“Kita makan apa?” tanya Glenn pada Lala yang tampak sedikit melamun, dari tadi tatapannya terus menuju jalan.
“Apa aja, lagi pula aku tidak terlalu lapar,” jawab Lala.
“Hah tidak lapar?! Kamu belum makan apa-apa lho. Apa dengan menatap wajah gantengmu saja kamu tiba-tiba langsung kenyang?” sahut Glenn dengan tatapan terus menghadap jalan, sambil sesekali memperhatikan sisi sebelah kiri jalan barangkali saja ada warung makan yang menarik untuk didatangi.
“Kamu terlalu percaya diri, aku tidak terbiasa sarapan berat. Biasanya hanya segelas susu dan sepotong roti, sudah ...”
“Iya, kali ini aku yang lapar. Biasanya aku sarapan soto kwali jika bersama, Sabila. Kamu mau soto juga kan?” ucap Glenn.
Sebenarnya hanya kata sederhana, tapi bagi Lala itu bagaikan pisau yang mengiris hatinya. Perih rasanya, tetapi terlalu bodoh jika cemburu dengan orang yang sudah meninggal. Lala tidak menyahut. Berusah
“Kita mau ke mana? Bahkan ini bukan jalan menuju apartemenmu!” tanya Lala sedikit bingung. Pasalnya Glenn memacu terus mobilnya bahkan sepertinya menuju luar kota.“Aku suntuk La, temani aku sebentar ya,” pinta Glenn.“Janji sebentar.”“Iya,” jawab Glenn pendek sambil terus fokus menyetir mobilnya.“Glenn apa aku boleh bertanya?” tanya Lala sedikit ragu.Glenn meliriknya sekilas. Kemudian kembali fokus ke jalan. “Apa aku pernah melarangmu bicara, tanya saja sesukamu aku pasti jawab. Jangan khawatir!”Lala memiringkan kepalanya demi melihat ekspresi Glenn, “Apa kamu masih mencintai kak Sabila?” tanya Lala.“Mengapa bertanya begitu? Dia dulu pernah jadi calon istriku. Tentu saja kamu sudah tahu jawabanku,” jawab Glenn sendu.“Sejauh apa kalian pacaran, maaf ....”“Kamu bukan orang tuaku, bukan pula orang tua Sa
Angin menerpa keduanya “La, mengapa kamu diam?” tanya Glenn. “Aku harus menjawab apa,” Lala mendongakkan kepala pada laki-laki di belakangnya. Kemudian beringsut menyamping memosisikan pipinya tepat di dada Glenn demi mendengar degub jantung yang berkejaran seiring ombak di depannya. Kedua tangan Glenn merengkuh tubuh itu. “Kamu tidak perlu menjawab, jika belum ada jawaban,” ucap Glenn menatap lurus jauh ke depan. Lala kembali mendongak meneliti ekspresi laki-laki yang memeluknya kini. Tersadar di perhatikan Glenn menunduk hingga mata mereka bertemu kembali. Glenn menatap sayu manik gadis dalam rengkuhannya. “Mengapa melihatku seperti itu?” tanya Glenn. “Aku bingung Glenn ....” lirih Lala. “Jangan bingung, ikuti saja hatimu ... Biar semua mengalir seperti apa adanya tanpa paksaan,” ucap Glenn. Punggung tangannya mengusap pipi gadis itu. Kemudian wajahnya semakin tertunduk hidung tinggi itu hampir menyentuh pipi Lala.
Keduanya sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen Glenn. “Kenapa diam saja apa kamu capek?” tanya Glenn melirik gadis di sampingnya sesaat kemudian kembali fokus pada kemudi mobilnya. Lala mengantuk dan meringkuk di tempatnya. “Apa AC-nya terlalu dingin,” Glenn mulai mengatur suhu mobilnya, “Atau kamu sudah lapar?” tanya Glenn heran karena Lala hanya diam saja. Glenn menghentikan mobilnya ketika lampu merah, tangan itu mengusap pucuk kepala Lala. “ Mengapa diam saja, tidak satu pun pertanyaanku kamu jawab,” tanya Glenn. Lala menatap Glenn sesaat, “Sudah hijau lampunya,” ucap Lala. Mobil itu kembali melaju. “Glenn,” “Hmmm...” “Mengapa kamu menyuruhku menggantikan posisi, kak Bila?” Glenn terbahak demi mendengar pertanyaan Lala. “Jadi kamu masih memikirkan itu?” tanya Glenn. Kemudian menatap gadis di sampingnya sekilas, mobil berbelok sudah hampir dekat memasuki kota Violens. Perjalanan memang cukup lama hampir
Hari masih terlalu pagi. Glenn begitu semangat bangun, sesaat melepaskan tangan kecil di atas perutnya. Dirinya tersenyum melihat Lala tidur begitu polosnya. Glenn mengecup dahi itu kemudian meninggalkannya.Setelah ritual kamar mandi Glenn melangkah menuju kamarnya sendiri. Duduk di meja kerjanya dan membuka laptop. Entahlah sudah berapa lama Glenn melupakan pekerjaannya.Benar kata Lala hidup harus terus berjalan dan kenangan tidak akan bisa digandeng menuju masa depan. Laki-laki itu membuka laptopnya. Sejenak dahinya berkerut demi melihat, begitu banyak email yang masuk sejak dirinya melupakan pekerjaannya.Glenn mengurut keningnya. ‘Apakah Wira bisa menghandle semuanya’ batinnya ragu. Bahkan banyak sekali cancell order di sana karena keterlambatan respon. ‘Astaga!’ Glenn terus menelusuri e-mail itu. Kemudian dirinya menelpon seseorang.“Hallo Winda.”Winda adalah sekretarisnya.“Benarkah bapak Gl
“Apa yang kamu lakukan pada adikku! Brengsek!! Laki-laki tidak bermoral!” Adrian melayangkan tinju di perut Glenn hingga tubuh kembali terpental dan membentur tembok."Akh!" Glenn berteriak kesakitan.Lala melepaskan diri dari pelukan Edo, menarik tubuh Adrian dan memeluknya dari belakang kuat-kuat.“Kak, tolong berhenti. Aku mohon!” Pintanya dengan bibir bergetar dan derai air mata. Lala sangat takut mengingat kakaknya itu cukup emosional.“Arghhh!!” geramnya, tangan terkepal Adrian di buang ke udara mendengar permohonan sang adik, laki-laki itu membuang sisa kemarahannya dan membalikkan badan untuk memeluk Lala seerat-eratnya, tangannya terulur dan mengusap punggung gadis itu yang masih saja menangis, kemudian mencium kepalanya berkali-kali.“Mengapa kamu jadi seperti ini dek?” tanya Adrian kecewa, ada rasa sedikit menyesal membiarkannya sendiri di kota ini. Apalagi mengetahui jika dia dimanfaatkan
“Terimakasih, Alan! Jika bukan karena kamu tentu kami tidak bisa menemukan Lala,” ucap Edo sambil menjabat erat tangan Alan.“Jadi kamu mantan pacar, Lala? Astaga adikku pamitnya kuliah kenyataannya melanglang buana mencari cinta!” Ucap Adrian sambil memijit pelipisnya. Kemudian menjabat tangan Alan sebagai ucapan terima kasihnya.Lala tersenyum sebal demi mendengar ucapan sembarangan Adrian.“Kamu hati-hati di jalan, dan kami mengucapkan terima kasih banyak ya.” Ucap Iriani menepuk bahu Alan. Alan mencium punggung tangan Iriani dengan takzim. Dalam hati berdoa ‘Semoga diangkat menjadi menantunya'“Iya, kak, Tante, Lala, aku duluan ya!” Pamit Alan, menuju parkiran motornya. Bahkan dia tidak menyangka jika Lala adalah anak dari pemilik Harani hospital.Mereka berempat kemudian menuju mobil hendak ke hotel tempat mereka menginap.Iriani duduk di depan sementara Lala dan Adrian
Glenn terbangun ketika menghirup aroma yang sangat dia benci sejak kecil, aroma itu begitu membuatnya mual, bukan itu saja di juga teringat detik-detik kepergian Sabila.‘Astaga betulkah aku berada di rumah sakit?’ batinnya, kemudian perlahan membuka matanya. Badannya terasa lemah seluruh tubuhnya terasa hancur. Ruangan serba putih itu tampak menyebalkan bagi Glenn, bahkan sejak kecil dirinya membenci rumah sakit.“Bapak sudah bangun!” ucap seorang gadis cantik berpakaian rapi dan formal tampak berdiri di pinggir ranjangnya. Rupanya dia adalah Winda.“Mengapa aku di sini?” tanya Glenn lemah. Kepalanya terasa berputar-putar.“Maaf Pak, saya tadi di telepon pak Rega. Beliau meminta saya supaya menolong Bapak. Katanya kondisi darurat. Saya secepatnya diminta datang ke apartemen. Ternyata benar, saya menemukan Bapak di Apartemen seorang diri dalam keadaan pingsan. Akhirnya saya dan Pak Wira membawa Bapak ke sini
Setelah diizinkan pulang dari rumah sakit, banyak sekali yang harus diselesaikan Glenn. Tentu saja berkaitan dengan pekerjaan dan masa depannya.Glenn mendatangi makam Sabila. Sejak Sabila tidur di sana baru kali ini laki-laki itu mengunjunginya.Glenn duduk bersimpuh di tanah kubur itu. Air mata mengalir tanpa aba-aba demi menatap nisan bertuliskan nama calon tunangannya.“Salah jika aku bertanya mengapa kamu harus pergi, karena memang kamu harus pergi. Tidak benar jika aku terus menangisimu, aku yakin kamu tidak ingin seperti itu. Aku mengerti jika kamu sudah kembali pada pemilik yang sebenarnya. Sabila maafkan aku, bahkan karena kesedihan itu aku terlupa mendoakanmu. Maaf aku telah egois,” lirih Glenn di samping pusara itu. Tangan kekar itu mengelus pusara itu.Wajahnya kemudian menunduk sendu khusyuk melantunkan doa untuk kekasih tercinta. Cukup lama, dengan mata terpejam mengantarkan harap.Air mata itu kembali menetes kala banyak