"Ibu," panggil Janice dengan pelan, memberi isyarat agar ibunya tidak berbicara lebih dulu.Namun, Ivy tidak bisa menahan amarahnya. Dia sudah berusaha keras untuk bertahan di keluarga ini, tetapi kini justru dipermalukan oleh orang luar."Barang-barang ini ....""Ibu!" Janice menaikkan suaranya, menghentikan ucapan Ivy.Ivy tidak bodoh. Dia segera menangkap maksud tatapan Janice. Setelah tertegun sesaat, dia buru-buru merebut gelang yang ada di tangan putrinya. "Kenapa bisa? Ini nggak mungkin!"Elaine melirik Ivy dengan tenang dan duduk dengan santai, lalu menyeruput teh dari cangkirnya. "Jadi kamu mengakui bahwa gelang ini palsu?""Ayahnya Rachel masih di luar negeri karena pesawatnya tertunda akibat badai salju, jadi aku mewakili pihak keluarga Rachel untuk menghadiri acara pertunangan ini. Tapi sekarang terjadi insiden begini, gimana aku mau menjelaskannya?""Kalau bukan karena keluarga sendiri yang menyadarinya lebih awal, barang-barang ini pasti sudah dibawa pulang sama tamu. Kam
Janice terdiam di tempat. Dia sudah sangat berhati-hati, tetapi tetap saja terkena jebakan ini. Ivy juga segera menyadari sesuatu. Tanpa ragu, dia berdiri di depan Janice untuk melindunginya."Bukan Janice. Dia nggak tahu apa-apa."Anwar menyipitkan mata, nada bicaranya penuh kekesalan. "Kalau begitu, berarti kamu yang melakukannya. Lagian, uang itu masuk ke rekeningmu."Ivy terdiam. Dia tidak bisa membela diri, hanya bisa menangis.Janice mengangkat kepalanya dan menatap mata Anwar. Tatapan pria tua itu penuh kewaspadaan dan ketegasan. Bahkan, rasa jijiknya terhadap Janice tidak ditutupi sama sekali.Janice mengatupkan bibirnya, matanya beralih ke Jason yang duduk di samping. Tatapan Jason penuh dengan kilatan dingin. Dia mengangkat cangkirnya dengan santai dan menyesap teh, tetap tenang seolah-olah ini semua bukan urusannya."Apa masih harus kuajarkan apa yang seharusnya kamu bilang?"Janice menarik napas dalam-dalam. Bibirnya bergetar ingin berbicara, tetapi rasa benci yang memenuhi
Zachary langsung berdiri di depan mereka untuk menghalangi para pengawal. "Kalau mau pukul, pukul aku! Mereka adalah istri dan anakku.""Anak kurang ajar! Mana pengawal? Cepat seret dia pergi!" Anwar berteriak marah.Hanya dalam sekejap, lebih dari sepuluh pengawal masuk dan menarik Zachary dengan paksa."Ayah! Apa kamu benar-benar mau desak orang sampai mati?!" Mata Zachary memerah karena amarah."Aku ini ayahmu! Keluarga ini masih ada di bawah perintahku! Kalau mereka nggak mengaku hari ini, orang luar akan mengira mereka yang berkuasa di rumah ini! Pukuli mereka!"Begitu perintah itu diturunkan, seorang pengawal bertubuh besar menerima cambuk dari kepala pelayan. Janice tahu, hari ini dia tidak akan bisa lolos dari hukuman ini.Ivy segera mendorongnya menjauh. "Janice, cepat pergi! Biar aku yang terima hukumannya, tapi jangan pernah mengaku bersalah ...."Namun, sebelum Ivy bisa menyelesaikan kata-katanya, Janice sudah menariknya ke samping.Dia menatap Anwar dengan dingin. "Ibuku l
Di ruang tamu.Semua orang sudah pergi.Jason meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menyalakan sebatang rokok dengan tenang. Anwar berbalik menatapnya tajam. "Kamu yang manggil Landon ke sini?""Bukan." Suara Jason sangat datar saat berkata, "Bukannya aku sudah melakukan apa yang kamu minta?""Kamu ...." Anwar mengerutkan kening, matanya penuh dengan kecurigaan.Jason mengetukkan abu rokoknya ke asbak, lalu menatap ayahnya dengan dingin. "Ayah, jangan terlalu marah. Jaga kesehatan." Setelah berkata demikian, dia berbalik dan pergi begitu saja.Anwar sangat marah sampai tubuhnya sempoyongan. Untung saja kepala pelayan dengan sigap menahannya. "Tuan, Anda tidak apa-apa?"Anwar mengepalkan tangannya erat dan suaranya dipenuhi kebencian. "Perempuan itu nggak boleh dibiarkan hidup! Cepat lakukan!""Tapi ... bagaimana dengan Tuan Zachary?" tanya kepala pelayan dengan ragu."Kamu belum pernah dengar pepatah 'kalau yang lama nggak pergi, yang baru nggak akan datang’? Semua pria itu sama saja
"Balas dendam? Hah ...."Zachary tertawa dingin.Di Keluarga Karim, dialah orang yang paling sabar. Setiap hari, dia selalu tersenyum dengan tenang. Bahkan saat dimarahi oleh Anwar sekalipun, dia tidak pernah mengeluh atau menyalahkan keadaan. Namun, senyumnya kali ini terasa sangat sinis, bahkan sedikit menyimpang dari biasanya."Pak Zachary, pada akhirnya, Pak Anwar tetap saja berhati lunak. Kalau nggak, mana mungkin dia datang ke sini untuk melihat Ivy? Jangan buat dia merasa bersalah." Elaine maju untuk menengahi.Namun, Zachary menatapnya dingin. "Ini urusan keluargaku, aku nggak butuh orang luar mengajariku bagaimana menghadapinya."Wajah Elaine menjadi tegang dan kedua tangannya mengepal kuat. Dia menatap Zachary selama beberapa detik sebelum mendengus dingin."Kenapa nggak ada hubungannya denganku? Pak Zachary sudah lupa? Masalah Ivy masih belum terselesaikan dan sekarang dia tiba-tiba jatuh dan koma. Aku cuma merasa ... ini agak mencurigakan.""Elaine!" Zachary menggertakkan g
Tubuh Janice mulai bergetar, tangisnya pecah tak terkendali. Setiap tarikan napasnya terasa seperti luka yang semakin dalam, serta membawa rasa sakit dan keputusasaan yang menusuk.Landon menepuk punggungnya dengan lembut. "Janice, jangan khawatir. Aku akan selidiki semuanya."Janice sangat berterima kasih pada Landon, tetapi dia tahu tempat ini adalah Kota Pakisa. Keluarga Karim sangat berkuasa dan bisa mengendalikan segalanya.Meskipun Keluarga Luthan sangat berpengaruh di Kota Heco, mereka tidak bisa menjangkau kekuasaan Keluarga Karim di sini.Terlebih lagi, dengan kata-kata Anwar yang setegas itu, mana mungkin dia tidak punya rencana yang sudah dipersiapkan dengan matang?Dengan bersusah payah, Janice menguatkan tubuhnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Dia menatap Zachary dan Landon. "Paman, Pak Landon, kalian bisa tinggalkan aku sebentar? Aku ingin sendirian sama ibuku."Keduanya saling berpandangan, lalu mengangguk dan keluar dari kamar dengan tenang.Setelah pintu tertutup, J
Jason menjawab dengan tenang, "Bukan apa-apa."....Janice pulang ke rumah dengan tubuh yang benar-benar kelelahan. Begitu merebahkan diri di sofa, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Saat dibuka, Naura muncul sambil membawa sepanci makanan."Aku dengar suara pintu, jadi tahu kamu sudah pulang. Aku masak ronde dengan arak beras, ini makanan favoritmu, 'kan?"Janice menatapnya dengan curiga. "Kenapa kamu bisa tahu ini makanan favoritku?"Gerakan tangan Naura yang memegang panci sempat terhenti, tetapi kemudian dia tertawa pelan. "Lupa? Waktu itu kamu mabuk dan bilang sama aku. Untung saja aku masih ingat."Janice tidak banyak berpikir. Dia mengusap perutnya karena memang merasa lapar."Aku ambilkan mangkuk."Beberapa saat kemudian, mereka berdua duduk dengan masing-masing satu mangkuk besar sambil menikmati hidangan yang menghangatkan tubuh.Janice lalu berdiri dan mengambil sisa anggur dari sebelumnya. Naura terkejut. "Kamu baru saja makan ronde dengan arak, sekarang mau minum lagi?"
Ketika Janice tersadar kembali, dia sudah terbaring di lorong depan pintu rumahnya sambil menghirup oksigen. Naura berlutut di sampingnya dengan wajah cemas dan menggenggam erat tangannya."Dia sudah sadar! Dokter, gimana keadaannya?""Saat ini belum bisa dipastikan. Kita harus bawa dia ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut." Dokter itu menenangkan Naura sambil mengukur tekanan darah Janice.Namun, Naura terlihat semakin cemas. "Aku bukan nanya tentang gasnya, aku tanya tentang lukanya!""Luka? Tapi kami nggak menemukan luka apa pun di tubuhnya." Dokter itu tampak ragu dan mendekatkan diri ke Janice. "Nona, apa kamu merasa tidak nyaman di bagian lain?"Janice menggelengkan kepalanya. Setelah menghirup oksigen, selain kepala yang terasa sedikit pusing, dia tidak merasakan sakit apa pun. Naura tertegun, lalu menunjuk noda darah yang menempel di pintu rumahnya."Lalu ... darah siapa ini? Tadi pintu rumahku diketuk dengan sangat panik. Begitu pintu dibuka, aku lihat kamu tergeletak
Dia bahkan menirukan suara perempuan itu. "Kak Norman, maaf, aku salah kirim, jangan dilihat ya ...."Norman dan Arya langsung merinding."Kak Norman, ajarin dong, gimana caranya bikin cewek kirim uang dalam satu menit?" Usai berbicara, Zion meninju ringan dada Norman.Norman menahan napas. Apa Zion tidak tahu betapa keras pukulannya? "Dasar gila."Norman menerima uang itu, lalu langsung menghapus kontak si perempuan. Tindakannya sangat cepat dan tegas.Arya bengong. "Hah? Kamu langsung hapus? Kamu nggak rugi sama sekali lho! Sudah liat fotonya, dapat duit pula!""Mau direkomendasikan ke kamu?""Eh, jangan! Aku nggak sanggup. Mending kasih ke Zion saja, dua-duanya genit, pasti cocok." Arya menunjuk Zion.Zion menikmati teh sambil selonjoran. "Aku sukanya yang tinggi semampai kayak aku.""Gila." Norman menjelaskan, "Pak Jason sempat bilang bakal ada yang hubungin aku buat balikin uang. Sepertinya dia orangnya."Ketiganya sedang asik minum teh saat seorang pengawal tiba-tiba masuk dan me
Di rumah sakit, Arya keluar dari ruang UGD, melepaskan masker, lalu menatap Jason dan Landon dengan ekspresi yang sangat serius.Ketiganya masuk ke ruang kerja Arya. Mereka berbicara cukup lama sampai lebih dari satu jam."Untuk sementara, nyawanya nggak dalam bahaya. Tapi, ini gagal hati yang disebabkan oleh sistem imun sendiri. Pengobatan terbaik adalah transplantasi hati.""Meskipun kecocokan transplantasi hati nggak terlalu ketat, tetap saja mencari orang yang punya golongan darah sama dan bersedia menyumbangkan sebagian hatinya nggak mudah."Apalagi, Rachel memiliki golongan darah yang berbeda dengan keluarga sedarahnya. Kalau sama, tentu tak perlu serumit ini.Landon langsung berkata, "Berapa pun biayanya, aku siap bayar."Arya menghela napas tanpa daya. "Sebaiknya kamu coba tanya dulu ke kerabat lain. Mungkin bisa lebih cepat.""Ya."Selesai berbicara, seorang perawat masuk dan memberi tahu bahwa Rachel telah dipindahkan kembali ke ruang rawat.Landon berucap, "Ayahku sudah di b
Zachary tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menatap tajam ke arah Elaine dan balik bertanya, "Kenapa kamu bisa tahu sedetail itu tentang masalah Ivy?"Elaine menggigit bibir, diam tanpa sepatah kata pun."Sebaiknya kamu nggak terlibat dalam hal ini. Silakan pergi, aku nggak akan antar." Zachary berbalik dan berjalan pergi.Riasan sempurna Elaine mulai hancur. Dia menahan Zachary dengan enggan. "Maaf ... sudah cukup, 'kan?"Zachary hanya mencibir dingin, merasa tak ada gunanya berbicara lagi. Dia berjalan melewati Elaine dan pergi.Elaine yang selalu bermartabat tak pernah sekali pun merendah pada pria mana pun. Dengan marah, dia berteriak, "Kamu nggak akan bisa menyelamatkannya!"Zachary hendak membalas, tetapi tiba-tiba seekor kucing liar melompat keluar dan menerjang ke arah Janice.Janice terkejut dan refleks menghindar, membuat keberadaannya langsung ketahuan. Melihat itu, Zachary segera maju dan mengusir kucing itu."Janice, kamu nggak apa-apa?""Nggak." Janice menggeleng.Be
Janice tiba-tiba terdiam. Dia memandangi sekeliling dengan tatapan kosong, semuanya tampak asing dan tidak nyata. Kenapa semuanya bisa berubah menjadi palsu hanya dalam sekejap?Landon terdiam untuk waktu yang lama.Janice mengangkat wajah pucatnya, matanya berkaca-kaca. "Kamu mendekatiku untuk menyingkirkan penghalang demi adikmu? Atau kamu kasihan padaku? Atau kamu merasa bersalah dan ingin menebusnya? Besar juga pengorbananmu, Pak Landon."Tak heran Landon selalu menoleransinya."Bukan begitu! Aku nggak menyangkal ada rasa bersalah, tapi saat pertama kali kita bertemu, aku sama sekali nggak tahu siapa kamu. Keinginanku untuk tunangan dan menikahimu, semua itu tulus karena aku menyukaimu." Landon menjawab dengan sungguh-sungguh.Janice hanya tersenyum pahit. Pada titik ini, sudah tidak penting lagi mana yang benar dan bohong.Dia benar-benar sudah kehabisan tenaga. Meskipun Landon sudah mengakui semuanya, apa yang bisa diubah?Dia perlahan berbalik. "Sudah cukup.""Janice, aku nggak
Saat itu, Landon menggenggam erat tangan Janice. Dia seperti sedang menenangkan, tetapi juga seperti sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu."Janice, bukti dari gadis itu paling jauh hanya bisa membuktikan kalau ibu dan beberapa orang lain itu berinvestasi secara sukarela, bukan karena ibumu menipu. Tapi, di luar sana masih banyak orang yang merasa tertipu dan beberapa di antaranya bukan orang biasa.""Maksudmu apa?" Janice menatap Landon dengan curiga."Aku suruh Zion menyelidiki para korban. Mereka bilang Fenny sangat profesional saat bicara, nggak seperti orang awam. Itu artinya, dia bukan hanya mengerti dunia para orang kaya, tapi juga ada yang memberinya pelatihan. Jelas bukan ibumu, tapi orang-orang nggak percaya. Mereka mungkin nggak bakal tinggal diam.""Maksudmu, ada yang sengaja melatih Fenny untuk mendekati orang kaya? Setelah dia menyerahkan diri dan menuduh ibuku, para orang kaya yang malu akan bersatu menyerang ibuku? Dibandingkan orang biasa seperti Kristin,
Janice tiba di tempat tujuan, langsung menuju ke ruang kerja sementara Landon. Saat sampai di depan pintu, sebelum sempat mendorongnya, suara Landon dan Ibrahim terdengar dari dalam.Nada suara Ibrahim terdengar serius. "Kamu mau menghabiskan begitu banyak uang hanya demi Janice? Kamu harus pikir matang-matang."Landon menjawab dengan tegas, "Aku sudah memikirkannya. Keadaan sudah sampai sejauh ini, menyelesaikan masalah lewat jalan damai adalah langkah mundur yang masih masuk akal. Uang masih bisa dicari. Tapi, aku nggak akan pernah membiarkan Janice kembali padanya."Padanya? Siapa?Janice menurunkan tangannya yang sempat ingin mendorong pintu, hatinya seperti diremas.Setelah hening sejenak, terdengar helaan napas dari Ibrahim. "Hubungan Janice dan dia terlalu rumit. Bagi masa depanmu ....""Setelah tunangan, aku akan menemani Janice kuliah di luar negeri. Kami juga akan nikah di sana. Kami akan berusaha sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan dia," jawab Landon."Kapan kamu jad
"Janice ...."Di hadapannya hanya ada lantai kosong, Janice sudah pergi.Begitu turun dari lantai atas, dua pengawal langsung menghampirinya."Bu Janice, maafkan kami. Kami tadi diarahkan ke tempat lain. Kamu baik-baik saja?""Aku baik-baik saja. Ayo pergi."Janice berjalan ke depan, tetapi para pengawal mengadangnya."Bu Janice, Pak Landon memerintahkan kami untuk memastikan keselamatanmu. Kalau kamu hilang lagi, kami nggak bisa kasih penjelasan apa-apa. Mobil sudah menunggu di luar."Melihat wajah mereka yang panik, Janice tidak ingin menyulitkan mereka. Dia pun mengangguk dan masuk ke mobil bersama mereka.Di luar gerbang sekolah, orang-orang sudah mulai berkurang. Saat mobil mulai melaju, Jason muncul dan mengejarnya. Tatapannya tajam tertuju pada Janice.Janice hanya menoleh dengan dingin, memandang lurus ke depan tanpa ekspresi. Di tengah perjalanan pulang, salah satu pengawal menerima telepon. Ekspresinya berubah tegang saat menoleh ke arah Janice."Bu Janice, Pak Landon bilang
Kristin menegakkan punggung dan berkata dengan kesal, "Tentu saja aku tahu! Ivy paling dekat sama Fenny dulu, tapi tetap nggak mau ajak kita gabung. Itu tandanya dia meremehkan kita.""Dia sekarang sudah jadi menantu Keluarga Karim. Uang puluhan miliar pasti kecil buat dia. Tapi, kalau dikasih ke kita ...."Begitu mendengar puluhan miliar, para wanita itu mulai berkhayal dan tergoda.Saat mereka hendak bersuara, salah satu wanita berujar, "Kayaknya nggak semudah itu. Anak Ivy yang lugu itu sekarang sangat pintar. Waktu itu acara teh sore, dia sengaja nolak tawaran kita buat investasi. Ivy paling nurut sama anaknya, pasti dia juga nggak bakal ajak kita."Kristin tertawa kecil. "Dia memang nurut sama anaknya. Tapi ke kita, dia pasti nggak enak hati buat nolak.""Kamu punya cara?""Kita kasih langsung uangnya ke dia, suruh dia urus sendiri. Mau untung atau rugi, tinggal tagih ke dia. Beres.""Kalau dia nggak mau ganti rugi?""Kita laporin saja dia menipu kita. Dia 'kan menantu Keluarga Ka
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it