Melihat wajah Janice yang pucat, Amanda berusaha menenangkannya, "Istirahatlah lebih awal. Jangan terlalu mikirin apa yang terjadi hari ini."Namun, setelah kembali ke kamarnya, Janice tidak bisa tidur. Marco mengatakan bahwa dia telah "dijual".Siapa yang menjualnya?Lalu, ada Vania yang tampaknya tahu sesuatu ketika dia muncul. Namun, Vania terus bersama Jason sepanjang waktu. Yang paling membingungkan adalah potongan-potongan kenangan aneh yang muncul di pikirannya.Janice mencoba mengingat, tetapi dalam dua kehidupan yang diingatnya, tidak pernah ada memori seperti itu. Semakin dipikirkan, semakin rumit rasanya. Pada akhirnya, dia bahkan merasa lapar.Janice bangkit untuk mengambil menu di samping telepon dan membukanya. Semua harga makanan di hotel itu berjumlah puluhan juta ke atas.Meskipun Zachary telah memberinya kartu, Janice tahu dia harus mulai mengatur keuangannya untuk masa depan.Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk keluar. Dia pernah membaca bahwa jajanan mala
Janice langsung menjawab, "Borgol itu harus sepasang."Baru saja kata-katanya selesai, pemilik stan langsung paham maksudnya. Dia mengambil satu gelang capybara lagi dan memasangkannya di pergelangan tangan Jason."Lihat! Sepasang! Kalau kalian bergandengan tangan, itu jadi seperti borgol."Saat itulah Janice menyadari bahwa sejak selesai menembak tadi, Jason terus menggenggam tangannya. Dia mencoba menarik tangannya beberapa kali, tetapi cengkeraman Jason tetap tak tergoyahkan. Dengan nada kesal, dia berkata, "Kamu sengaja, ya?"Jason tidak membalas, hanya menggenggam tangannya erat dan berjalan pergi sambil berkata, "Benda ini jelek sekali."Jelek, tapi kamu tetap membujuk pemilik stan untuk memakaikannya. Gelang murah seharga belasan ribu itu kini terlihat aneh berdampingan dengan jam tangan Jason yang harganya setara sebuah mobil mewah.Janice menoleh ke belakang, mendapati bahwa pria-pria yang tadi mengikutinya sudah menghilang. Dia menatap Jason dengan penuh curiga. "Mereka itu s
Janice terpaku sejenak. Saat dia mencoba menutup pintu lagi, Jason sudah melangkah masuk ke kamar. Bunyi pintu tertutup membangunkannya dari keterkejutan. Dia segera berdiri di hadapan Jason dan mencoba menghalangi langkahnya."Aku cuma pesan kamar dengan tempat tidur biasa. Nggak ada tempat untukmu tidur," katanya dengan nada tegas."Bukan pertama kalinya kita tidur bersama," balas Jason dengan nada santai, sambil memindahkan tangan Janice dari jalannya dan berjalan ke dalam kamar.Wajah Janice langsung memanas. Tiba-tiba dia teringat pakaian yang masih berserakan di atas tempat tidur. Dia segera berlari ke tempat tidur dan dengan panik menutupi semuanya dengan selimut.Sambil menekan selimut dengan tangannya, dia menunjuk ke sekitar kamar. "Paman, kamu lihat sendiri, ini kamar standar, sederhana sekali. Sebaiknya kamu kembali saja. Bukankah ada kehangatan yang menunggumu?""Kehangatan?" Jason menyandarkan tubuhnya ke lemari TV, memasukkan kedua tangannya ke saku, dan menatap Janice d
Air hangat mengalir di bahu lebar Jason dan menciptakan percikan yang menutupi tubuhnya dengan kabut tipis. Rambutnya yang basah meneteskan air, bulu matanya masih ada butiran air seperti kristal kecil, sementara matanya yang setengah menyipit semakin gelap dan penuh ancaman.Otot perutnya yang terbentuk jelas seperti ukiran. Bahkan aliran air yang menuruni tubuhnya tampak berliku sebelum menghilang di bawah ... handuk yang hampir tidak menutupi tubuhnya.Janice refleks mundur, tetapi tidak ada jalan lagi untuk melarikan diri.Sebuah tangan yang dingin menyentuh air, lalu menahan tubuh Jason di depan dada.Telapak tangannya terasa seperti terbakar. Saat Janice ingin menarik tangannya, Jason malah menggenggamnya lebih erat."Kenapa dingin sekali?" tanyanya."AC di luar sepertinya rusak," jawab Janice dengan tenang.Kamar itu sebelumnya diatur oleh Vania. Ketika Janice masuk di siang hari, dia sudah merasa ada yang tidak beres.Kamar itu berada di sisi gelap bangunan, dan AC-nya tidak st
Jason menatap Janice dengan tatapan dalam, seperti binatang buas yang siap untuk menerkam. Janice menahan napas, kulit putihnya tampak merah karena baru saja mandi air panas. Matanya yang basah tampak begitu memikat.Jason perlahan-lahan mendekat. Dia tidak lagi terlihat angkuh, malah menjadi agak berwaspada. Janice hanya menatapnya. Pikirannya kosong, membuatnya lupa untuk melawan.Namun, saat Jason hampir mendekat, Janice merasa agak tidak nyaman di hidungnya. Seketika, akal sehatnya kembali. Dia langsung mendorong, lalu berbalik dan bersin. "Achoo!"Setelah bersin, Janice mengambil tisu dari nakas untuk mengelap. Setelah membuang tisu itu, dia merasa tubuhnya agak hangat. Saat melihat ke bawah, ternyata selimut telah menutupi tubuhnya.Jason berbaring terlentang dengan mata terpejam. Suara seraknya terdengar dalam. "Tidurlah."Janice mengusap hidungnya, lalu meringkuk di sudut ranjang dengan hati-hati. Dia memutuskan untuk tidur. Setelah hari yang melelahkan ini, dia benar-benar keh
"Janice, pasar malam ada di dekat hotel. Aku sarankan kamu coba makanan lokal yang enak," lanjut Vania.Mendengar itu, Janice benar-benar kehilangan selera makan. Jadi, semalam Jason keluar tengah malam hanya untuk mencari jajanan untuk Vania? Tidur di kamarnya juga agar Vania tidak tertular flu?Janice merasa itu sangat konyol, tetapi semua ini memang hal yang akan Jason lakukan untuk Vania di kehidupan sebelumnya.Janice meletakkan setengah potong roti bakar, lalu meminum setengah gelas susu. "Bu, aku sudah kenyang. Aku akan kembali ke kamar untuk bersiap-siap.""Mm. Aku juga akan balik, sebentar lagi penata rias akan datang." Amanda juga tidak ingin mendengar omongan Vania yang tidak berguna.Keduanya berdiri dan pergi, sementara Vania memegang cangkir kopi dan tersenyum tipis.Saat Janice menuju pintu restoran, kebetulan Jason masuk dengan diikuti oleh dua pria paruh baya. Mereka saling bertemu pandang. Janice langsung membalikkan badan dan pergi tanpa menatapnya.Di belakangnya, t
Sepanjang perjalanan, Janice bisa merasakan dengan jelas bahwa dua pasang mata yang biasanya mengawasinya kini telah menghilang. Dia merasa jauh lebih rileks.Pameran perhiasan diadakan di sebuah museum budaya di pinggiran kota. Museum ini memiliki sejarah lebih dari 100 tahun. Bangunannya terawat dengan sangat baik.Untuk tidak merusak kesan kuno dari bangunan itu, kali ini tidak ada karpet merah yang digelar. Bahkan, konferensi pers diadakan di ruang terbuka.Semua orang menggigil kedinginan, tetapi tetap harus mempertahankan senyuman elegan di wajah mereka.Amanda bercanda mengatakan bahwa ini adalah bentuk pengorbanan untuk seni, tetapi siapa yang tahu berapa banyak kantong pemanas yang tersembunyi di bawah pakaian orang-orang.Setelah konferensi pers selesai, semua orang masuk ke ruang pameran yang hangat. Tema kali ini adalah budaya dan alam.Dari pintu masuk, berbagai macam karya pameran dengan ide-ide kreatif mulai terlihat. Selain perhiasan mewah yang dipajang dalam etalase, a
Untungnya, Janice segera melihatnya dari cermin di depannya dan menyadari gerakan Vania. Dia segera menghindar dengan menggeser tubuhnya.Namun, Vania memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih tali bahu gaunnya dan menariknya dengan kuat. Seketika, mutiara yang terhubung itu jatuh berhamburan di lantai. Gaun yang tadi bergantung pada tali bahu itu kini melorot turun.Janice hanya bisa menutup dadanya dengan tangan dan segera mundur beberapa langkah. Vania mengangkat dagunya dengan bangga, lalu tertawa dingin dan membuang pisau alisnya ke tempat sampah. Kemudian, ekspresinya berubah menjadi terkejut."Ah, Janice, kenapa kamu bisa begitu ceroboh? Kalau begini, gimana kamu bisa bertemu orang? Lebih baik kamu istirahat saja, jangan sampai mempermalukan Bu Amanda. Aku akan menggantikanmu berdiri di samping Pak Jacky."Setelah itu, Vania mengangkat alis dan tersenyum meninggalkan toilet. Janice menarik gaunnya dengan erat dan akhirnya menyadari bahwa Vania tidak berniat melukainya, hanya ingi
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan