“Hallo apakah benar dengan saudara, Nona Sabila?” tanya suara dalam sambungan telepon itu. Glenn sendiri begitu asing dengan suara itu.
“Iya betul ... Astaga apa yang terjadi?”
Glenn segera memasukan ponselnya di dalam saku kemudian melesat pergi. Sikap Glenn yang tampak buru-buru, cemas dan panik sempat menimbulkan sedikit tanya dibenak Lala. Tapi itu hanya sebentar, di detik selanjutnya Lala menyadari jika kebiasaan Glenn memang kurang sopan datang dan pergi sesuka hati. Lalu apa peduli Lala jika demikian.
“Kita pulang ya, Al. Aku lelah sekali,” ucap Lala. Setelah Glenn pergi Lala melepaskan genggaman tangannya dari Alan.
Alan mengangguk dan mereka berjalan beriringan menuju parkiran. “Al, tunggu dong!” terdengar suara Dewi berteriak. Alan dan Lala sontak menoleh, bahkan Alan yang baru saja ingin memakai helm menunda kegiatan itu.
“Mengapa aku ditinggalin, kalian jahat banget sih,” omel
Setelah mendapat kabar dari orang yang tidak dikenal lewat telepon, Glenn segera menjalankan mobilnya dalam keadaan kacau. Orang itu mengatakan Sabila berada di Harani Hospital. Setelah memastikan sampai di depan Harani hospital, Glenn segera mencari parkiran. Pertama kalinya Glenn datang di rumah sakit ini, sehingga agak bingung. Entah karena pikirannya kalut atau karena dirinya sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi dengan baik. Badan tegap itu tergesa memasuki lorong rumah sakit, menuju ruang UGD. Glenn begitu panik sampai harus beberapa kali bertanya pada setiap orang yang lewat. Sebenarnya jika pikirannya jernih tanpa perlu bertanya sudah pastilah sampai. Karena rumah sakit ini begitu rapi dan setiap lorong sudah diberi petunjuk tinggal membaca dan mengikuti tanda panah. Tetapi Glenn tetap masih harus bertanya lagi saking bingung dan tidak sabar segera sampai di ruangan itu. Sebenarnya bukankah sudah ada
Empat puluh hari sudah semenjak kepergian Sabila Glenn tampak menyedihkan. Raga itu seperti tidak bernyawa dan tidak mempunyai harapan hidup lagi. Bagaimanapun Glenn belum bisa melupakan semua kenangannya. Tidak ada lagi semangat untuk hidupnya, jangankan ke kantor mengurusi dirinya sendiri pun tidak bisa. Untung saja Herlambang setuju untuk tinggal sementara di kota Violens demi mengawasi usaha barunya. Dengan begitu Herlambang bisa menghandle pekerjaan Glenn. Glenn teramat kacau balau dan selalu menghabiskan waktu di club malam. Penolakan atas nasib yang diterimanya membuat dirinya kehilangan arah. “Hei!” sepertinya kita pernah bertemu, sapa seorang wanita berpakaian minim terbuka setengah dadanya, dengan bawahan rok sejengkal berwarna hitam, hingga memperlihatkan lekukan yang sempurna untuk bentuk badannya. Sorot mata wanita itu tajam dan memabukkan tetapi tampaknya gagal membuat Glenn untuk menjadi tertarik. Glenn melirik wanita itu sekilas,
“Jadi kamu?!” Sinis Sintia.Setelah menemukan kontak gadis yang dicarinya semalam, kemudian Rega menelpon dan mengajaknya bertemu. Tentu saja gadis itu menolak mengingat tidak mengenalnya dan seenaknya mengajak bertemu.Namun Rega berhasil memastikan bahwa dirinya tidak berniat jahat, kemudian mereka menyusun rencana bertemu di depan kampus Nuansa.Sebelum berangkat tentu saja Rega mengajak Sintia untuk membantu meyakinkan gadis itu.Gadis itu sama kagetnya demi melihat yang datang ternyata Sintia, Apa maksud dari semua ini?“Tante sudah mengenalnya?” tanya Rega penasaran.“Untuk apa kita menemui gembel ini di sini, Ga? Kamu itu sungguh tidak masuk akal!”“Jika memang tidak ada yang ingin di bicarakan lagi sebaiknya saya permisi, mungkin kalian salah orang,” ucap Lala berjalan meninggalkan mereka. Dia sangat malas terlibat urusan dengan Sintia.Rega mengejar Lala, “Sebentar
Sintia mendatangi Lula, seorang psikiter muda, dan berjanji membayarnya dengan harga fantastis jika saja bisa membantunya.Sebelumnya Lula menolak, karena terlalu berlebihan jika dia harus mengembalikan Glenn seperti dahulu lagi. Untuk proses penyembuhan trauma tidak semudah membalikkan telapak tangan dan diperlukan rentetan proses yang sangat panjang.Tentu saja keberhasilan diperoleh jika yang bersangkutan dan keluarga mau kooperatif selain itu orang-orang terdekatnya juga mendukung.“Aku akan membayarmu berapa pun yang kamu mau, asal anak saya bisa seperti dulu lagi. Punya semangat hidup, semangat bekerja, melupakan masa lalu dan menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Katakan aku harus membayar berapa?” tantang Sintia.Lola menggeleng dan tersenyum, “Maaf Ibu Sintia, ini bukan tentang uang. Banyak kasus sama yang pernah saya hadapi sebelumnya. Pada prakteknya saya tidak bisa bekerja sendiri. Saya butuh bantuan orang-orang
Sintia sudah kembali ke Singapura, meninggalkan tanggung jawab buat Rega. Sebenarnya wanita itu ada dan tidak ada di sisi Glenn sama saja. Sama-sama tidak ada gunanya. Sementara Rega juga sudah lelah setiap hari harus menyeret Glenn dari club’ malam. Sahabatnya itu sudah seperti kehilangan akal sehat dan menghamburkan semua masalahnya dalam kesenangan malam. Jika siang dia tidak punya harapan hidup hanya menghabiskan waktu dengan tidur. Sungguh Rega pusing dibuatnya. Kondisi apartemennya pun kacau balau tidak terurus botol minuman bertebaran, dan segalanya acak-acakan. “Maaf aku menemuimu kembali,” ucap Rega di sudut kampus Nuansa, dirinya sengaja mencari Lala. Kebetulan gadis itu sedang asyik dengan laptopnya. Gadis itu mendongak dan cukup kaget demi melihat kedatangan Rega, “Untuk apa mencariku” tanya Lala. Gadis itu menghentikan aktivitas menulisnya, demi menghargai orang yang mengajaknya bicara. “Aku ingin minta tolong,” ucap Rega
“Terimakasih mau membantuku, jika ada apa-apa nanti kamu bisa meneleponku, aku pasti akan membantumu, jangan khawatir,” ucap RegaLala mengangguk. Sambil menikmati perjalanan menuju apartemen Glenn, “Jadi berapa lama aku harus di sana?” tanya Lala.Rega tersenyum. “Aku yakin kamu akan berhasil dalam waktu tidak lama,” ucapnya pasti.“Jika aku tidak berhasil bagaimana?” tanya Lala.“Aku percaya padamu!” jawab Rega.Empat puluh lima menit kemudian mereka sudah sampai di pintu apartemen Glenn. Lala menata hatinya agar terlihat biasa saja nantinya di depan Glenn. Bagaimana pun dia pernah memiliki rasa yang berbeda pada laki-laki itu.Raga dan Lala mengayunkan langkah bersama terlihat Rega mengatur langkahnya menyeimbangkan dengan langkah Lala. Laki-laki ini begitu menghargai perempuan dan sangat berbeda jauh dengan Glenn.Tak berapa lama pintu terbuka, menampakan sosok laki-laki
Sepertinya mata Lala baru saja terpejam ketika keributan itu kembali terjadi, dengan malas Lala memutuskan bangun demi melihat apa yang terjadi. Jam dinding menunjukan pukul 03.00 mereka baru pulang terlihat Rega memapah Glenn yang terlihat sempoyongan dan bicara tidak jelas, sementara bau alkohol begitu kentara, laki-laki itu membawa pria itu ke dalam kamarnya. “Kamu bisa nggak berhenti merepotkan orang lain?!” Bentak Rega begitu keras. Seraya menjatuhkan tubuh besar itu ke kasur. Glenn bangkit, kemudian memukul Rega, “Jangan terlalu peduli dengan hidupku!” ucap Glenn. Rega tidak membalas percuma membalas orang di bawah pengaruh alkohol. Lala menarik Rega, “Sudah pulanglah, biar aku yang urus Glenn!” ucap Lala kemudian. Akhirnya rega menurut untuk meninggalkan mereka berdua. Rega sangat yakin jika Lala bisa diandalkan. Setelah Rega pergi, Lala mendekati Glenn, yang terus memegangi kepalanya. “Duduklah ucap Lala, apa kamu pusing?” tany
Pelan-pelan Lala memindahkan lengan besar itu dari tubuhnya, tapi sia-sia karena dia malah lebih posesif dan mengetatkan tubuhnya. Laki-laki itu tertidur tapi jika Lala bergerak secara reflek lengan itu menariknya lebih dalam. Lala mendorong tubuh itu dan segera bangkit. Bukan karena apa-apa, tetapi dia merasa pegal tidur dengan ditimpa lengan itu meskipun dirinya suka. Tindakan Lala membuat laki-laki itu terbangun. “Tolong ambilkan air dingin,” ucapnya serak sepertinya tenggorokannya begitu kering. Lala bangkit mengambil air mineral dingin kemudian memutar tutupnya dan mengulurkan pada Glenn. “Minumlah,” ucapnya pelan. Glenn meminumnya dalam sekali tenggak hingga suara air yang masuk dalam tenggorokannya terdengar begitu kentara. Kemudian memberikan botol kosong itu pada Lala. Laki-laki itu memegang kepalanya dan matanya terpejam erat seolah menahan rasa pusing yang begitu hebat. Kemudian menghempaskan tubuhnya kembali di kasur. “ Apa yang kau rasaka