Jason mencengkeram dagunya dan menciumnya dengan intens. Saat bertemu tadi, Jason sudah melihat niat tersembunyi Landon. Kepemilikan seorang pria terlihat jelas dalam sorot mata Landon yang nyaris tak bisa ditutupi.Janice biasanya bukan tandingan Jason, apalagi saat pria ini sedang marah. Dorongan kuat yang menekannya ke pagar membuatnya merasa pagar di belakangnya ikut bergetar.Pada akhirnya, suara Rachel terdengar dari tikungan koridor. "Jason? Kamu di mana? Tempat ini terlalu berliku, aku bisa tersesat."Saat berikutnya, Jason sontak melepaskan Janice. Wajah Janice yang ditutupi helaian rambut berantakan seketika pucat pasi.Sambil menahan rasa mual, Janice mengulurkan tangan dan mencengkeram kerah baju Jason. Meskipun merasa tidak nyaman, dia tetap tertawa. "Ada apa? Takut ketahuan?"Jason menatapnya sejenak, ekspresinya sedikit melembut. "Sejak kembali ke negara ini, dia masih sulit beradaptasi dengan cuaca di sini. Dia nggak boleh syok. Setelah jamuan selesai, tunggu aku di sin
Saat Jason dan Landon kembali ke ruang privat, ekspresi mereka tetap datar tanpa menunjukkan sedikit pun perubahan.Hanya mereka berdua yang tahu apa yang telah mereka bicarakan."Ayo pergi." Landon mendekati Janice dan mengambil tasnya untuknya."Hmm." Janice mengikuti Landon keluar dari hotel.Setelah berbasa-basi sesaat, asisten Landon sudah membawa mobil ke depan.Saat hendak naik ke mobil, Landon mengingatkan Rachel, "Jangan bermain terlalu gila.""Aku tahu, aku tahu. Cepat antar Janice pulang, Jason akan menjagaku," ujar Rachel dengan manja.Terlihat jelas bahwa Landon tidak pernah memperlakukan Rachel sebagai orang yang cacat. Tidak heran, meskipun kondisinya demikian, Rachel tetap bisa begitu ceria dan bebas.Janice merasa dirinya jauh lebih lemah dibandingkan Rachel. Dia tidak ingin menyakitinya, jadi dia menunduk dan langsung masuk ke dalam mobil.Saat menutup pintu, dari sudut matanya, Janice melihat Jason. Pria itu juga sedang menatapnya, tatapannya tajam seperti peringatan
"Sejak kapan kamu jadi tukang gosip begini? Biarkan saja dia pergi, mungkin nanti dia nggak terus-menerus terbebani lagi," kata Landon dengan datar."Tuan, kamu benar-benar pengertian, aku mau ambil cuti besok." Zion menyeringai."Semua cutimu bulan ini dibatalkan."Zion langsung kehilangan senyumnya.....Di Hotel.Janice kembali ke hotel, lalu duduk di area istirahat lobi dan memesan secangkir kopi panas. Untuk terakhir kalinya, dia memercayai Jason. Mereka memang seharusnya duduk dan bicara dengan baik.Melihat salju yang beterbangan di luar jendela kaca besar, hatinya pun dipenuhi kegelisahan. Satu jam berlalu, kopinya sudah lama menjadi dingin.Landon pernah mengatakan bahwa dia dan adiknya untuk sementara tinggal di vila milik Keluarga Luthan, yang berjarak setengah jam dari sini. Pergi dan pulang hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam.Sekarang sudah satu jam lima belas menit.Janice menggenggam cangkir yang sudah dingin, berpikir mungkin karena hujan salju deras, jadi wajar j
Jason duduk diam sepanjang malam.Saat fajar menyingsing, Rachel perlahan terbangun. Melihat pria itu masih ada di sisinya, hatinya dipenuhi rasa bahagia sekaligus rasa sakit. Dengan suara lemah, dia berkata, "Jason, maaf, kamu jadi harus menemaniku semalaman."Jason tersadar dari pikirannya dan berdiri dengan perlahan. "Kupanggilkan dokter."Saat dia berbalik, Rachel menggenggam tangannya. "Jason, aku suka sama kamu. Apa kita bisa bersama? Tentu saja, kalau kamu ingin menolakku, aku bisa menerimanya."Jason menundukkan pandangan dan menatapnya tanpa ekspresi, lalu menarik tangannya perlahan dari genggaman Rachel. "Biarkan dokter periksa kondisimu dulu."Menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh, Rachel menggigit bibir pucatnya dan matanya berkaca-kaca.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, mereka memastikan bahwa Rachel telah melewati masa kritis. Dia pun dipindahkan ke kamar perawatan biasa.Jason membantu Rachel berbaring dengan tenang, lalu berkata dengan suara dala
"Apa maksudmu? Aku belum setua itu sampai nggak bisa mengurus keluarga ini!" Anwar paling tidak suka dianggap tua, dan lebih dari itu, dia paling takut menjadi tua.Namun, Jason tetap menanggapinya dengan tenang. "Yang lebih penting adalah kesehatanmu."Anwar terdiam di tempat, wajahnya sedikit memucat karena marah. Namun, sebagai seseorang yang pernah memimpin keluarga besar selama bertahun-tahun, dia mengendalikan emosinya dengan cepat.Anwar mengeluarkan dua dokumen dan meletakkannya di depan Jason, lalu mengubah topik pembicaraan. "Daftar peserta upacara persembahan tahun baru, lihat dulu."Jason membuka daftar itu. Nama-namanya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali satu ... Ivy.Anwar berkata dengan nada dingin, "Bagaimanapun juga, dia itu kakak iparmu. Dia tetap bagian dari keluarga ini. Sekarang setelah Tracy meninggal, sudah saatnya dia mulai melakukan sesuatu untuk Keluarga Karim.""Oh ya?" Jason menatap lurus ke mata Anwar.Anwar menunjuk dokumen di bawahnya deng
Air hangat mengalir ke tenggorokannya, meredakan rasa perih yang mengganggunya sejak tadi. Tubuh Janice mulai merasa lebih nyaman. Jari-jari hangat menyentuh bibirnya dan mengusapnya perlahan, seolah sedang menyentuh sesuatu yang berharga.Pria itu semakin mendekat. Napasnya yang hangat berembus di wajah Janice. Tanpa sadar, Janice menahan napas. Meskipun penglihatannya kabur, dia bisa merasakan betapa dekatnya sosok itu. Begitu dekat, hingga jika dia bergerak sedikit saja, bibir mereka akan bersentuhan.Namun, tepat saat itu, efek obat mulai bekerja sepenuhnya. Tubuhnya kehilangan tenaga, membuatnya langsung terjatuh kembali ke sofa.Tak lama kemudian, tubuh tegap itu menunduk dan memeluknya erat. Di telinganya, suara detak jantung pria itu terdengar jelas, ritmenya stabil dan menenangkan. Tanpa sadar, sesuatu yang lembut menyentuh dahinya."Tidurlah."Suara rendah dan dalam itu terdengar seperti mantra yang membawa Janice tenggelam dalam tidur nyenyak.Saat membuka mata lagi, yang pe
Naura menunjuk ke arah jas yang dikenakan Landon.Saat itu juga, Janice baru menyadari bahwa jas yang dipakai Landon terlihat sangat mirip dengan yang dikenakan Jason saat mengantarnya pulang waktu itu ketika Jason menyembunyikan wajahnya.Meskipun ada perbedaan kecil dalam detailnya, bagi orang awam, keduanya terlihat hampir sama. Ditambah lagi, bentuk tubuh Landon dan Jason hampir serupa, jadi tidak heran Naura salah mengenali."Kak Naura, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," Janice buru-buru menjelaskan.Namun, Naura tidak mau mendengar. Dia berdiri di depan Janice dengan sikap hendak melindungi Janice. "Janice! Kamu sudah janji sama aku bahwa kamu nggak akan kembali sama mantanmu!""Mantan?"Landon menatap Janice dengan ekspresi penuh arti, seulas senyuman samar muncul di sudut bibirnya. Janice yang baru saja mulai merasa baikan, tiba-tiba ingin pingsan lagi di tempat.Dengan penuh keyakinan, Naura melanjutkan, "Pak, percuma kamu datang sekarang! Waktu Janice benar-benar membutuh
Naura mengira Janice sudah lupa, jadi dia berbalik ke dapur dan mengambil sesuatu, lalu meletakkannya di depan Janice. Benda itu adalah sebuah jam tangan pria. Desainnya sederhana, tetapi harganya selangit.Janice langsung mengenalinya. Jam tangan itu milik Jason. Sebab ... dia sendiri memiliki versi wanitanya yang sama persis. Namun, tadi malam saat dia membereskan dapur, jam tangan ini tidak ada di sana.Kecuali ... orang yang menemaninya selama dia demam adalah Jason. Landon tidak pernah mengatakan bahwa dia yang memasak bubur untuk Janice. Itu hanya asumsi Janice semata.Mengingat semua yang terasa seperti mimpi, tangan Janice sedikit gemetar, hingga tanpa sengaja menumpahkan teh jahe dari cangkirnya.Naura segera mengambil tisu dan menyeka tumpahan itu. "Kenapa kamu?"Namun, Janice tidak menjawab. Dia menoleh ke luar jendela, lalu tiba-tiba meraih jam tangan itu dan bergegas keluar. Di dalam lift, dia menatap angka-angka yang turun satu per satu.Sambil bersandar pada dinding lift
Namun, hal itu tetap tak bisa menyembunyikan pesona khasnya.Tangan Jason menyusuri rambut Janice dengan gerakan lembut, membuatnya merasa diperlakukan dengan penuh hati-hati.Tanpa sadar, Janice bahkan tidak tahu kapan suara pengering rambut itu berhenti. Saat pikirannya kembali, dia baru sadar Jason membawanya keluar dari kamar utama.Dia tak mengerti apa yang sedang direncanakan pria itu, sampai dia melihat tiga hidangan rumahan di atas meja makan.Jason menarik kursi untuknya, menyajikan sepiring nasi hangat di depan Janice. "Masakanku biasa saja, makan seadanya."Janice tidak tahu harus berkata apa, akhirnya hanya mengangguk pelan. "Hm."Dia tahu Jason bisa masak sedikit, tetapi dia hanya pernah mencicipi mie dan sandwich buatannya yang gagal.Hidangan di depan mata ini memang tak seindah buatan koki Keluarga Karim, tetapi tetap terlihat menggugah selera.Janice mencicipi telur orak-arik tomat. Ternyata enak. Tanpa sadar, dia memuji, "Enak.""Masih ada di panci.""Masih ada?" Jani
Janice berjalan dalam keadaan linglung sepanjang perjalanan, hingga akhirnya dia masuk ke rumah yang hangat. Saat itu, dia mulai tersadar kembali. Melihat tangannya yang masih digenggam oleh Jason, dia segera menariknya seolah-olah tersengat listrik.Dengan wajah dingin, dia berkata, "Jason, kamu nggak perlu melakukan ini. Aku nggak akan setuju untuk mendonorkan hatiku!"Jason berhenti melangkah, menatapnya tanpa ekspresi, lalu perlahan mendekatinya. Janice mundur selangkah demi selangkah hingga punggungnya menempel pada dinding kaca yang dingin.Tubuh Jason basah kuyup, kemejanya menempel pada otot-ototnya yang tegang, memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan."Kalau aku butuh hatimu, sekarang kamu sudah di rumah sakit," kata Jason sambil mendekat.Janice segera mengangkat tangan untuk menahan. "Jangan seperti ini!"Yang terdengar hanya suara klik. Seluruh rumah menjadi terang benderang. Ternyata Jason hanya menyalakan lampu.Dengan tangan menempel pada dinding kaca, Jason berta
Jadi, begitu kenyataannya.Mata Janice yang indah membelalak karena kaget dan takut. Hujan yang tertiup angin membasahi bulu matanya yang panjang, lalu menetes masuk ke mata. Semu dan kabur.Anwar menatapnya dingin. "Janice, dunia ini nggak pernah peduli pada keinginanmu."Begitu kata-kata itu diucapkan, dia menutup jendela mobil. Sopirnya perlahan menginjak gas dan mobil pun melaju pergi.Janice terdiam, tak menyangka Anwar akan membiarkannya begitu saja. Namun, dia segera sadar, dirinya terlalu naif.Begitu mobil Anwar meninggalkan lokasi, lampu sebuah mobil di seberang jalan tiba-tiba menyala. Dari dalam, keluar tiga pria bertubuh tinggi dan kekar.Janice baru sadar, dia sudah diawasi sejak tadi. Alasan kenapa Anwar pergi dulu baru menyuruh orang bertindak karena dia tidak ingin dirinya terseret secara langsung.Janice langsung merasa dadanya sesak. Tanpa peduli pada hujan, dia langsung berlari secepat mungkin.Namun, tiga pria itu seperti sudah tahu ke mana dia akan lari. Mereka se
Begitu membahas tentang Ivy, Janice akhirnya berhenti melangkah.Anwar memang punya kemampuan untuk menyelamatkan Ivy, tetapi Janice tahu pria tua itu pasti datang dengan maksud tertentu.Janice menarik napas panjang, lalu perlahan berbalik. "Kalau ada yang mau dibicarakan, bicaralah langsung. Nggak usah mutar-mutar."Anwar menatapnya sejenak, lalu langsung berkata terus terang, "Aku butuh satu hal dari tubuhmu."Tubuh? Janice menunduk, menatap dirinya sendiri. Apa yang berharga darinya? Barang-barang yang dimilikinya bahkan tidak sebanding dengan mobil Anwar.Dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksud Anwar. Dengan bibir terkatup rapat, dia bertanya, "Hal apa?"Tatapan tajam Anwar menyapu tubuh Janice. "Setengah dari livermu."Janice terdiam, sempat berpikir dirinya sedang berhalusinasi. Liver? Bisa diminta begitu saja?Angin sore berembus dingin, membuat Janice menggigil dan langsung sadar. Dia mundur, menjauh dari mobil."Untuk apa kamu butuh liverku?""Untuk Rachel," jawab Anwar
Dia bahkan menirukan suara perempuan itu. "Kak Norman, maaf, aku salah kirim, jangan dilihat ya ...."Norman dan Arya langsung merinding."Kak Norman, ajarin dong, gimana caranya bikin cewek kirim uang dalam satu menit?" Usai berbicara, Zion meninju ringan dada Norman.Norman menahan napas. Apa Zion tidak tahu betapa keras pukulannya? "Dasar gila."Norman menerima uang itu, lalu langsung menghapus kontak si perempuan. Tindakannya sangat cepat dan tegas.Arya bengong. "Hah? Kamu langsung hapus? Kamu nggak rugi sama sekali lho! Sudah liat fotonya, dapat duit pula!""Mau direkomendasikan ke kamu?""Eh, jangan! Aku nggak sanggup. Mending kasih ke Zion saja, dua-duanya genit, pasti cocok." Arya menunjuk Zion.Zion menikmati teh sambil selonjoran. "Aku sukanya yang tinggi semampai kayak aku.""Gila." Norman menjelaskan, "Pak Jason sempat bilang bakal ada yang hubungin aku buat balikin uang. Sepertinya dia orangnya."Ketiganya sedang asik minum teh saat seorang pengawal tiba-tiba masuk dan me
Di rumah sakit, Arya keluar dari ruang UGD, melepaskan masker, lalu menatap Jason dan Landon dengan ekspresi yang sangat serius.Ketiganya masuk ke ruang kerja Arya. Mereka berbicara cukup lama sampai lebih dari satu jam."Untuk sementara, nyawanya nggak dalam bahaya. Tapi, ini gagal hati yang disebabkan oleh sistem imun sendiri. Pengobatan terbaik adalah transplantasi hati.""Meskipun kecocokan transplantasi hati nggak terlalu ketat, tetap saja mencari orang yang punya golongan darah sama dan bersedia menyumbangkan sebagian hatinya nggak mudah."Apalagi, Rachel memiliki golongan darah yang berbeda dengan keluarga sedarahnya. Kalau sama, tentu tak perlu serumit ini.Landon langsung berkata, "Berapa pun biayanya, aku siap bayar."Arya menghela napas tanpa daya. "Sebaiknya kamu coba tanya dulu ke kerabat lain. Mungkin bisa lebih cepat.""Ya."Selesai berbicara, seorang perawat masuk dan memberi tahu bahwa Rachel telah dipindahkan kembali ke ruang rawat.Landon berucap, "Ayahku sudah di b
Zachary tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menatap tajam ke arah Elaine dan balik bertanya, "Kenapa kamu bisa tahu sedetail itu tentang masalah Ivy?"Elaine menggigit bibir, diam tanpa sepatah kata pun."Sebaiknya kamu nggak terlibat dalam hal ini. Silakan pergi, aku nggak akan antar." Zachary berbalik dan berjalan pergi.Riasan sempurna Elaine mulai hancur. Dia menahan Zachary dengan enggan. "Maaf ... sudah cukup, 'kan?"Zachary hanya mencibir dingin, merasa tak ada gunanya berbicara lagi. Dia berjalan melewati Elaine dan pergi.Elaine yang selalu bermartabat tak pernah sekali pun merendah pada pria mana pun. Dengan marah, dia berteriak, "Kamu nggak akan bisa menyelamatkannya!"Zachary hendak membalas, tetapi tiba-tiba seekor kucing liar melompat keluar dan menerjang ke arah Janice.Janice terkejut dan refleks menghindar, membuat keberadaannya langsung ketahuan. Melihat itu, Zachary segera maju dan mengusir kucing itu."Janice, kamu nggak apa-apa?""Nggak." Janice menggeleng.Be
Janice tiba-tiba terdiam. Dia memandangi sekeliling dengan tatapan kosong, semuanya tampak asing dan tidak nyata. Kenapa semuanya bisa berubah menjadi palsu hanya dalam sekejap?Landon terdiam untuk waktu yang lama.Janice mengangkat wajah pucatnya, matanya berkaca-kaca. "Kamu mendekatiku untuk menyingkirkan penghalang demi adikmu? Atau kamu kasihan padaku? Atau kamu merasa bersalah dan ingin menebusnya? Besar juga pengorbananmu, Pak Landon."Tak heran Landon selalu menoleransinya."Bukan begitu! Aku nggak menyangkal ada rasa bersalah, tapi saat pertama kali kita bertemu, aku sama sekali nggak tahu siapa kamu. Keinginanku untuk tunangan dan menikahimu, semua itu tulus karena aku menyukaimu." Landon menjawab dengan sungguh-sungguh.Janice hanya tersenyum pahit. Pada titik ini, sudah tidak penting lagi mana yang benar dan bohong.Dia benar-benar sudah kehabisan tenaga. Meskipun Landon sudah mengakui semuanya, apa yang bisa diubah?Dia perlahan berbalik. "Sudah cukup.""Janice, aku nggak
Saat itu, Landon menggenggam erat tangan Janice. Dia seperti sedang menenangkan, tetapi juga seperti sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu."Janice, bukti dari gadis itu paling jauh hanya bisa membuktikan kalau ibu dan beberapa orang lain itu berinvestasi secara sukarela, bukan karena ibumu menipu. Tapi, di luar sana masih banyak orang yang merasa tertipu dan beberapa di antaranya bukan orang biasa.""Maksudmu apa?" Janice menatap Landon dengan curiga."Aku suruh Zion menyelidiki para korban. Mereka bilang Fenny sangat profesional saat bicara, nggak seperti orang awam. Itu artinya, dia bukan hanya mengerti dunia para orang kaya, tapi juga ada yang memberinya pelatihan. Jelas bukan ibumu, tapi orang-orang nggak percaya. Mereka mungkin nggak bakal tinggal diam.""Maksudmu, ada yang sengaja melatih Fenny untuk mendekati orang kaya? Setelah dia menyerahkan diri dan menuduh ibuku, para orang kaya yang malu akan bersatu menyerang ibuku? Dibandingkan orang biasa seperti Kristin,