Janice merasa agak canggung untuk mengatakannya secara langsung, jadi dia hanya meletakkan cangkir tehnya dan berkata, "Aku nggak minum lagi, aku pulang dulu."Namun, sebelum dia bisa bergerak, Jason juga meletakkan cangkirnya dan berdiri. "Ayo, aku antar pulang.""Nggak perlu, aku sudah jauh lebih baik." Saat berbicara, Janice secara refleks menarik sedikit celana yang dikenakannya. Begitu berdiri tadi, dia langsung merasakan sesuatu mengalir.Menstruasinya datang ....Jason menatapnya sekilas. "Aku akan panggil perawat untuk bawakan kursi roda dan mengantarmu ke toilet.""Mm."Janice diam-diam merasa lega karena Jason tampak tidak mencurigai apa pun. Setelah duduk di kursi roda, dia menolak ditemani oleh perawat karena dia tahu mereka pasti sibuk.Janice pun meminjam pembalut dari seorang perawat lain dan pergi ke toilet sendiri. Untuk mencegah dirinya jatuh, dia memilih masuk ke bilik khusus penyandang disabilitas.Namun, sebelum dia sempat masuk, Janice menyadari ada seseorang di d
Janice belum sempat menghentikannya, Jason sudah mengambil benda di atas sofa. Sebuah syal yang hampir selesai dirajut. Di sekitarnya, ada berbagai gulungan benang berwarna-warni.Beberapa di antaranya sudah dirajut beberapa baris, tetapi karena warnanya tidak sesuai harapan, akhirnya dibiarkan begitu saja. Semuanya menjadi setengah jadi. Pada akhirnya, Janice bimbang antara warna merah tua dan hitam.Jason sudah memiliki banyak barang berwarna hitam, jadi dia lebih condong memilih merah tua.Namun, khawatir bahwa Jason lebih suka warna hitam, dia akhirnya merajut satu lagi dengan warna hitam. Sekarang, jika melihat sofa yang penuh dengan syal setengah jadi ini, rasanya seolah dia benar-benar sangat serius mempersiapkannya."Semua ini untukku?"Nada bicara Jason tetap dingin seperti biasa, seakan hanya sekadar bertanya. Janice langsung merasa bahwa dirinya terlalu percaya diri.Dengan canggung, dia mencoba menutupi barang-barang di sofa. "Nggak, aku cuma sudah lama nggak merajut. Karen
Anggap saja ini balas budi. Balas budi.Jason tertawa mendengus seketika.....Di Kediaman Keluarga Karim.Seorang kepala pelayan mengetuk pintu dan masuk.Di dalam ruangan, Anwar sedang berlatih Taichi. Gerakannya lambat tetapi penuh tenaga. Melihat pelayan yang berdiri dengan hormat di samping, dia menyapu pandangan sekilas sebelum menghentikan gerakannya.Setelah menerima handuk dari seorang pelayan wanita, dia melambaikan tangannya untuk mengisyaratkan agar semua orang mundur. Begitu ruangan itu hanya tersisa mereka berdua, dia duduk perlahan sambil menyeka keringat."Gimana perkembangan soal Ferdy? Setelah dia pulang nanti, aku harus ceramahi dia. Sebagai anak sulung, dia malah menimbulkan keributan demi wanita seperti itu."Pelayan itu menyerahkan secangkir teh dengan ekspresi serius. "Orang yang kita utus untuk menyingkirkan ibu dan anak itu melaporkan bahwa ...."Anwar mengerutkan alis. "Apa yang mereka laporkan?""Warung makan Tuan Ferdy terbakar beberapa hari lalu. Meskipun n
Angin musim dingin berembus di sepanjang jalan kota, udara dingin menusuk tulang. Di bulan Januari, Kota Pakisa sudah mulai membeku. Meskipun kota ini masih penuh dengan kemegahan, tetap ada sedikit aura kesunyian yang menyelimuti.Janice turun dari taksi dengan membawa sebuah kantong, lalu buru-buru menarik kerah tinggi sweternya untuk menutupi setengah wajahnya.Saat berbalik, dia mendapati gerbang megah rumah keluarga Karim yang biasanya tampak simpel, kini justru dihiasi dengan lampu dan dekorasi meriah. Ini bukan tahun baru, ada acara apa yang begitu megah?Setelah menyapa satpam, Janice melangkah masuk dengan cepat. Di bawah serambi, Ivy sedang mengatur para pelayan untuk bekerja."Ibu.""Janice, kamu datang. Apa itu? Bungkusannya cantik sekali."Sambil berbicara, Ivy menjulurkan tangan untuk membuka kantongnya.Janice segera menyembunyikannya di belakang. "Bukan apa-apa, aku beli saat lewat. Hari ini ada acara apa? Kenapa begitu meriah?"Ivy memastikan para pelayan telah menyapu
"Oh, jadi kalian sudah saling kenal." Anwar berdiri dengan tangan di belakang, ekspresinya sedikit rumit."Janice, dia ini penyelamat nyawa Jason. Dia baru saja kembali dari luar negeri. Dia juga adik kelas Jason di universitas. Dia berasal dari keluarga terpandang. Kalian harus bergaul dengan baik ke depannya."Penyelamat nyawa, keluarga terpandang. Itu adalah kata-kata yang ingin Anwar sampaikan kepada Janice.Janice tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia sedikit mendongak dan melihat ekspresi lembut serta penuh kasih yang Rachel tujukan kepada Jason.Bagaimana mungkin wanita yang rela mengorbankan nyawanya untuk seorang pria tidak memiliki perasaan padanya?Tenggorokan Janice terasa pahit, tetapi wajahnya tetap dihiasi senyuman. "Oh, rupanya begitu."Begitu ucapan itu dilontarkan, tatapan dingin Jason tertuju padanya. Janice tidak mendongak, hanya berdiri diam di tempat.Tidak lama kemudian, para kerabat Keluarga Karim pun berdatangan. Anwar melambaikan tangan. "Jangan berdiri saja,
Janice mencuci tangannya, menggulung lengan baju, dan bersiap membantu Ivy bekerja. Namun, Zachary tiba-tiba melepas jasnya dan masuk ke dapur."Sudahlah, kalian berdua pergi makan saja, biar aku yang mengawasi di sini.""Terima kasih, Sayang." Ivy tersenyum manis."Terima kasih, Paman."Janice mengambil dua mangkuk sup dan langsung duduk di meja kecil untuk meminumnya. Sup yang direbus dengan herbal langka memang rasanya berbeda.Setelah bermesraan sejenak, Ivy dan Zachary akhirnya duduk. Begitu duduk, Ivy langsung merebut sup dari tangan Janice dan meminumnya sampai habis."Aku haus sekali. Aku sudah mencari tahu semuanya untukmu.""Mencari tahu? Ibu, aku menyuruhmu mencari tahu tentang apa?" Janice terkejut."Rachel."Mungkin karena penasaran, Janice tidak menyela Ivy.Ivy berbisik, "Rachel adalah putri sulung Keluarga Luthan, keluarga terpandang di Kota Heco. Dia dan Jason satu universitas di luar negeri. Saat Jason mengalami kecelakaan di luar negeri, dia yang menariknya keluar se
Rachel menatap Jason dan segera menggeleng. "Aku bukan menyelamatkan Jason demi balasan. Siapa pun yang ada di dalam mobil itu, aku tetap akan menolongnya."Dia tidak mengatakannya untuk mendapatkan pujian, itu memang yang dia yakini.Anwar menatapnya dengan puas sambil mengangguk. "Rachel, Jason beruntung sekali karena bisa mengenalmu.""Paman, kalau kamu bicara seperti itu, aku jadi nggak tahu harus menjawab apa." Rachel sedikit malu, jadi secara naluriah bergerak lebih dekat ke sisi Jason.Niatnya terlihat jelas oleh semua orang, tetapi semua orang menerimanya dengan senang hati. Meskipun dia kehilangan satu kakinya, itu terjadi karena dia menyelamatkan Jason.Jika Rachel bergabung dengan keluarga ini, sekalipun hanya sebagai simbol, itu bisa meningkatkan reputasi Keluarga Karim. Belum lagi latar belakang keluarganya yang terpandang, menjadikan pernikahan ini sebagai aliansi yang sempurna.Rachel menoleh menatap wajah Jason yang dingin dari samping. Tatapannya dipenuhi harapan, berh
Wajah Jason menjadi sangat masam. Matanya menyipit, memancarkan hawa dingin. "Janice."Janice menatap langsung ke matanya. "Kamu benaran nggak tahu apa yang dilakukan ayahmu hari ini? Melihatku dan Ibu berusaha keras, tapi nggak dihargai, rasanya menyenangkan ya? Aku nggak ingin bermain permainan ini dengan kalian lagi. Malam itu sudah lama berlalu, Paman."Di antara mereka, hanya sapaan paman yang bisa menjadi batas. Tatapan Jason penuh dengan kilatan dingin. Tanpa berkata apa-apa, dia berbalik menuju tempat sampah.Janice menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk, tak tahu apakah dia berharap Jason mengambil kembali syal itu, atau justru membiarkannya pergi begitu saja.Namun, setiap langkah Jason mendekati tempat sampah, hati Janice semakin tegang. Tepat ketika Jason hendak menghentikan pelayan, terdengar jeritan dari jalan kecil di taman.Secara refleks, semua orang menoleh. Rachel yang memakai kaki prostetik, tampaknya tersandung batu dan jatuh.Janice secara naluriah menole
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan