Di dalam ruang VIP.Kekaguman Jacky terhadap Janice sudah sangat jelas, dia hampir memperkenalkan Janice kepada semua orang yang ditemuinya. Janice pun menjadi pusat perhatian sepanjang acara.Namun, di tengah acara, ponsel Janice tiba-tiba berdering. Dia melirik layar dan terkejut melihat itu adalah panggilan dari Norman.Setelah ragu beberapa detik, Janice memutuskan untuk keluar dari ruang VIP dengan alasan pergi ke kamar kecil."Norman, ada apa?" tanyanya saat menerima panggilan."Bu Janice, cepat pergi ke kamar Pak Jason, dia ...."Tiba-tiba, suara Norman terputus. Ada bunyi benda bergulir dari tempat tinggi, disusul dengan suara gangguan statis. Janice terdiam sesaat sebelum langsung berlari ke arah lift.Menyadari bahwa sepatu hak tinggi menghalangi gerakannya, dia segera melepasnya dan berlari tanpa alas kaki menuju lift. Namun, siapa sangka ada seseorang yang tidak memadamkan rokoknya dan membuangnya di dalam lift."Ah!"Janice melompat karena rasa panas di telapak kakinya. Pa
Selain panggilan dari Norman, sisanya berasal dari Jason. Janice menghapus semuanya tanpa ragu.Dalam lebih dari dua minggu berikutnya, berkat rekomendasi dari Jacky, Janice mendapatkan kesempatan untuk menghadiri peluncuran produk baru Amanda, sehingga jadwalnya sangat padat.Selama itu, Ivy dua kali mengajaknya ke rumah Keluarga Karim, tetapi Janice menolak keduanya.Adapun Vania, sejak kembali dari Kota Gunang, dia tampak lebih berseri-seri dan tidak lagi mencari masalah dengan Janice. Janice akhirnya bisa menikmati ketenangan.Pagi hari setelah melewati malam tanpa tidur, Janice sedang memandangi lingkaran hitam di bawah matanya ketika dia menerima telepon dari Ivy."Malam ini datang ke rumah Keluarga Karim untuk makan malam.""Nggak mau, aku sibuk," jawab Janice tegas."Ini undangan dari Pak Anwar," tambah Ivy."Baiklah."Setelah menutup telepon, Janice kembali ke tempat tidur, tetapi dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.Sore harinya, dia membawa sekeranjang buah dan menuju ke rum
Mendengar kabar bahwa Vania hamil, tangan Janice gemetaran dan mangkuk sup di tangannya terjatuh ke meja. Sup panas tumpah ke tubuhnya hingga membasahi pakaiannya.Semua orang langsung menoleh ke arahnya. Tatapan mereka penuh dengan keheranan dan sedikit penghinaan. Bagaimanapun, pertemuan sebesar ini terakhir kalinya adalah untuk menghukum Janice atas insiden yang melibatkan tuduhan bahwa dia menjebak Jason.Janice buru-buru berdiri, lalu mengambil tisu untuk membersihkan dirinya. "Maaf," katanya singkat.Anwar hanya meliriknya dengan ekspresi tidak senang. "Penampilanmu sudah begini, mau gimana lagi menemui orang?" Nada bicaranya jelas menyuruh Janice pergi.Tangan Janice yang sedang menyeka tubuhnya terhenti sesaat, dan dia akhirnya mengerti alasan Anwar bersikeras mengundangnya ke acara ini. Alasan untuk "membuang sial" itu tidak lain adalah dirinya.Janice menundukkan kepala dan mengangguk. "Baik. Silakan lanjutkan makan." Dia mengambil tasnya dan meninggalkan ruang makan. Tatapan
Vania menyelipkan cek ke tangan Janice dengan santai, wajahnya penuh dengan senyum mengejek. Janice hanya merasa terkejut dan tak habis pikir. Apakah ini artinya dia sedang membantu suaminya mencari simpanan?Janice tersenyum tipis sambil mengangkat cek itu di depan Vania. "Bu Vania begitu murah hati, benar-benar pantas menyandang gelar nyonya. Tapi untuk urusan ini, sebaiknya kita tanya pendapat Pak Anwar dulu.""Yuk, kita pergi sama-sama. Aku yakin beliau dan para senior lainnya pasti akan sangat terharu dengan kemurahan hatimu."Mendengar bahwa Janice ingin membawa masalah ini kepada Anwar, senyum angkuh Vania langsung membeku. Dia tidak bisa melangkah maju setengah langkah pun."Jadi kamu juga takut, ya," ujar Janice sambil tersenyum, lalu melemparkan cek itu ke wajah Vania."Vania, berhenti berpura-pura anggun di sini. Daripada menghabiskan waktu untuk menghinaku, lebih baik kamu pastikan suamimu nggak pergi ke mana-mana. Kenapa? Bahkan dengan anak pun kamu nggak bisa menahannya?
"Bu Vania, adikku punya pacar dan katanya dia cuma mau menikah kalau punya mobil bagus. Jadi, bagaimana ...."Malia bahkan tidak repot-repot berbasa-basi kali ini. Dia langsung meminta uang secara terang-terangan.Vania marah besar. Keluarga Vania bukan lagi keluarga terhormat seperti dulu.Setelah Jason menarik dananya, perusahaan keluarga mereka semakin merosot. Di tengah keterpurukan itu, dia sempat membujuk ayahnya untuk berinvestasi di perusahaan milik Amanda, tetapi hasilnya malah membuat mereka kehilangan segalanya.Selama di Kota Gunang, Kengo dan Kenta yang melihat perhatian Jason terhadapnya memberikan banyak keuntungan untuk mencoba membujuknya. Vania langsung mengirimkan semua uang itu ke rumah untuk menambal kekurangan.Vania mengira segalanya akan berjalan lancar, tetapi Kengo dan Kenta akhirnya ditangkap. Sekarang Jason ingin melakukan audit keuangan, dan dia harus mengembalikan uang itu tanpa ada kekurangan sedikit pun.Kini keluarga Vania hanyalah bayangan dari kejayaa
Amanda menggenggam ponselnya erat-erat, tangannya perlahan menyentuh perutnya. "Aku juga pernah punya anak di sini," katanya dengan suara lirih. Ucapan itu membuat dada Janice terasa nyeri. Wajar saja Amanda begitu hancur."Ayo, Janice, aku nggak mabuk. Temani aku minum dua gelas," pinta Amanda."Oke," jawab Janice. Dia tahu Amanda butuh pelampiasan. Jujur saja, dia sendiri juga sedang butuh itu.....Di jalan raya yang lebar, sebuah mobil hitam melaju perlahan.Jendela mobil terbuka sebagian, kepulan asap rokok melayang keluar dan menyelimuti pandangan gelap Jason yang penuh pikiran.Tiba-tiba, Norman menghentikan mobilnya, menunjuk ke arah jalan. "Pak Jason, itu Bu Janice. Pria di sebelahnya siapa?"Jason mengangkat pandangan, melihat Janice tertawa kecil sambil berjalan masuk ke bar bawah tanah, ditemani seorang pria yang membantunya membawa barang. Rokok di tangannya patah dengan suara pelan. Ujungnya yang menyala jatuh ke punggung tangannya, tetapi dia tidak bereaksi terhadap rasa
Jason menoleh ke samping akibat tamparan itu, tetapi cengkeraman tangannya pada pergelangan Janice tetap tidak terlepas. Janice yang merasa malu dan marah, mencoba melepaskan diri dengan menggoyangkan tangannya dua kali, tetapi gagal.Wajahnya yang pucat kini tampak memerah akibat efek alkohol dan memberikan rona aneh yang tidak wajar. Dia berusaha mengatur napas dan mencoba terlihat tenang. Namun, matanya yang memerah dan bahunya yang gemetar tak henti-henti mengkhianati perasaannya yang sebenarnya.Dia mengepalkan tangannya dengan erat, menahan semua emosi yang meluap. "Kalian semua memandang rendah aku! Tapi tetap saja, kalian terus menggunakan kekuasaan dan status kalian untuk memojokkanku! Sampai kapan kalian akan terus menyiksaku?""Aku akan menyelesaikannya." Suara Jason tetap dingin dan penuh wibawa seperti biasa."Menyelesaikannya? Apa penyelesaianmu itu memaksaku untuk mundur? Membuatku jadi batu loncatan untuk tunanganmu? Membiarkanku dihina oleh Keluarga Karim? Apa yang per
Saat itu, langkah kaki terdengar di luar pintu sehingga membuat Janice segera kembali sadar. Dia buru-buru berbaring di tempat tidur dan memejamkan matanya.Tidak lama kemudian, dia merasakan tatapan intens yang tertuju padanya.Jason berdiri di dekatnya, memperhatikannya dalam diam untuk waktu yang lama. Saat handuk hangat menyentuh pipinya, barulah Janice menyadari bahwa Jason sedang membersihkan wajahnya.Setelah selesai, Jason mengambil tangannya yang masih terlihat memerah. Ketika dia mengelapnya dengan handuk, ujung jarinya sedikit gemetar karena rasa sakit. Jason menatap telapak tangan Janice yang kemerahan. Perasaan kesal dan geli bercampur dalam pikirannya.Dia mengangkat pandangan ke arah Janice yang berpura-pura tidur dan berkata dengan suara rendah, "Yang ditampar nggak ngeluh sakit, malah kamu yang merasa sakit?"Janice yang merasa pikirannya berhasil ditebak oleh Jason, menarik tangannya dengan cepat dan membalikkan tubuhnya sambil tetap memejamkan mata.Jason menggantung
Di rumah merah, interior rumah itu sangat indah, tetapi entah mengapa ada aura menyeramkan di setiap sudutnya. Yoshua yang terbiasa dilayani orang lain, hanya menyisakan dua pelayan untuk merawat Tracy.Janice dibawa ke sebuah kamar di lantai atas. Begitu pintu terbuka, ruangan itu gelap gulita. Dia bahkan belum sempat menyesuaikan diri saat tiba-tiba didorong hingga terjatuh ke lantai.Janice menopang tubuhnya dan berusaha menyerbu ke luar, tetapi pintu sudah terkunci rapat. Seketika, ketakutan akan kegelapan menjalar di hati. Dia meraba dinding untuk mencari saklar dan menyalakan lampu.Saat melihat jelas isi ruangan, wajahnya langsung pucat pasi. Pikirannya belum sepenuhnya menangkap apa yang terjadi, tetapi tubuhnya sudah bereaksi dengan sangat cepat."Huek!" Janice bergegas masuk ke kamar mandi dan muntah dengan hebat. Setelah tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan, kedua tangannya diletakkan di wastafel untuk menopang tubuhnya.Saat menatap ke cermin, dia melihat wajahnya perlahan-
Jason mengeluarkan ponsel, memutar rekaman panggilan telepon yang dilakukan oleh Vania kepada kekasihnya di luar negeri."Sayang, aku akan terbang saat natal. Kamu harus datang menjemputku. Aku benar-benar muak dengan Azka si bodoh ini!"Vania tertegun seperti patung. Bibirnya bergetar karena ketakutan, "Azka, bukan seperti itu. Aku cuma ...."Azka tersenyum tipis dan langsung memeluknya. "Nggak apa-apa, aku percaya padamu."Tepat saat Vania merasa lega, Arya muncul. "Azka! Kamu gila ya? Kamu jelas-jelas dimanfaatkan olehnya! Dia sama sekali nggak mencintaimu! Dia mendekatimu cuma karena kamu adikku! Tujuannya untuk mengetahui keberadaan dan situasi Jason melalui dirimu!""Aku tahu." Azka tertawa terbahak-bahak. "Aku tahu segalanya."Kali ini, bukan hanya Arya yang tertegun, tetapi Vania juga.Azka menunjuk ke arah Arya dan tertawa sinis. "Sejak kecil, kamu selalu menjadi teladan di mata orang lain. Kamu nggak pernah berbuat salah, sedangkan aku selalu salah dalam segala hal yang kulak
Ruangan di bangsal menjadi sunyi.Jason menatap angka-angka di layar dengan tatapan dingin. "Apa maksud angka 1, 2, dan 3?""1 berarti rumah, 2 berarti tempat kerjaku, dan 3 berarti luar kota," jawab Ivy segera tanpa berani menunda.Ibu dan anak itu hidup saling bergantung, sehingga harus berhati-hati. Saat masih muda, Ivy pernah diikuti oleh seorang pria. Kemudian, putrinya yang cantik, Janice, juga pernah menjadi target orang jahat.Itu sebabnya, mereka berdua menciptakan kode ini. Jika terjadi masalah dan tidak bisa menelepon, mereka akan mengirim pesan.Saat itu, Janice masih kecil. Hidup mereka berpusat di rumah dan tempat kerja, jadi tidak ada banyak angka dalam kode itu.Zachary berasumsi, "Apa mungkin Janice dibawa ke luar kota?"Ivy mengernyit, "Kalaupun ke kota lain, seharusnya itu angka 4. Dia pasti tahu aku bisa mengerti dan nggak mungkin salah mengirim angka. Kenapa malah kirim angka 5?""Ke luar negeri," ucap Jason sebelum berbalik meninggalkan ruangan.Norman dan Arya se
Janice langsung mengirimkan serangkaian angka kepada Jason melalui pesan, lalu menggeser ke kiri untuk menghapus ruang obrolan.Melihat Tracy hampir pingsan, Janice akhirnya melepaskan tangannya. Sebenarnya, dia benar-benar ingin mencekik Tracy sampai mati.Namun di kehidupan ini, hidupnya baru saja dimulai dan dia pernah berjanji pada Vega bahwa dia akan menjadi diri yang berbeda. Dia tidak akan membiarkan orang seperti Tracy menghancurkan hidupnya.Setelah lolos dari cekikan, Tracy seperti orang gila yang berteriak keras, "Tolong! Tolong aku!"Saat berikutnya, pintu dibuka. Yoshua yang baru selesai membalut lukanya, segera masuk dengan pengawal.Yoshua sontak menarik Janice menjauh. "Janice, tenanglah! Kalau bukan karena Jason, kami nggak akan jatuh sampai seperti ini. Semua ini gara-gara dia!"Mendengar itu, Janice langsung terdiam. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat. Mata merahnya menatap Yoshua. "Kamu juga tahu? Kamu juga terlibat?"Yoshua baru sadar bahwa dirinya salah bicar
Ketika Janice terbangun lagi, ada seseorang berdiri di samping tempat tidurnya, menatapnya dengan tatapan suram.Begitu melihat wajah orang itu dengan jelas, Janice terkejut dan langsung bangkit. Dia menatap orang itu dengan waspada, Tracy.Penampilan Tracy kini sangat berbeda dari wanita anggun dan bermartabat yang ada di dalam ingatannya. Kemungkinan besar, jatuhnya Keluarga Hariwan memberi pukulan besar baginya. Rambutnya kini sudah beruban, lingkaran hitam tampak jelas di bawah matanya.Dulu Tracy hanya terlihat sedikit lemah, tetapi sekarang ada aura kematian yang mengelilinginya.Janice turun dari tempat tidur dan mundur selangkah. "Bu Tracy, apa yang ingin kamu lakukan?"Tracy tidak berkata apa-apa, hanya merapikan rambut di dahi sebelum duduk di kursi di seberang dengan perlahan. Gerak-geriknya tetap memancarkan sikap elegan seorang wanita kaya.Setelah duduk dengan tenang, dia mengangkat kelopak matanya untuk menatap Janice dengan tatapan menghina. "Padahal, kamu dan Jason aka
"Aku tahu kamu sulit percaya sekarang. Nggak apa-apa, kita masih punya banyak waktu nanti. Janice, jangan benci aku. Aku juga nggak ingin menjadi seperti ini, tapi aku nggak punya pilihan."Janice mengerutkan alis, menyadari ada makna tersembunyi di balik kata-katanya. "Siapa yang memberimu pilihan?"Yoshua tidak menjawab, malah bangkit mendekatinya dan mengganti steik di depan dengan steik yang sudah dia potong."Makanlah, jangan keras kepala lagi. Paman Jason mungkin membiarkanmu bersikap keras kepala, tapi aku nggak. Apa yang kuinginkan, harus kudapatkan. Dan yang nggak bisa kudapatkan … akan kuhancurkan. Nggak akan kubiarkan jadi milik orang lain, terutama Paman Jason."Yoshua mengucapkannya dengan senyuman di wajah, tetapi nadanya begitu dingin tanpa perasaan. Ketika dia bilang dia menyukai Janice, itu benar, tetapi kebenciannya pada Jason juga benar adanya.Janice melirik tangan yang menekan bahunya. "Gimana aku bisa makan kalau begini? Aku sudah ada di sini, apa mungkin aku bisa
Janice memalingkan wajahnya dengan paksa, menghindari tangan Yoshua.Tangan Yoshua terhenti di udara. Dia perlahan menurunkannya sambil tersenyum tipis. "Masih marah?"Nada suaranya seperti sedang menenangkan kekasih yang kesal.Namun, Janice merasa tubuhnya dibasahi keringat dingin. Dia meronta-ronta sambil bertanya, "Sebenarnya apa yang kamu inginkan?"Yoshua menatapnya beberapa detik. Dengan mengabaikan kemarahannya, dia bertanya dengan lembut, "Lapar, 'kan? Duduk dulu dan makan sesuatu."Yoshua duduk dengan tenang, lalu memberi isyarat kepada pramugari untuk melayani.Janice enggan duduk, tetapi pengawal di belakang menekan bahunya dengan kuat, membuatnya tidak punya pilihan selain duduk.Pramugari menuangkan sampanye untuk mereka, menyajikan steik yang baru saja dimasak.Yoshua mengangkat gelas ke arah Janice untuk bersulang. Namun, Janice mengepalkan tangannya dan tidak ingin bersulang."Janice, situasi sudah seperti ini. Melawanku nggak akan membawa keuntungan apa pun bagimu." M
Arya termangu. "Kenapa dibuang di sini? Kenapa nggak langsung memanggilku saja?""Ada yang mengawasinya."Dalam perjalanan, Jason sudah meninjau semua rekaman CCTV. Dalam rekaman itu, Janice terlihat menoleh ke kiri dan kanan, jelas menunjukkan bahwa dia sedang diawasi.Jason membuka kertas yang diremas. Ada dua lembar kertas di dalamnya, sama seperti yang tadi dilihat Arya.Arya seketika menyadari sesuatu. "Tadi dia terus menatap kertas itu dan tanya apa aku dijodohkan dengan wanita bernama Naura. Siapa itu?""Aku tahu siapa." Jason berdiri dan menoleh ke arah Norman. "Hubungi tetangga Janice."Norman mengangguk dan segera menelepon.Jason menggoyangkan kertas di tangannya di hadapan Arya. "Gimana menurutmu?"Wajah Arya langsung berubah serius, lalu berkata dengan nada kesal, "Itu Azka. Dia tahu ibuku sedang menjodohkanku. Dia meniru tulisan tanganku dan pura-pura menjadi aku untuk bertemu dengan wanita bernama Naura, yang juga merupakan tetangga Janice. Tapi, aku nggak mengerti, kena
Janice menunduk dan mengambil kertas yang jatuh di lantai itu. Tiba-tiba, dia termangu di tempat.Arya yang melihatnya pun bingung. "Kenapa tiba-tiba bengong?"Janice membuka kedua kertas yang ada di tangannya dan berkata, "Lihat ini."Arya awalnya tidak peduli, hanya melirik sekilas. Namun, saat berikutnya dia terdiam. "Nomor siapa ini? Kenapa tulisannya mirip dengan tulisanku?"Angka 9, 6, dan 1 di kertas itu memiliki ekor, seperti tanda tangan khas milik seseorang. Tidak heran Janice merasa familier melihat kertas yang diberikan oleh Naura kepadanya. Ternyata, dia pernah melihatnya di rekam medis Arya.Tiba-tiba, Janice teringat pada ucapan Naura yang mengatakan pria yang diperkenalkan kepadanya adalah seorang dokter.Janice sontak mendongak dan menatap Arya. "Kamu dijodohin ya? Nama wanitanya Naura, 'kan?"Arya terkejut sejenak. "Kok kamu tahu? Tapi, aku belum sempat bertemu wanita itu. Aku ...."Mereka saling memandang dan langsung memahami sesuatu.Arya berkata dengan agak marah,