Tubuh Janice mulai bergetar, tangisnya pecah tak terkendali. Setiap tarikan napasnya terasa seperti luka yang semakin dalam, serta membawa rasa sakit dan keputusasaan yang menusuk.Landon menepuk punggungnya dengan lembut. "Janice, jangan khawatir. Aku akan selidiki semuanya."Janice sangat berterima kasih pada Landon, tetapi dia tahu tempat ini adalah Kota Pakisa. Keluarga Karim sangat berkuasa dan bisa mengendalikan segalanya.Meskipun Keluarga Luthan sangat berpengaruh di Kota Heco, mereka tidak bisa menjangkau kekuasaan Keluarga Karim di sini.Terlebih lagi, dengan kata-kata Anwar yang setegas itu, mana mungkin dia tidak punya rencana yang sudah dipersiapkan dengan matang?Dengan bersusah payah, Janice menguatkan tubuhnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Dia menatap Zachary dan Landon. "Paman, Pak Landon, kalian bisa tinggalkan aku sebentar? Aku ingin sendirian sama ibuku."Keduanya saling berpandangan, lalu mengangguk dan keluar dari kamar dengan tenang.Setelah pintu tertutup, J
Jason menjawab dengan tenang, "Bukan apa-apa."....Janice pulang ke rumah dengan tubuh yang benar-benar kelelahan. Begitu merebahkan diri di sofa, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Saat dibuka, Naura muncul sambil membawa sepanci makanan."Aku dengar suara pintu, jadi tahu kamu sudah pulang. Aku masak ronde dengan arak beras, ini makanan favoritmu, 'kan?"Janice menatapnya dengan curiga. "Kenapa kamu bisa tahu ini makanan favoritku?"Gerakan tangan Naura yang memegang panci sempat terhenti, tetapi kemudian dia tertawa pelan. "Lupa? Waktu itu kamu mabuk dan bilang sama aku. Untung saja aku masih ingat."Janice tidak banyak berpikir. Dia mengusap perutnya karena memang merasa lapar."Aku ambilkan mangkuk."Beberapa saat kemudian, mereka berdua duduk dengan masing-masing satu mangkuk besar sambil menikmati hidangan yang menghangatkan tubuh.Janice lalu berdiri dan mengambil sisa anggur dari sebelumnya. Naura terkejut. "Kamu baru saja makan ronde dengan arak, sekarang mau minum lagi?"
Ketika Janice tersadar kembali, dia sudah terbaring di lorong depan pintu rumahnya sambil menghirup oksigen. Naura berlutut di sampingnya dengan wajah cemas dan menggenggam erat tangannya."Dia sudah sadar! Dokter, gimana keadaannya?""Saat ini belum bisa dipastikan. Kita harus bawa dia ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut." Dokter itu menenangkan Naura sambil mengukur tekanan darah Janice.Namun, Naura terlihat semakin cemas. "Aku bukan nanya tentang gasnya, aku tanya tentang lukanya!""Luka? Tapi kami nggak menemukan luka apa pun di tubuhnya." Dokter itu tampak ragu dan mendekatkan diri ke Janice. "Nona, apa kamu merasa tidak nyaman di bagian lain?"Janice menggelengkan kepalanya. Setelah menghirup oksigen, selain kepala yang terasa sedikit pusing, dia tidak merasakan sakit apa pun. Naura tertegun, lalu menunjuk noda darah yang menempel di pintu rumahnya."Lalu ... darah siapa ini? Tadi pintu rumahku diketuk dengan sangat panik. Begitu pintu dibuka, aku lihat kamu tergeletak
Janice berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk tidak melibatkan Naura lebih jauh."Kak Naura, tetangga bawah sudah melaporkan bahwa mereka mendengar suara tembakan. Kalau kita bilang ada kemungkinan orang ketiga, kamu mau menghabiskan tahun baru di kantor polisi? Sebaiknya nggak usah memperumit keadaan. Yang penting kita selamat.""Iya juga, ya .... Tapi siapa yang ngetuk pintu tadi? Sepertinya dia terluka juga. Aku penasaran lukanya parah atau nggak," gumam Naura.Mendengar ucapannya, bayangan sosok yang samar di dalam kegelapan kembali muncul dalam benak Janice. Namun, sebelum dia bisa memikirkannya lebih jauh, ponselnya berdering.Zachary."Paman .... Apa?! Aku segera ke sana!" Janice langsung berdiri dan berlari menuju kamar rawat ibunya.Begitu sampai di depan pintu, dia melihat tiga polisi yang ingin membawa Ivy dengan paksa, meskipun Zachary berusaha menghalangi mereka."Pak Zachary, maaf. Pak Anwar sudah memutuskan bahwa jumlah uang yang hilang terlalu besar. Pencurinya harus s
Janice berdiri di depan vila yang terang benderang. Dia mengangkat tangannya hendak mengetuk, tetapi kemudian menurunkannya lagi. Apakah benar dia?Saat tangannya kembali turun, pintu terbuka dari dalam. Norman keluar dengan perlahan. "Bu Janice, Pak Jason sudah menunggu Anda.""Menungguku? Dia tahu aku akan datang?" Janice sedikit terkejut. Norman tidak menjawab secara langsung, hanya memberikan isyarat agar dia masuk.Janice ragu sejenak, tetapi akhirnya melangkah masuk. Semakin dekat dengan rumah yang begitu familier di ingatannya, semakin bergejolak emosinya. Dia dilanda perasaan yang campur aduk. Jika benar Jason yang telah menyelamatkannya, apa yang harus dia katakan?Tanpa sadar, dia sudah berdiri di tengah ruang tamu.Sebelum sempat memperhatikan sekeliling, langkah kaki seorang pria terdengar menuruni tangga di belakangnya. Janice mengepalkan tangannya, seolah bertekad menghadapi kenyataan, lalu berbalik.Jason tampak baru saja selesai mandi. Dia mengenakan jubah tidur hitam d
"Kalau aku patuh, semua orang menindasku. Aku melawan, kalian malah menganggapku terlalu keras kepala! Aku juga manusia! Aku ini manusia!"Otot di leher Janice menegang, wajahnya yang pucat kini bersemu merah. Dadanya naik turun dengan cepat, tatapannya penuh kebencian saat menatap pria di hadapannya.Namun, Jason .... Dia tetap tenang seperti lautan yang dalam, dingin, dan tak terjamah. Seolah-olah, waktu telah berhenti di momen ini. Semua penderitaan dan perjuangan Janice, tidak terlihat oleh Jason sama sekali.Jason mengangkat dagu Janice dengan ringan. Tatapan matanya sedikit bergetar, tetapi hanya berkilat dalam sekejap. Semua itu berlangsung terlalu cepat hingga terasa seperti ilusi.Kemudian, dengan suara yang rendah dan dingin, dia berkata, "Janice, kalau kamu milikku, kenapa aku harus melepaskanmu?"Napasnya yang panas dan menekan jatuh di wajah Janice.Janice berusaha untuk menghindar, tetapi pria itu memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Di balik warna matanya yang h
Mendengar jawaban Jason, Arya tersentak. Dia melempar tisu basah yang ada di tangannya ke meja dengan marah. "Kalau mau wanita, kamu bisa cari siapa pun yang bersedia menemanimu! Tapi dia ....""Dia sudah setuju," jawab Jason dengan nada datar.Arya terdiam, lalu langsung menghubungkan semuanya dengan keadaan Ivy yang sedang dirawat di rumah sakit. Tanpa perlu berpikir panjang, dia tahu bagaimana Janice bisa sampai "bersedia"."Kamu gila? Kenapa harus dia?""Harus dia.""Jason! Jangan begini! Aku tahu, yang sebenarnya kamu takutkan adalah kalau Janice mengetahui semua kebenarannya, dia akan memilih untuk melawan Pak Anwar sampai mati, bukan?"Jason tetap diam dan hanya mengisap rokoknya tanpa menjawab."Apa kamu sadar ...." Arya hampir saja mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dia ungkapkan. Namun, dia tiba-tiba mengingat peringatan dari seseorang."Dengan kondisinya ini, kecuali dia mau bicara sendiri. Kalau kamu yang mengungkapnya, itu cuma bakal jadi pisau yang menghunus dirinya
Rachel mengulurkan tangan untuk mengambil mantel yang dibawa Jason di lengannya, tetapi pria itu menghindarinya dengan halus. "Aku bisa melakukannya sendiri. Kamu tidur saja dulu."Tangan Rachel terhenti di udara. Dia mengangkat wajah dan menatap Jason. "Kita nggak ... tidur sama-sama?"Jason menggantung mantelnya tanpa ekspresi. "Ada urusan. Kamu tidur duluan."Setelah berkata demikian, dia berjalan menuju ruang kerjanya.Rachel mengeratkan jemarinya, saling menggenggam satu sama lain, lalu menggigit bibirnya. "Jason ... apa ada yang salah denganku?"Jason berhenti sejenak, suaranya tetap datar. "Jangan terlalu banyak berpikir.""Kamu bilang hal yang sama terakhir kali." Rachel tidak bisa lagi menahan diri. "Tapi kenapa kamu selalu pulang larut malam? Dan setiap kali pulang, kamu selalu membawa luka. Ke mana kamu pergi sebenarnya?"Jason tiba-tiba berhenti. Matanya yang hitam pekat menatap Rachel dengan tajam. Dia baru saja ingin mengatakan sesuatu, tetapi Rachel sudah mengangkat tang
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe