Anwar sepertinya sengaja ingin mempermalukan Janice, sama sekali tidak peduli dengan para tamu di sekitarnya, termasuk kakak beradik Keluarga Luthan itu.Setiap kata yang diucapkannya bagaikan mengandung racun, menghantam Janice tanpa ampun.Di bawah tatapan banyak orang, Janice merasa sangat tertekan. Tiba-tiba, sebuah tangan merangkul pinggangnya, menariknya selangkah ke depan."Pak Anwar, apa kamu punya masalah dengan pasangan yang kubawa?""Pasangan?"Tatapan Anwar dipenuhi kecurigaan, bahkan bercampur dengan sedikit penghinaan. Benar saja, wanita tidak tahu malu ini sudah menggoda pria lain.Bagaimana mungkin Janice tidak memahami arti tatapan Anwar? Dari sudut matanya, dia melirik wajah dingin Jason. Hanya dalam beberapa saat, tenaganya terasa terkuras banyak. Bahkan, hawa dingin menusuk hingga tulangnya.Janice tersenyum sinis. "Kak Landon, kalau memang nggak memungkinkan, gimana kalau aku pergi dulu? Aku juga nggak ingin makan dengan suasana seperti ini."Begitu dia memanggil k
Setelah keluar dari kamar mandi, Janice tidak segera kembali ke ruang privat. Dia merasa dirinya tidak cocok dengan suasana di dalam sana.Terutama karena Anwar selalu menatapnya dengan tatapan suram, seolah-olah mendesaknya untuk segera pergi.Janice berjalan menuju area istirahat di sisi lain koridor. Begitu membuka pintu kaca, angin dingin menerpa wajahnya. Dia menyusutkan lehernya, lalu memeluk diri sendiri dan bersandar pada pagar sambil memandang pemandangan di kejauhan.Setelah hatinya lebih tenang, Janice teringat akan tugas yang belum selesai dan bersiap untuk kembali. Namun, begitu dia berbalik, dia langsung menabrak dada pria yang keras dan dingin.Janice mendongak, lalu bertemu dengan tatapan pria yang dingin dan dalam. Dalam sekejap, hatinya terasa dingin, membuat giginya bergemeletuk.Janice mundur selangkah, berusaha tetap tenang saat menatap pria itu. "Paman, ada apa?"Jason tidak langsung menjawab. Dia maju selangkah demi selangkah, memojokkan Janice hingga punggungnya
Jason mencengkeram dagunya dan menciumnya dengan intens. Saat bertemu tadi, Jason sudah melihat niat tersembunyi Landon. Kepemilikan seorang pria terlihat jelas dalam sorot mata Landon yang nyaris tak bisa ditutupi.Janice biasanya bukan tandingan Jason, apalagi saat pria ini sedang marah. Dorongan kuat yang menekannya ke pagar membuatnya merasa pagar di belakangnya ikut bergetar.Pada akhirnya, suara Rachel terdengar dari tikungan koridor. "Jason? Kamu di mana? Tempat ini terlalu berliku, aku bisa tersesat."Saat berikutnya, Jason sontak melepaskan Janice. Wajah Janice yang ditutupi helaian rambut berantakan seketika pucat pasi.Sambil menahan rasa mual, Janice mengulurkan tangan dan mencengkeram kerah baju Jason. Meskipun merasa tidak nyaman, dia tetap tertawa. "Ada apa? Takut ketahuan?"Jason menatapnya sejenak, ekspresinya sedikit melembut. "Sejak kembali ke negara ini, dia masih sulit beradaptasi dengan cuaca di sini. Dia nggak boleh syok. Setelah jamuan selesai, tunggu aku di sin
Saat Jason dan Landon kembali ke ruang privat, ekspresi mereka tetap datar tanpa menunjukkan sedikit pun perubahan.Hanya mereka berdua yang tahu apa yang telah mereka bicarakan."Ayo pergi." Landon mendekati Janice dan mengambil tasnya untuknya."Hmm." Janice mengikuti Landon keluar dari hotel.Setelah berbasa-basi sesaat, asisten Landon sudah membawa mobil ke depan.Saat hendak naik ke mobil, Landon mengingatkan Rachel, "Jangan bermain terlalu gila.""Aku tahu, aku tahu. Cepat antar Janice pulang, Jason akan menjagaku," ujar Rachel dengan manja.Terlihat jelas bahwa Landon tidak pernah memperlakukan Rachel sebagai orang yang cacat. Tidak heran, meskipun kondisinya demikian, Rachel tetap bisa begitu ceria dan bebas.Janice merasa dirinya jauh lebih lemah dibandingkan Rachel. Dia tidak ingin menyakitinya, jadi dia menunduk dan langsung masuk ke dalam mobil.Saat menutup pintu, dari sudut matanya, Janice melihat Jason. Pria itu juga sedang menatapnya, tatapannya tajam seperti peringatan
"Sejak kapan kamu jadi tukang gosip begini? Biarkan saja dia pergi, mungkin nanti dia nggak terus-menerus terbebani lagi," kata Landon dengan datar."Tuan, kamu benar-benar pengertian, aku mau ambil cuti besok." Zion menyeringai."Semua cutimu bulan ini dibatalkan."Zion langsung kehilangan senyumnya.....Di Hotel.Janice kembali ke hotel, lalu duduk di area istirahat lobi dan memesan secangkir kopi panas. Untuk terakhir kalinya, dia memercayai Jason. Mereka memang seharusnya duduk dan bicara dengan baik.Melihat salju yang beterbangan di luar jendela kaca besar, hatinya pun dipenuhi kegelisahan. Satu jam berlalu, kopinya sudah lama menjadi dingin.Landon pernah mengatakan bahwa dia dan adiknya untuk sementara tinggal di vila milik Keluarga Luthan, yang berjarak setengah jam dari sini. Pergi dan pulang hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam.Sekarang sudah satu jam lima belas menit.Janice menggenggam cangkir yang sudah dingin, berpikir mungkin karena hujan salju deras, jadi wajar j
Jason duduk diam sepanjang malam.Saat fajar menyingsing, Rachel perlahan terbangun. Melihat pria itu masih ada di sisinya, hatinya dipenuhi rasa bahagia sekaligus rasa sakit. Dengan suara lemah, dia berkata, "Jason, maaf, kamu jadi harus menemaniku semalaman."Jason tersadar dari pikirannya dan berdiri dengan perlahan. "Kupanggilkan dokter."Saat dia berbalik, Rachel menggenggam tangannya. "Jason, aku suka sama kamu. Apa kita bisa bersama? Tentu saja, kalau kamu ingin menolakku, aku bisa menerimanya."Jason menundukkan pandangan dan menatapnya tanpa ekspresi, lalu menarik tangannya perlahan dari genggaman Rachel. "Biarkan dokter periksa kondisimu dulu."Menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh, Rachel menggigit bibir pucatnya dan matanya berkaca-kaca.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, mereka memastikan bahwa Rachel telah melewati masa kritis. Dia pun dipindahkan ke kamar perawatan biasa.Jason membantu Rachel berbaring dengan tenang, lalu berkata dengan suara dala
"Apa maksudmu? Aku belum setua itu sampai nggak bisa mengurus keluarga ini!" Anwar paling tidak suka dianggap tua, dan lebih dari itu, dia paling takut menjadi tua.Namun, Jason tetap menanggapinya dengan tenang. "Yang lebih penting adalah kesehatanmu."Anwar terdiam di tempat, wajahnya sedikit memucat karena marah. Namun, sebagai seseorang yang pernah memimpin keluarga besar selama bertahun-tahun, dia mengendalikan emosinya dengan cepat.Anwar mengeluarkan dua dokumen dan meletakkannya di depan Jason, lalu mengubah topik pembicaraan. "Daftar peserta upacara persembahan tahun baru, lihat dulu."Jason membuka daftar itu. Nama-namanya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali satu ... Ivy.Anwar berkata dengan nada dingin, "Bagaimanapun juga, dia itu kakak iparmu. Dia tetap bagian dari keluarga ini. Sekarang setelah Tracy meninggal, sudah saatnya dia mulai melakukan sesuatu untuk Keluarga Karim.""Oh ya?" Jason menatap lurus ke mata Anwar.Anwar menunjuk dokumen di bawahnya deng
Air hangat mengalir ke tenggorokannya, meredakan rasa perih yang mengganggunya sejak tadi. Tubuh Janice mulai merasa lebih nyaman. Jari-jari hangat menyentuh bibirnya dan mengusapnya perlahan, seolah sedang menyentuh sesuatu yang berharga.Pria itu semakin mendekat. Napasnya yang hangat berembus di wajah Janice. Tanpa sadar, Janice menahan napas. Meskipun penglihatannya kabur, dia bisa merasakan betapa dekatnya sosok itu. Begitu dekat, hingga jika dia bergerak sedikit saja, bibir mereka akan bersentuhan.Namun, tepat saat itu, efek obat mulai bekerja sepenuhnya. Tubuhnya kehilangan tenaga, membuatnya langsung terjatuh kembali ke sofa.Tak lama kemudian, tubuh tegap itu menunduk dan memeluknya erat. Di telinganya, suara detak jantung pria itu terdengar jelas, ritmenya stabil dan menenangkan. Tanpa sadar, sesuatu yang lembut menyentuh dahinya."Tidurlah."Suara rendah dan dalam itu terdengar seperti mantra yang membawa Janice tenggelam dalam tidur nyenyak.Saat membuka mata lagi, yang pe
Di antara orang-orang yang bersimpati pada pemuda itu, sebagian besar berasal dari Kota Pakisa. Kabar menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut, sehingga kini kerumunan orang mulai berdatangan ke kantor polisi untuk menuntut penjelasan. Melihat tatapan mereka sangat mengerikan, Naura melindungi Janice saat masuk ke kantor polisi.Saat melihat Zachary yang sudah menunggu bersama asistennya, Janice segera maju dan bertanya, "Paman, bagaimana keadaan ibuku?""Ibumu baik-baik saja, tapi Fenny tiba-tiba mulai menyakiti dirinya sendiri. Kabar itu sudah tersebar keluar, jadi publik sangat marah," jelas Zachary."Paman, tolong selidiki putranya Fenny. Aku curiga ada yang sengaja membantunya membangun citra ini," kata Janice."Ini ...." Mendengar perkataan Janice, Zachary menggigit bibirnya dan tidak langsung menjawab.Pada akhirnya, asistennya Zachary berkata dengan tidak berdaya, "Nona Janice, Pak Zachary sudah diskors perusahaan dan semua dananya juga sudah dibekukan Keluarga Karim.""Ini ..
Saat keluar dari lift, Janice kebetulan bertemu dengan Naura.Naura menatap ke arah Janice terlebih dahulu, lalu melihat ke belakang Janice. "Eh? Mana abang pengawal itu?""Sudah pulang ke tempat Pak Landon," kata Janice dengan tenang.Naura berdecak, lalu mengeluh, "Hah? Mereka hanya menjagamu sehari? Pak Landon ini jadi pacar terlalu santai. Tapi, kalian benar-benar romantis, semalam juga nggak peduli aku yang ada di sebelah."Mendengar perkataan itu, ekspresi Janice terlihat curiga. Dia ingin menjelaskan pada Naura bahwa semalam dia tidak tidur di rumah, tetapi dia tiba-tiba teringat sesuatu dan segera mengeluarkan kunci untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, dia dan Naura langsung tercengang karena hampir seluruh isi rumah Janice sudah diubrak-abrik dan hanya tinggal lantai saja yang utuh.Naura terkejut dan berkata, "Rumahmu dirampok? Jangan-jangan semalam .... Aku kira kalian sedang bermesraan. Kalau begitu, aku lapor polisi dulu."Setelah mengatakan itu, Naura mengeluarkan p
Janice segera bangkit dari sofa, lalu merapikan pakaiannya sejenak setelah berdiri tegak. "Satu malam sudah berlalu."Mendengar perkataan itu, tangan Jason langsung terhenti dan tersenyum. "Sekarang kamu bahkan malas berbohong padaku."Melihat Janice hanya terdiam, Jason pun berdiri dan berkata, "Sarapan dulu baru pergi saja.""Nggak perlu, aku nggak lapar," jawab Janice.Namun, perut Janice tiba-tiba berbunyi sampai dia segera menutupi perutnya dengan tas karena malu.Pada saat itu, bel pintu berbunyi. Setelah berbunyi tiga kali, Norman baru membuka pintu dan masuk. Melihat dua orang yang berdiri di dalam, dia sempat tertegun sejenak dan bertanya-tanya apakah dia datang di waktu yang salah lagi. Padahal tadi dia sudah sengaja menekan bel terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam. "Pak Jason, Nona Janice, selamat ... pagi."Saat Janice tidak fokus, Jason langsung mengambil tasnya. Melihat Jason meletakkan tasnya di kursi, dia hanya bisa duduk dengan patuh.Norman meletakkan satu per satu
Masih pura-pura tidak tahu.Janice memejamkan mata rapat-rapat, bibirnya terkatup kuat.Beberapa detik kemudian, film langsung melompat ke bagian akhir yang penuh tarian dan nyanyian. Irama musiknya ceria dan menggembirakan.Janice diam-diam membuka satu mata, memastikan bahwa layar sudah aman. Kemudian, dia baru membuka matanya sepenuhnya.Harus diakui, adegan tarian dalam film musikal ini memang indah. Warna keemasan berkilau, air mancur yang menyala, kelopak mawar merah berserakan di tanah, dan para wanita cantik dengan pakaian mewah menari sambil menyanyi. Semuanya kontras dengan adegan sebelumnya.Janice refleks menoleh ke arah pria di sampingnya, tidak menyangka Jason masih menatapnya. Tatapan mereka bertemu dari jarak dekat. Sedikit saja dia bergerak, bibir mereka bisa langsung bersentuhan.Janice kaget. Saat dia mencoba menghindar dengan menyandar ke belakang, dia malah jatuh dari sofa.Jason langsung menangkapnya dan menariknya kembali. Gerakan itu membuat mereka berdua terjat
Namun, hal itu tetap tak bisa menyembunyikan pesona khasnya.Tangan Jason menyusuri rambut Janice dengan gerakan lembut, membuatnya merasa diperlakukan dengan penuh hati-hati.Tanpa sadar, Janice bahkan tidak tahu kapan suara pengering rambut itu berhenti. Saat pikirannya kembali, dia baru sadar Jason membawanya keluar dari kamar utama.Dia tak mengerti apa yang sedang direncanakan pria itu, sampai dia melihat tiga hidangan rumahan di atas meja makan.Jason menarik kursi untuknya, menyajikan sepiring nasi hangat di depan Janice. "Masakanku biasa saja, makan seadanya."Janice tidak tahu harus berkata apa, akhirnya hanya mengangguk pelan. "Hm."Dia tahu Jason bisa masak sedikit, tetapi dia hanya pernah mencicipi mie dan sandwich buatannya yang gagal.Hidangan di depan mata ini memang tak seindah buatan koki Keluarga Karim, tetapi tetap terlihat menggugah selera.Janice mencicipi telur orak-arik tomat. Ternyata enak. Tanpa sadar, dia memuji, "Enak.""Masih ada di panci.""Masih ada?" Jani
Janice berjalan dalam keadaan linglung sepanjang perjalanan, hingga akhirnya dia masuk ke rumah yang hangat. Saat itu, dia mulai tersadar kembali. Melihat tangannya yang masih digenggam oleh Jason, dia segera menariknya seolah-olah tersengat listrik.Dengan wajah dingin, dia berkata, "Jason, kamu nggak perlu melakukan ini. Aku nggak akan setuju untuk mendonorkan hatiku!"Jason berhenti melangkah, menatapnya tanpa ekspresi, lalu perlahan mendekatinya. Janice mundur selangkah demi selangkah hingga punggungnya menempel pada dinding kaca yang dingin.Tubuh Jason basah kuyup, kemejanya menempel pada otot-ototnya yang tegang, memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan."Kalau aku butuh hatimu, sekarang kamu sudah di rumah sakit," kata Jason sambil mendekat.Janice segera mengangkat tangan untuk menahan. "Jangan seperti ini!"Yang terdengar hanya suara klik. Seluruh rumah menjadi terang benderang. Ternyata Jason hanya menyalakan lampu.Dengan tangan menempel pada dinding kaca, Jason berta
Jadi, begitu kenyataannya.Mata Janice yang indah membelalak karena kaget dan takut. Hujan yang tertiup angin membasahi bulu matanya yang panjang, lalu menetes masuk ke mata. Semu dan kabur.Anwar menatapnya dingin. "Janice, dunia ini nggak pernah peduli pada keinginanmu."Begitu kata-kata itu diucapkan, dia menutup jendela mobil. Sopirnya perlahan menginjak gas dan mobil pun melaju pergi.Janice terdiam, tak menyangka Anwar akan membiarkannya begitu saja. Namun, dia segera sadar, dirinya terlalu naif.Begitu mobil Anwar meninggalkan lokasi, lampu sebuah mobil di seberang jalan tiba-tiba menyala. Dari dalam, keluar tiga pria bertubuh tinggi dan kekar.Janice baru sadar, dia sudah diawasi sejak tadi. Alasan kenapa Anwar pergi dulu baru menyuruh orang bertindak karena dia tidak ingin dirinya terseret secara langsung.Janice langsung merasa dadanya sesak. Tanpa peduli pada hujan, dia langsung berlari secepat mungkin.Namun, tiga pria itu seperti sudah tahu ke mana dia akan lari. Mereka se
Begitu membahas tentang Ivy, Janice akhirnya berhenti melangkah.Anwar memang punya kemampuan untuk menyelamatkan Ivy, tetapi Janice tahu pria tua itu pasti datang dengan maksud tertentu.Janice menarik napas panjang, lalu perlahan berbalik. "Kalau ada yang mau dibicarakan, bicaralah langsung. Nggak usah mutar-mutar."Anwar menatapnya sejenak, lalu langsung berkata terus terang, "Aku butuh satu hal dari tubuhmu."Tubuh? Janice menunduk, menatap dirinya sendiri. Apa yang berharga darinya? Barang-barang yang dimilikinya bahkan tidak sebanding dengan mobil Anwar.Dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksud Anwar. Dengan bibir terkatup rapat, dia bertanya, "Hal apa?"Tatapan tajam Anwar menyapu tubuh Janice. "Setengah dari livermu."Janice terdiam, sempat berpikir dirinya sedang berhalusinasi. Liver? Bisa diminta begitu saja?Angin sore berembus dingin, membuat Janice menggigil dan langsung sadar. Dia mundur, menjauh dari mobil."Untuk apa kamu butuh liverku?""Untuk Rachel," jawab Anwar
Dia bahkan menirukan suara perempuan itu. "Kak Norman, maaf, aku salah kirim, jangan dilihat ya ...."Norman dan Arya langsung merinding."Kak Norman, ajarin dong, gimana caranya bikin cewek kirim uang dalam satu menit?" Usai berbicara, Zion meninju ringan dada Norman.Norman menahan napas. Apa Zion tidak tahu betapa keras pukulannya? "Dasar gila."Norman menerima uang itu, lalu langsung menghapus kontak si perempuan. Tindakannya sangat cepat dan tegas.Arya bengong. "Hah? Kamu langsung hapus? Kamu nggak rugi sama sekali lho! Sudah liat fotonya, dapat duit pula!""Mau direkomendasikan ke kamu?""Eh, jangan! Aku nggak sanggup. Mending kasih ke Zion saja, dua-duanya genit, pasti cocok." Arya menunjuk Zion.Zion menikmati teh sambil selonjoran. "Aku sukanya yang tinggi semampai kayak aku.""Gila." Norman menjelaskan, "Pak Jason sempat bilang bakal ada yang hubungin aku buat balikin uang. Sepertinya dia orangnya."Ketiganya sedang asik minum teh saat seorang pengawal tiba-tiba masuk dan me