“Sudah. Tidak usah ungkit-ungkit masa lalu,” kata Dedy memperingatkan.
“Begitu rapi dulu kerjamu, Mas. Sekarang kok malah tersandung masalah kecil begini.” Rara tak menggubris larangan Dedy.
Kedua petugas di kamar sebelah saling bertatapan penuh arti. Mereka batal menghentikan rekaman percakapan.
“Sudahlah. Daripada mengomel terus, lebih baik kita pikirkan bagaimana cara menyelesaikannya,” tukas Dedy lagi.
Kali ini, barulah Rara terdiam. Mereka berdua kembali bisu tanpa suara.
Kedua petugas di kamar sebelah masih menunggu selama beberapa saat lagi. Setelah yakin bahwa Dedy dan Rara tidak lagi mengeluarkan ucapan apapun, barulah salah seorang petugas menghentikan rekamannya.
“Sangat mencurigakan. Kita harus mengecek masalah ini,” kata salah satu petugas.
“Betul. Sepertinya mereka berdua
Kenyataan bahwa Dedy telah memiliki istri tak membuat Rara surut niat. “Istri? Gampang. Kamu ceraikan saja dia,” ujar Rara enteng. “Dia yatim piatu. Kasihan kalau aku ceraikan. Bagaimana kalau dia tetap menjadi istriku?” Dedymenawar. Ada rasa enggan di hati Dedy untuk melepaskan Wati. Wati telah setia menjadi istrinya dan menuruti semua kemauannya tanpa pernah mengeluh. Dedy ingin tetap memiliki Wati. “Ya, deh. Kamu boleh tetap memilikinya. Tetapi ingat, selesaikan tugasmu yang aku perintahkan,” kata Rara seraya cemberut. Pada hari yang telah ditentukan, Dedy datang ke rumah Beny Ardani. Mudah saja Dedy melakukan perintah Rara, karena Beny Ardani juga sedang sakit. Lelaki berumur 50 tahun itu sama sekali tak mengira bahwa kedatangan Dedy ke rumahnya menjadi malapetaka bagi dirinya. Saat Beny berbalik, Dedy memukulnya keras-keras. Beny tersun
Serta merta teriakannya mengundang para tetangga untuk menoleh ke arah si Nenek.“Cepat tancap!” titah teman si polisi yang telah selesai memasukkan koper.Polisi yang menjadi supir langsung menekan pedal gas dalam-dalam.“Mana, Nek? Mana?” desak beberapa warga.Nenek itu menunjuk ke arah mobil polisi, tetapimobil itu telanjur melaju pergi. Setelah menunjuk mobil, sang nenek pingsan. Ibu-ibu yang ada di dekat si nenek sigap menangkap tubuhnya.“Jari apa, sih?” tanya seorang ibu-ibu berwajah nyinyir.“Kayaknya di koper yang diangkut polisi tadi ada jari tangan manusia,” ujar seorang bapak yang sempat melihat sekilas.“Hah?” seru beberapa warga.Para tetangga yang berkerumun ternganga. Sorot kengerian terpancar dari mata-mata mereka. Mereka memandang ruma
Nyonya Sultan sigap mengambil remote, lalu memperbesar volume suara teve.“Sekilas info. Pemirsa, baru saja kami mendapat kabar bahwa telah ditemukan koper berisi mayat seorang lelaki di rumah ini. Berikut kesaksian warga.”Kamera beralih ke wajah seorang nenek-nenek.“Ibu yakin melihat ada mayat di dalam koper?” tanya wartawan berkacamata.“Yakin! Ada jari yang keluar dari celah koper yang diangkut oleh polisi. Saya sampai pingsan, Mbak! Kalau ingat itu lagi, saya jadi ngeri,” serak suara si nenek seraya memeluk badannya yang menggigil.“Sebetulnya siapa yang tinggal di rumah ini?” lanjut wartawan.“Kami kenal namanya Bu Rara. Orangnya sih memang cantik, tetapigalaknya ... judes pula. Saya enggakmenyangka sama sekali kalau dia juga adalah pembu ... hih!” si nenek tak sanggup meneruskan u
Kasus Rara sudah mencapai puncaknya. Bukti-bukti sudah terkumpul lengkap. Dakwaan terhadap Rara berlapis-lapis. Selain menjadi tersangka kasus pembakaran toko di pasar, juga merencanakan dan melakukan pembunuhan dengan cara sengaja. Banyak saluran teve yang meliput kasus ini. Bahkan ada saluran teve yang sengaja melakukan investigasi mendalam. Ada juga yang sampai membuat film khusus berdasarkan kasus Beny Ardani. Pada sidang putusan hakim, Wati datang diiringi Lily dan Samir. Wati sudah memesan kursi khusus yang berada pada deret pertama kursi penonton di sidang, tetapiia tidak muncul pada awal persidangan. Tatkala sidang hampir mendekati akhir, yaitu momentum ketuk palu putusan hakim, barulah Wati muncul. Wati duduk dengan anggun di kursi penonton. Ia mengenakan kacamata hitam besar. Tak lupa, ia juga mengenakan topi lebar yang menyembunyikan sebagian besar wajahnya. Suasana sempat te
Beberapa hari berlalu. Di kediaman keluarga Sultan, Wati tengah mematut diri di depan cermin kamarnya.“Nona, Tuan Alde sudah datang,” lapor Lily yang mendadak muncul di ambang pintu kamar.Wati tetap berdiri di tempatnya. Ia hanya menghadapkan tubuh ke arah Lily.“Menurutmu aku sudah cantik? Sudah sempurna?” tanya Wati sungguh-sungguh.Lily menatap sekilas dandanan dan gaun yang dikenakan oleh Wati.“Nona sudah cantik dan terlihat sempurna. Jangan khawatir,” ujar Lily membesarkan hati.Barulah Wati tersenyum lega.“Ini kencan pertamaku dengan Alde. Wajar kan kalau aku gugup?” tanya Wati.Lily mengangguk-angguk.Wati meraih sepatu tumit tinggi berwarna merah yang sedari tadi tergeletak di dekat meja riasnya. Warna sepatu itu senada dengan gaun yang t
Potongan kalimat Alde yang tertangkap oleh telinga Wati membuat sekujur tubuh Wati menjadi kaku. Selama sesaat Wati membeku di tempat. Ia tak tahu harus berbuat apa.Apakah ia harus menegur Alde dan memergokinya yang mengucap kata sayang kepada gadis tak dikenal di telepon itu? Bukankah ia berhak karena ia sekarang adalah tunangan Alde? Namun, keraguan menyergap benak Wati. Apakah tingkahnya tak akan terlihat konyol dan memalukan? Ia takut terlihat kampungan."Tentu. Sudah pasti itu." Alde masih terus mengobrol dengan seorang wanita di seberang sana. Tak terlihat tanda-tanda bahwa ia menyadari keberadaan Wati di belakang punggungnya.Air mata menitik di sudut mata Wati. Pada akhirnya, Wati memutuskan untuk mundur. Dengan perlahan, Wati berbalik dan kembali ke tempat duduknya semula. Ia diam mematung di sana menunggu Alde kembali. Selera makannya sudah lenyap.Alde kembali dengan wajah ber
Mobil masuk melewati pintu gerbang, lalu meluncur mulus melewati deretan pohon palem yang ditanam sepanjang jalan sampai ke pintu depan rumah keluarga Sultan. Tepat di depan pintu utama, mobil berhenti.“Masuk dulu, Mas,” kata Wati berbasa-basi.Alde menunduk ke arah pergelangan tangan kirinya, tempat jam tangan mewah bersepuh emas melingkar dengan elegan.“Lain kali saja, Shelia. Terima kasih. Aku masih ada janji yang lain,” tolak Alde.Wati mengangguk tanpa berusaha membujuk. Toh ia memang tak berharap Alde mau turun. Apalagi setelah kejadian telepon di restoran tadi.“Oke. Hati-hati di jalan, Mas,” kata Wati.Mobil berputar arah. Alde melambaikan tangan sebelum mobil meluncur pergi. Setelah membalas lambaian tangan Alde, Wati langsung berbalik untuk masuk rumah. Ia tak merasa perlu repot-repot menunggu mobil Alde menghil
“Jadi mereka sepasang kekasih,” cetus Wati dengan hati yang perih.Tatkala Alde dibawa ke rumah keluarga Sultan dan dikenalkan sebagai tunangannya, Wati berpikir hidupnya seperti di negeri dongeng. Aldebaran adalah pangeran tampan berkuda putih seperti dalam dongeng putri Disney. Ternyata semua itu hanya ilusi.“Mengapa Ibu tidak menceritakan hal ini sebelumnya? Jika Alde adalah tunangan Raya, mengapa dia ditawarkan kepadaku?” tanya Wati lagi dengan suara serak karena menahan tangis yang hampir tumpah.“Maafkan Ibu. Ibu juga tidak menyangka bahwa Alde ternyata sungguh-sungguh mencintai Raya dan sebaliknya. Selama ini Ibu berpikir, Alde dan Raya menerima pertunangan ini sebagai perjodohan bisnis. Mereka berdua mau dijodohkan karena tahu bahwa mereka harus menikah demi hubungan baik antar keluarga. Oleh karena itulah, ketika Raya diketahui bukan anak Ibu, Alde kami jodohkan denganmu,” je
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas
Bu Sultan tertawa. “Kamu sudah cari dia di kamar mandi?”Shelia pun sadar, bahwa ibunya mengira dirinya dan Byzan masih berada di kamar hotel. Beberapa jam yang lalu, ia dan Byzan pergi diam-diam dari hotel untuk mengejutkan semua orng pada keesokan paginya. Shelia menarik napas panjang.“Kami sudah keluar hotel, Bu. Sekarang aku ada di pantai,” aku Shelia tegas.“Sudah keluar hotel? Sepagi ini?” Bu Sultan terdengar keheranan.“Iya, Bu. Kami ….” Shelia lalu menceritakan ide Byzan untuk kabur diam-diam ke vila di tepi pantai. Termasuk kemunculan Dedy yang tiba-tiba dari balik bagasi mobil dan hantamannya kepada Byzan hingga Byzan tersungkur.Selama Shelia bercerita, Bu Sultan tak henti-hentinya menyerukan rasa terkejut dan terperanjat. Penjabaran itu Shelia akhiri dengan tangis di ujung kisah.“Sekar
“Dia bilang apa?” tanya si lelaki kepada istrinya.“Entah, suaranya terlalu pelan,” balas sang istri.“Coba Mami dekati dan tanyakan lagi. Mungkin ada hal penting,” titah suaminya.Wanita berpiyama itu mendekatkan wajah ke arah Shelia yang berwajah pucat. Ia berbisik ke telinga Shelia.“Apa ada yang mau kamu beritahukan kepada kami?” ujarnya pelan.“Byzan, Byzan …,” desis Shelia lemah.Mendengar nama yang disebut Shelia, wanita itu terus mendesak.“Siapa dia? Orang yang menyakitimu?” lanjut wanita itu.Kepala Shelia menggeleng pelan. Mendadak ia teringat akan Dedy yang menghilang tepat di belakangnya, beberapa saat yang lalu. Rasa khawatir Shelia memuncak. Ia sangat takut Dedy kembali ke pantai dan menyakiti Byzan. Pikiran itu membuat Sheli
Shelia sangat syok, sehingga ia memandang ngeri ke arah Dedy tanpa berbuat apa-apa. Seolah-olah Shelia baru saja melihat orang mati yang bangkit dari kuburnya. Hantu. Dedy bagaikan hantu terseram di dalam pandangan mata Shelia.Dedy yang melihat Byzan terjatuh dan tak lagi bergerak, langsung mengalihkan perhatian ke arah Wati alias Shelia. Dalam satu gerakan cepat, Dedy bergerak mendekati Shelia dan mencengkeram pundak Shelia dengan kedua tangannya yang hitam.“Sekarang kamu tidak akan bisa lolos. Kamu akan jadi milikku, Cantik,” seringai Dedy dengan sorot mata mengerikan.Shelia gemetaran. Ia menatap Dedy dan melihat sorot mata tak biasa dari lelaki itu. Dedy tidak lagi mirip dengan Dedy yang dulu dikenalnya, bahkan bukan lagi Dedy ketika masih menjadi suami Rara.“Gila! Dia gila,” batin Shelia terkejut dan ketakutan.Dedy mendekatkan wajahnya ke wajah Sh