“Memang polisi sejak dini hari tadi sudah datang ke tempat kebakaran,” kata seseorang.
“Oya? tetapi pagi-pagi tadi enggak ada polisi yang datang kemari kok,” sanggah suara lain.
“Mereka sudah pulang. Mereka hanya sebentar di sini, berkeliling dan memungut-mungut apa aku enggak tahu. Saat pasar mulai ramai, mereka pergi,” jelas suara pertama.
Rara semakin ciut mendengar obrolan itu. Ia melirik ke arah sumber suara, ternyata pedagang yang tadi mengobrol tengah menatap dirinya. Rara mempercepat langkah, agar tak lagi menjadi tontonan gratis seluruh warga pasar. Berdua dengan Pak Polisi, Rara melaju pulang ke rumahnya dengan sepeda motor milik Pak Polisi.
Rara turun di depan rumah. Ia bergegas menarik gagang pintu, tetapi ternyata pintu terkunci.
“Sepertinya suami saya belum pulang, Pak. Lihat, pintu rumah saya masih terku
“Sudah jangan manja, Mas. Toh ini hanya sementara. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita cari pembantu saja,” ujar Rara.“Ini semua gara-gara Wati kabur. Rumah jadi berantakan begini. Semua urusan enggakberes. Kok dia enggakbalik-balik, ya,” keluh Dedy.Rara mencebikkan bibir.“Kalau dia enggakbalik lagi, mungkin dia sudah mati di jalanan. enggakpunya uang, keterampilan, dan keluarga. Paling baik juga dia berakhir jadi PSK,” cetus Rara kesal. Ia tak suka Dedy masih mengungkit-ungkit Wati di depan dirinya.“Sudah, aku hampir terlambat ini. Aku tinggal dulu, Mas,” Rara menyudahi.“Lha, terus aku sarapan apa pagi ini? Tolong belikan aku bubur ayam gitu, Sayang,” rayu Dedy lagi.“Wah, aku enggaksempat. Makan mi saja dulu,” ulang Rara lagi, lalu ia menyandang tas b
Wati atau Sheila turun dari mobil. Blus yang dikenakannya terbuat dari satin yang mahal, bahkan ia juga mengenakan topi lebar dan kacamata hitam untuk menutupi wajah dari sinar matahari sore yang menyorot kuat. Di belakangnya, mengekor si lelaki kekar dan perempuan pegawainya yang biasa ada di toko. Rara menyipitkan mata, lalu mengamati cara berjalan si pemilik toko baik-baik. Apabila diperhatikan lagi, cara sosok itu bergerak memang mirip Wati, seperti yang dikatakan oleh Dedy. Apalagi saat perempuan berpenampilan mewah itu membuka kacamata hitam yang dikenakannya, wajahnya memang agak mirip Wati. tetapitidak mungkin hal itu terjadi. Rara menepis dugaan yang sempat muncul di benaknya. Wati membiarkan Samir dan Ana yang berbicara dengan para tukang dan membayar upah mereka. Ia sendiri hanya diam sambil melihat-lihat hasil kerja tukang sewaannya. Hasil pekerjaan mereka lumayan untuk proyek sehari jadi. Tengah
“Mana mungkin aku keceplosan bicara. Tentang rahasia kita, tidak akan ketahuan siapa pun kecuali ada yang buka mulut diantara kita. Pastinya aku enggak akan mengaku apa-apa meskipun dipaksa,” sanggah Dedy dengan suara seperti orang yang menggeram. Ia tak terima dikatakan bisa keceplosan bicara oleh Rara. “Jangan marah, Mas. Sekarang bukan waktunya kita bertengkar. Bagaimana kalau kita ke kamar saja?” Rara mendekati Dedy dengan tatapan merayu. Dedy luluh. Ia meraih Rara ke dalam dekapannya. “Ya, sekarang bukan saatnya ribut. Lebih baik kita bermesraan sebelum kita berjauhan.” *** Suara lolongan anjing di kejauhan membuat Rara membuka matanya yang terpejam. Sesaat Rara bingung karena ia barusan saja bermimpi makan enak dan banyak di rumah besar. Setelah beberapa detik, barulah ia sadar bahwa itu semua hanya mimpi. Bunyi perutnya yang lapar membuat R
Suara Dedy yang cukup keras di tengah malam sunyi terdengar sangat jelas. Beberapa orang terbangun mendengar teriakan Dedy itu.Seorang wanita yang rumahnya paling dekat dengan tempat Dedy jatuh terbangun. Ia membangunkan suaminya dengan ekspresi ketakutan.“Pak, ada orang minta tolong di luar,” ujar istrinya. Suaminya tersentak bangun.“Tengah malam begini dari luar rumah? Jangan-jangan itu maling yang berpura-pura. Sudah, jangan dibukakan pintunya,” cegah suaminya.Si istri mengangguk, lalu kembali bergelung di balik selimut. Namun,kupingnya sengaja dipasang tajam untuk mendengar suara-suarayang mungkin menyusul.Teriakan Dedy tidak hanya membangunkan sepasang suami istri tersebut.Rara yang baru tertidur kembali tersentak bangun. Jantungnya berdebar kencang. Perasaannya mendadak tidak enak.Polisi be
Dedy tak terima bila ia harus menerima hukuman seorang diri. Enak saja ia dihukum tetapiRara bisa berkeliaran bebas.“Saya enggakkerja sendiri, Pak,” ujar Dedy lantang.“Oya? Kamu bersama teman melakukan pembakaran itu? Siapa dia?” tanya petugas dengan sorot mata tajam penuh selidik.“Saya memang melakukan semuanya sendirian. tetapirencana ini bukan dari saya,” jawab Dedy geram.“Sebutkan siapa yang merencanakan ini semua,” perintah petugas tegas.“Istri saya! Dia yang memiliki ide pertama kali untuk melakukan pembakaran toko di pasar.” Dedy berkata mantap.***Wati baru saja selesai mandi pagi dan bersiap hendak sarapan pagi. Selepas mandi, ia memoles kulitnya dengna pelembab badan hingga kulitnya beraroma harum bunga. Wajahnya sudah diberi pelembab dan ditabur
Rara menggelengkan kepala.“Entah, Bu. Sejak bercerai kami tidak pernah bertukar kabar lagi. Dulu katanya sih mau pergi ke luar negeri buat jadi TKI.”“Aneh juga Pak Beny, ya. Buat apa ke luar negeri padahal di sini sudah punya toko kelontong dan rumah. Tinggal menjalani saja yang sudah dimiliki. Malah capek-capek pergi ke luar negeri,” oceh ibu pedagang bubur.Raut wajahnya menunjukkan ekspresi menyesalkan pilihan hidup Beny Ardani.“Saya juga enggakpaham, Bu. Katanya sih mau punya rumah gedung yang besar dari hasil kerja. Makanya kami bercerai karena saya tidak setujudengan kepergian Pak Beny,” ungkap Rarapenuh semangat.“Eh, tapi Pak Beny baik juga ya, Mbak. Buktinya setelah bercerai, Mbak diberikan rumah dan usahanya di sini,” cetus ibu pedagang bubur lagi.Rara cepat-cepat menghabiskan buburnya. Ia
Bel pintu berdering. Rara terkejut. Ia melihat bayangan di balik kaca. Dua orang berseragam polisi ada di balik pintu depan. Rara terkesiap.Ingin rasanya Rara bersembunyi dan berpura-pura tak ada di rumah, tetapisudah terlambat. Kedua polisi itu pasti sudah melihat keberadaannya di dalam rumah, akibat ia lupa menutup tirai jendela saat sore menjelang malam."Permisi!" seru salah seorang polisi, cukup keras untuk didengarkan hingga ke rumah tetangga."Tunggu!" balas Rara panik.Dengan tangan gemetar, Rara membuka pintu depan. Ia masih berharap, hal yang ia takutkan tak terjadi. Semoga saja para polisi itu tidak mencari dirinya.Sayang sekali, harapan Rara hanya angan-angan. Baru juga membuka pintu depan, ucapan salah seorang polisi langsung membuat kepala Rara seperti dihantam palu godam.“Dengan Ibu Rara?” tanya polisi muda dan
Lily menggelengkan kepala.“Kamu pasti tahu. Ibu dan Ayahku pasti memiliki rencana sendiri, kan? Kenapa kamu enggakmau memberitahu aku? Aku yakin kamu tahu,” desak Wati.“Saya tidak memiliki wewenang untuk menjelaskannya, Nona. Saya tidak berani dan dianggap lancang oleh Nyonya. Lebih baik Nona tanyakan langsung kepada Tuan atau Nyonya setelah mereka kembali.” Lily menatap Wati dengan pandangan mata tak berdaya.“Iya juga, ya. Jadi enggaksabar menunggu ibu dan ayahku pulang. Aduh, aku lupa tanya apakah Raya juga akan datang bersama mereka?” tanya Wati penuh harap.“Sepertinya tidak, Nona. Nona Raya masih berada di Inggris untuk menyelesaikan kuliahnya,” ujar Lily tegas.“Hm. Raya kuliah di luar negeri? Enaknya. Aku juga ingin kuliah, tetapidulu tidak ada biaya,” cetus Wati murung.&