunyikan. Lala menunduk ke arah plastik besar itu. “Apa ini, Ga?” tanya Lala mengalihkan perhatian Rega. “Bahan makanan untuk kalian, mungkin ti
“Kita makan apa?” tanya Glenn pada Lala yang tampak sedikit melamun, dari tadi tatapannya terus menuju jalan.“Apa aja, lagi pula aku tidak terlalu lapar,” jawab Lala.“Hah tidak lapar?! Kamu belum makan apa-apa lho. Apa dengan menatap wajah gantengmu saja kamu tiba-tiba langsung kenyang?” sahut Glenn dengan tatapan terus menghadap jalan, sambil sesekali memperhatikan sisi sebelah kiri jalan barangkali saja ada warung makan yang menarik untuk didatangi.“Kamu terlalu percaya diri, aku tidak terbiasa sarapan berat. Biasanya hanya segelas susu dan sepotong roti, sudah ...”“Iya, kali ini aku yang lapar. Biasanya aku sarapan soto kwali jika bersama, Sabila. Kamu mau soto juga kan?” ucap Glenn.Sebenarnya hanya kata sederhana, tapi bagi Lala itu bagaikan pisau yang mengiris hatinya. Perih rasanya, tetapi terlalu bodoh jika cemburu dengan orang yang sudah meninggal. Lala tidak menyahut. Berusah