"Apa maksudmu? Aku belum setua itu sampai nggak bisa mengurus keluarga ini!" Anwar paling tidak suka dianggap tua, dan lebih dari itu, dia paling takut menjadi tua.Namun, Jason tetap menanggapinya dengan tenang. "Yang lebih penting adalah kesehatanmu."Anwar terdiam di tempat, wajahnya sedikit memucat karena marah. Namun, sebagai seseorang yang pernah memimpin keluarga besar selama bertahun-tahun, dia mengendalikan emosinya dengan cepat.Anwar mengeluarkan dua dokumen dan meletakkannya di depan Jason, lalu mengubah topik pembicaraan. "Daftar peserta upacara persembahan tahun baru, lihat dulu."Jason membuka daftar itu. Nama-namanya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali satu ... Ivy.Anwar berkata dengan nada dingin, "Bagaimanapun juga, dia itu kakak iparmu. Dia tetap bagian dari keluarga ini. Sekarang setelah Tracy meninggal, sudah saatnya dia mulai melakukan sesuatu untuk Keluarga Karim.""Oh ya?" Jason menatap lurus ke mata Anwar.Anwar menunjuk dokumen di bawahnya deng
Air hangat mengalir ke tenggorokannya, meredakan rasa perih yang mengganggunya sejak tadi. Tubuh Janice mulai merasa lebih nyaman. Jari-jari hangat menyentuh bibirnya dan mengusapnya perlahan, seolah sedang menyentuh sesuatu yang berharga.Pria itu semakin mendekat. Napasnya yang hangat berembus di wajah Janice. Tanpa sadar, Janice menahan napas. Meskipun penglihatannya kabur, dia bisa merasakan betapa dekatnya sosok itu. Begitu dekat, hingga jika dia bergerak sedikit saja, bibir mereka akan bersentuhan.Namun, tepat saat itu, efek obat mulai bekerja sepenuhnya. Tubuhnya kehilangan tenaga, membuatnya langsung terjatuh kembali ke sofa.Tak lama kemudian, tubuh tegap itu menunduk dan memeluknya erat. Di telinganya, suara detak jantung pria itu terdengar jelas, ritmenya stabil dan menenangkan. Tanpa sadar, sesuatu yang lembut menyentuh dahinya."Tidurlah."Suara rendah dan dalam itu terdengar seperti mantra yang membawa Janice tenggelam dalam tidur nyenyak.Saat membuka mata lagi, yang pe
Naura menunjuk ke arah jas yang dikenakan Landon.Saat itu juga, Janice baru menyadari bahwa jas yang dipakai Landon terlihat sangat mirip dengan yang dikenakan Jason saat mengantarnya pulang waktu itu ketika Jason menyembunyikan wajahnya.Meskipun ada perbedaan kecil dalam detailnya, bagi orang awam, keduanya terlihat hampir sama. Ditambah lagi, bentuk tubuh Landon dan Jason hampir serupa, jadi tidak heran Naura salah mengenali."Kak Naura, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," Janice buru-buru menjelaskan.Namun, Naura tidak mau mendengar. Dia berdiri di depan Janice dengan sikap hendak melindungi Janice. "Janice! Kamu sudah janji sama aku bahwa kamu nggak akan kembali sama mantanmu!""Mantan?"Landon menatap Janice dengan ekspresi penuh arti, seulas senyuman samar muncul di sudut bibirnya. Janice yang baru saja mulai merasa baikan, tiba-tiba ingin pingsan lagi di tempat.Dengan penuh keyakinan, Naura melanjutkan, "Pak, percuma kamu datang sekarang! Waktu Janice benar-benar membutuh
Naura mengira Janice sudah lupa, jadi dia berbalik ke dapur dan mengambil sesuatu, lalu meletakkannya di depan Janice. Benda itu adalah sebuah jam tangan pria. Desainnya sederhana, tetapi harganya selangit.Janice langsung mengenalinya. Jam tangan itu milik Jason. Sebab ... dia sendiri memiliki versi wanitanya yang sama persis. Namun, tadi malam saat dia membereskan dapur, jam tangan ini tidak ada di sana.Kecuali ... orang yang menemaninya selama dia demam adalah Jason. Landon tidak pernah mengatakan bahwa dia yang memasak bubur untuk Janice. Itu hanya asumsi Janice semata.Mengingat semua yang terasa seperti mimpi, tangan Janice sedikit gemetar, hingga tanpa sengaja menumpahkan teh jahe dari cangkirnya.Naura segera mengambil tisu dan menyeka tumpahan itu. "Kenapa kamu?"Namun, Janice tidak menjawab. Dia menoleh ke luar jendela, lalu tiba-tiba meraih jam tangan itu dan bergegas keluar. Di dalam lift, dia menatap angka-angka yang turun satu per satu.Sambil bersandar pada dinding lift
Jason tidak menjawab. Dia langsung menarik Janice ke dalam mobil.Di luar, pemandangan terus berubah dengan cepat. Entah setelah berapa lama berlalu, sampai akhirnya salju mulai turun lagi.Saat mobil berhenti dan pintu terbuka, lapisan salju yang lebih tebal sudah menyelimuti tanah.Begitu Janice turun, sebuah mantel kasmir telah diletakkan di pundaknya. Aroma familier dari pria di sampingnya langsung menyelimutinya.Begitu tersadar, dia telah berdiri di depan sebuah vila yang begitu megah. Meski sekarang telah tertutup salju, taman luas di sekelilingnya masih tampak seperti tempat yang berasal dari dongeng.Mudah membayangkan bagaimana tempat ini terlihat saat dipenuhi bunga yang bermekaran. Namun, Janice sudah mengetahui gambaran itu. Sebab, tempat ini adalah rumah tempat dia membakar diri di kehidupan yang lalu.Selama delapan tahun pernikahan, tempat ini bagaikan penjara yang megah.Janice menatap rumah itu sambil bertanya dengan nada dingin, "Apa maksudmu?"Jason memicingkan mata
Mendengar kata "api", Jason kembali tercengang. Dia teringat bahwa gadis kecil dalam mimpinya itu sangat membencinya.Di tengah malam, semua mimpinya selalu berakhir sama. Gadis kecil itu berlari ke dalam rumah yang terbakar sambil menggandeng seorang wanita yang bersosok samar. Keduanya saling berpandangan dan tersenyum, lalu menghilang dari mimpinya.Janice memanfaatkan kesempatan ini untuk melepaskan diri dari Jason dan berdiri dalam jarak beberapa langkah darinya.Dengan kemarahan yang bercampur dengan permohonan, Janice berkata, "Paman, aku memang nggak bisa menang melawanmu. Apa kalian masih belum cukup menghinaku? Apa kamu benar-benar baru bisa puas kalau semua orang memarahiku sebagai wanita murahan?"Usai bicara, Janice langsung berbalik dan pergi.Jason mengulurkan tangan hendak menariknya, tetapi dia hanya berhasil meraih mantel yang tersampir di pundak Janice.Janice melepas mantel itu dengan tegas dan pergi tanpa menoleh sama sekali. Sosoknya menghilang di tengah salju yan
Rachel tidak menyadari kejanggalan dari ucapan Janice. Dia langsung mengeluarkan ponsel dan berkata, "Lihat nih, kami foto banyak sekali. Aku mau pakai foto ini di acara tunangan dan pernikahan nanti. Kamu bantu aku pilih dong."Janice melirik sekilas ponsel Rachel. Senyum kedua orang itu di dalam foto tampak sangat mencolok. Rachel adalah nona kaya yang dirawat dengan penuh cinta kasih. Ketenangan dan kelembutan yang ada dalam dirinya terpancar begitu alami.Saat tersenyum, auranya begitu menular. Bahkan Jason yang biasanya selalu dingin, terlihat lebih santai saat berdiri di sisinya.Mereka benar-benar serasi. Setiap foto yang diambil tampak begitu sempurna. Namun, Janice justru merasa tidak nyaman. Matanya tidak tahu harus menatap ke mana."Semuanya bagus, kok. Kalian putuskan saja." Janice tersenyum, lalu mengalihkan pembicaraan, "Oh ya, kenapa kamu cari aku?""Oh, iya. Aku terlalu senang sampai lupa. Jepitan dasi yang kamu desain untuk kakakku bagus sekali. Sekarang dia pakai jepi
Gaun pengantin?Saat mendengar dua kata itu, Janice merasa ironis. Ditambah dengan waktu Vania mencoba gaun pengantin, ini sudah kedua kalinya. Selain itu, keduanya adalah pasangan Jason. Seolah-olah semua pernikahan ini tidak akan bisa berlangsung tanpa kesaksian darinya.Janice menatap Rachel. Dia tersenyum dengan bahagia, polos, tanpa tipu muslihat seperti Vania. Undangannya juga memang tulus.Justru karena itulah, Janice semakin merasa dirinya seperti orang jahat. Dia ingin mencari alasan untuk menolak, tetapi saat hendak membuka mulut, ponselnya bergetar.Tiba-tiba, sebuah firasat buruk muncul di benaknya.Benar saja. Begitu dia membuka layar, ada pesan dari Ivy.[ Pak Anwar minta aku bantu siapin pesta pertunangan Jason dan Rachel. ]Janice sontak merasa sesak. Apakah Ivy akan berakhir dengan menyinggung Keluarga Luthan dan Karim, atau baik-baik saja, semua bergantung pada sikapnya.Janice mengetik pesan dengan tangan gemetar.[ Aku tahu. ]Rachel sepertinya menyadari sesuatu, se
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan