Dedy lalu melompat ke kasur dengan penuh semangat, menemui Rara yang sudah siap menyambutnya dengan nafsu yang sama. Namun baru beberapa detik di kasur, Dedy mulai merasakan panas yang tak biasa. Semakin lama semakin terasa menyengat. Apalagi setelah Rara berkata,
“Mas, kamu kok bau minyak kayu putih?” celetuk Rara seraya mengernyitkan hidung.
Dedy memandang ke bawah perutnya seraya meringis kepanasan. Betul kata Rara, menguar bau minyak kayu putih yang kuat dari bawah tubuhnya.
“Kamu salah ambil botol? Ceroboh!” marah Rara kesal.
“Aku enggak salah ambil botol, kok. Lihat!” Dedy turun dari kasur, lalu menunjukkan botol obat oles yang tadi dipakainya kepada Rara.
Rara menyambar botol obat oles itu, lalu membuka tutupnya. Bau minyak kayu putih keluar dari dalamnya.
“Ada yang sudah mengganti isi botol ini dengan min
Rara menggelengkan kepala dengan tegas.“Aku kan yang punya toko, wajar kalau ongkang-ongkang kaki. Mas kan enggakpunya modal, jadi Mas yang kerja. Lagipula dulu Mas kan juga pegawai di sini, pasti bisa membereskan barang-barang ini dengan cepat,” kilah Rara.Sambil menggerutu di dalam hati, Dedy melaksanakan perintah Rara. Mengapa sekarang dia yang dijadikan babu oleh Rara? Apes.Selama menata barang-barang ke rak, Dedy merenungi nasibnya. Mengapa hidupnya jadi tak karuan setelah Wati pergi? Musibah datang silih berganti. Sekarang malah ia diperlakukan bak kacung oleh istrinya sendiri. Ada apakah ini? Dedy tak habis mengerti.Dedy mulai berpikir bahwa Wati adalah pembawa keberuntungan baginya. Setelah Wati pergi, kesialan datang tak henti-henti. Entah bagaimana nasibnya setelah ini.Sepanjang pagi hingga siang, belum ada satu pun pembeli di toko Rara. Semua pel
“Gila!” Lelaki kekar itu mencengkeram pundak Dedy, lalu membalikkan badan Dedy secara paksa. Kemudian lelaki itu mendorong kuat-kuat Dedy agar kembali ke tempatnya semula. Saking kerasnya mendorong, Dedy jatuh terjerembab ke air comberan yang tergenang di tanah hingga wajahnya kotor. Suara tawa kembali membahana. Wajah Dedy memerah karena malu dan marah. Seumur hidup baru kali inilah ia dipermalukan di depan umum seperti ini. Dedy bangkit dan melirik penuh dendam ke arah lelaki kekar yang tadi mendorongnya. Dedy kembali kepada Rara. Rara juga tengah memandang penuh amarah kepada orang-orang yang bergerombol di depan toko seberang. Tanpa bicara lagi, Rara masuk kembali ke dalam tokonya. Dedy mengikuti dari belakang. Tidak lama Wati atau Shelia berkunjung, ia pulang tak lama kemudian. Dengan diantarkan oleh semua pegawai di tokonya, Shelia pulang dengan mobil yang tadi mengantarnya datang. Dari
Hanya berjarak tiga toko dari toko milik Wati dibakar, seorang ibu-ibu terbangun karena terbatuk-batuk.“Uhuk! Ya ampun, bau asap. Dari mana asap ini?” gumamnya seraya mengucek matanya yang masih mengantuk.Semalam, ia dan suaminya lembur untuk menghitung stok barang di tokonya. Kegiatan itu sudah biasa dilakukannya setiap menjelang akhir tahun. Akibat kemalaman, ia dan suaminya memutuskan untuk menginap di kios, alih-alih pulang ke rumah mereka seperti biasa.Ibu-ibu itu melihat ada cahaya terang dari luar kios, masuk melalui celah-celah papan penutup kios. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia mengintip melalui sela-sela papan yang renggang.“Ya, Allah! Kebakaran!” pekik ibu-ibu itu panik.Cepat ibu-ibu itu berbalik, lalu mengguncang keras-keras tubuh suaminya.“Pak, bangun! Ada kebakaran!” teriak ibu-ibu itu, gemetaran karena
Sebuah mobil panjang berbentuk rendah tetapisangat indah sudah menanti Wati dan Lily di depan gerbang. Warnanya cokelat dengan desain yang mewah dan glamor. Seorang lelaki berpakaian seragam tegak berdiri di dekat mobil. Belum pernah Wati melihat mobil seperti itu sebelumnya, baik di jalan raya maupun di teve yang sudah lama tak ditontonnya.“Mobilnya bagus sekali. Apakah ini milik ayahku?” tanya Wati kagum.“Mobil ini namanya Lamborghini Aventador, Nona. Salah satu dari mobil milik Nyonya. Kata Nyonya, mobil ini boleh Nona miliki,” jelas Lily lagi.“Wah, betulkah itu? Aku belum pernah menaiki mobil sebagus ini. Bahkan menyetir mobil saja aku enggakbisa,” ungkap Wati malu.Lily tersenyum maklum. Tidak ada pandangan menghina dari sorot matanya yang bening.“Tidak apa, Nona. Tuan dan Nyonya punya beberapa supir pribadi. Nona bis
“Kios itu sudah aku bakar. Besok pasti mereka tidak bisa lagi berjualan,” lapor Dedy kepada Rara pada saat dini hari. “Kamu yakin kan Mas, kios itu betul-betul terbakar? Jangan sampai ada bagian yang masih selamat,” tanya Rara untuk memastikan lagi. “Aku yakin. Keempat penjuru bangunannya sudah aku siram dengan bensin. Mustahil tidak terbakar habis,” tegas Dedy. Rara tersenyum puas. “Sekarang, kamu harus memberiku upah yang layak,” kata Dedy seraya menarik tubuh Rara ke dalam pelukannya. Malam itu, ranjang di kamar Rara berderit-derit oleh ulah dua manusia di atasnya. Dinding-dinding menjadi saksi bisu pergulatan mereka. Baik Rara maupun Dedy tak punya firasat sama sekali bahwa esok hari masalah yang lebih besar sudah menghadang mereka. *** Pasar sangat ramai. Bukan karena banyaknya pembeli yang menyerbu pedagang, teta
“Memang polisi sejak dini hari tadi sudah datang ke tempat kebakaran,” kata seseorang.“Oya? tetapipagi-pagi tadi enggakada polisi yang datang kemari kok,” sanggah suara lain.“Mereka sudah pulang. Mereka hanya sebentar di sini, berkeliling dan memungut-mungut apa aku enggaktahu. Saat pasar mulai ramai, mereka pergi,” jelas suara pertama.Rara semakin ciut mendengar obrolan itu. Ia melirik ke arah sumber suara, ternyata pedagang yang tadi mengobrol tengah menatap dirinya. Rara mempercepat langkah, agar tak lagi menjadi tontonan gratis seluruh warga pasar. Berdua dengan Pak Polisi, Rara melaju pulang ke rumahnya dengan sepeda motor milik Pak Polisi.Rara turun di depan rumah. Ia bergegas menarik gagang pintu, tetapiternyata pintu terkunci.“Sepertinya suami saya belum pulang, Pak. Lihat, pintu rumah saya masih terku
“Sudah jangan manja, Mas. Toh ini hanya sementara. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita cari pembantu saja,” ujar Rara.“Ini semua gara-gara Wati kabur. Rumah jadi berantakan begini. Semua urusan enggakberes. Kok dia enggakbalik-balik, ya,” keluh Dedy.Rara mencebikkan bibir.“Kalau dia enggakbalik lagi, mungkin dia sudah mati di jalanan. enggakpunya uang, keterampilan, dan keluarga. Paling baik juga dia berakhir jadi PSK,” cetus Rara kesal. Ia tak suka Dedy masih mengungkit-ungkit Wati di depan dirinya.“Sudah, aku hampir terlambat ini. Aku tinggal dulu, Mas,” Rara menyudahi.“Lha, terus aku sarapan apa pagi ini? Tolong belikan aku bubur ayam gitu, Sayang,” rayu Dedy lagi.“Wah, aku enggaksempat. Makan mi saja dulu,” ulang Rara lagi, lalu ia menyandang tas b
Wati atau Sheila turun dari mobil. Blus yang dikenakannya terbuat dari satin yang mahal, bahkan ia juga mengenakan topi lebar dan kacamata hitam untuk menutupi wajah dari sinar matahari sore yang menyorot kuat. Di belakangnya, mengekor si lelaki kekar dan perempuan pegawainya yang biasa ada di toko. Rara menyipitkan mata, lalu mengamati cara berjalan si pemilik toko baik-baik. Apabila diperhatikan lagi, cara sosok itu bergerak memang mirip Wati, seperti yang dikatakan oleh Dedy. Apalagi saat perempuan berpenampilan mewah itu membuka kacamata hitam yang dikenakannya, wajahnya memang agak mirip Wati. tetapitidak mungkin hal itu terjadi. Rara menepis dugaan yang sempat muncul di benaknya. Wati membiarkan Samir dan Ana yang berbicara dengan para tukang dan membayar upah mereka. Ia sendiri hanya diam sambil melihat-lihat hasil kerja tukang sewaannya. Hasil pekerjaan mereka lumayan untuk proyek sehari jadi. Tengah
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas
Bu Sultan tertawa. “Kamu sudah cari dia di kamar mandi?”Shelia pun sadar, bahwa ibunya mengira dirinya dan Byzan masih berada di kamar hotel. Beberapa jam yang lalu, ia dan Byzan pergi diam-diam dari hotel untuk mengejutkan semua orng pada keesokan paginya. Shelia menarik napas panjang.“Kami sudah keluar hotel, Bu. Sekarang aku ada di pantai,” aku Shelia tegas.“Sudah keluar hotel? Sepagi ini?” Bu Sultan terdengar keheranan.“Iya, Bu. Kami ….” Shelia lalu menceritakan ide Byzan untuk kabur diam-diam ke vila di tepi pantai. Termasuk kemunculan Dedy yang tiba-tiba dari balik bagasi mobil dan hantamannya kepada Byzan hingga Byzan tersungkur.Selama Shelia bercerita, Bu Sultan tak henti-hentinya menyerukan rasa terkejut dan terperanjat. Penjabaran itu Shelia akhiri dengan tangis di ujung kisah.“Sekar
“Dia bilang apa?” tanya si lelaki kepada istrinya.“Entah, suaranya terlalu pelan,” balas sang istri.“Coba Mami dekati dan tanyakan lagi. Mungkin ada hal penting,” titah suaminya.Wanita berpiyama itu mendekatkan wajah ke arah Shelia yang berwajah pucat. Ia berbisik ke telinga Shelia.“Apa ada yang mau kamu beritahukan kepada kami?” ujarnya pelan.“Byzan, Byzan …,” desis Shelia lemah.Mendengar nama yang disebut Shelia, wanita itu terus mendesak.“Siapa dia? Orang yang menyakitimu?” lanjut wanita itu.Kepala Shelia menggeleng pelan. Mendadak ia teringat akan Dedy yang menghilang tepat di belakangnya, beberapa saat yang lalu. Rasa khawatir Shelia memuncak. Ia sangat takut Dedy kembali ke pantai dan menyakiti Byzan. Pikiran itu membuat Sheli
Shelia sangat syok, sehingga ia memandang ngeri ke arah Dedy tanpa berbuat apa-apa. Seolah-olah Shelia baru saja melihat orang mati yang bangkit dari kuburnya. Hantu. Dedy bagaikan hantu terseram di dalam pandangan mata Shelia.Dedy yang melihat Byzan terjatuh dan tak lagi bergerak, langsung mengalihkan perhatian ke arah Wati alias Shelia. Dalam satu gerakan cepat, Dedy bergerak mendekati Shelia dan mencengkeram pundak Shelia dengan kedua tangannya yang hitam.“Sekarang kamu tidak akan bisa lolos. Kamu akan jadi milikku, Cantik,” seringai Dedy dengan sorot mata mengerikan.Shelia gemetaran. Ia menatap Dedy dan melihat sorot mata tak biasa dari lelaki itu. Dedy tidak lagi mirip dengan Dedy yang dulu dikenalnya, bahkan bukan lagi Dedy ketika masih menjadi suami Rara.“Gila! Dia gila,” batin Shelia terkejut dan ketakutan.Dedy mendekatkan wajahnya ke wajah Sh