Menurut tebakan Janice, itu mungkin bukan anak Jason. Makanya, Janice mencari tahu tentang teman pria Vania. Sayangnya, belum ada perkembangan apa pun sampai sekarang. Namun, Janice makin yakin saat melihat Vania begitu takut.Selama empat hari selanjutnya, Vania selalu merias diri dengan cantik dan menghilang tiba-tiba. Sementara itu, Janice selalu membuntutinya dan mendengar rintihan kesakitan. Menurut dokter, sepertinya aborsi Vania gagal.Vania bertahan dua hari lagi sebelum akhirnya tidak tahan dan meminta izin mencari dokter. Ketika melihat ini, Janice pun ikut keluar dengan alasan harus mengantar barang.Vania mencari dokter yang meresepkannya obat sebelumnya. Supaya tidak ada yang melihat, dia memilih jam siang saat rumah sakit sedang sepi.Namun, sebelum memasuki ruangan, Vania tiba-tiba menerima panggilan. Dia sontak terperangah. "Apa katamu? Kamu yakin? Oke, aku sudah tahu."Vania menggertakkan giginya sambil mengakhiri panggilan. Ketika menurunkan tangannya, dia berbalik da
Edrick sedang bersiap-siap untuk konsultasi sore, tetapi ekspresinya terlihat sangat gugup. Seorang dokter kebetulan lewat dan meliriknya. "Dokter Edrick, kenapa nggak pergi makan siang ini? Aku juga nggak melihatmu di ruanganmu tadi. Kamu ke mana?"Edrick terkejut. Barang di tangannya sampai jatuh. Dia tersenyum canggung dan menyahut, "Aku ke ruang operasi tadi untuk buat persiapan.""Kamu masih perlu membuat persiapan untuk operasi kecil?" Di zaman sekarang, aborsi tanpa rasa sakit ini tidak bisa disebut sebagai operasi lagi."Pasien agak takut, jadi aku ngobrol sebentar dengannya." Edrick masih tersenyum, tetapi dahinya berkeringat. Dokter itu pun tidak curiga dan hanya mengangguk sebelum berjalan pergi.Pada saat yang sama, Janice meninggalkan kerumunan. Dia bergegas mengikuti Vania. Vania sedang lemas sehingga baru meninggalkan gedung rumah sakit.Demi membuktikan spekulasinya, Janice mempercepat langkah kakinya. Namun, sebelum mendekat, tiba-tiba seorang pria menarik lengan Vania
Janice sungguh terkejut dengan sikap pria itu. Namun, masih ada yang lebih mengejutkan."Nggak apa-apa kalau anak itu sudah tiada. Di hatiku, nggak ada yang lebih penting darimu." Usai melontarkan itu, pria itu memegang wajah Vania dan menyeka sudut matanya. Saat berikutnya, dia mencium Vania.Vania pun tercengang sebelum akhirnya mendorong pria itu. "Kamu sudah gila ya? Ini di rumah sakit! Gimana kalau ada yang lihat?""Kamu nggak suka?" Nada bicara pria itu nakal. Tangannya masih memegang wajah Vania. Bahkan, tanp peduli pada amarah Vania, dia lanjut mencium dengan ganas.Vania semula meronta. Beberapa saat kemudian, dia malah memeluk pria itu dan membalas ciuman dengan panas, sampai terdengar suara ciuman yang berisik.Janice termangu sejenak. Kemudian, dia segera mengeluarkan ponselnya untuk merekam adegan ini. Sayangnya, cabang pohon di depan sangat mengganggu. Janice pun terus mengubah posisi dan menggeser beberapa cabang yang agak tipis.Lambat laun, gambar menjadi makin jelas,
Karena panik, Janice pun terpeleset. Ponselnya malah terjatuh ke dalam danau buatan. Dia tidak sempat memedulikan ponselnya karena harus bersembunyi.Di sisi lain, pria itu harus melindungi Vania sehingga jalannya lebih lambat. Kebetulan, seekor kucing melompat keluar dan menjilat cakarnya.Pria itu berbalik dan memeluk Vania kembali. Dia seperti ingin melanjutkan, tetapi Vania menolak, "Sudahlah, tubuhku benaran nggak nyaman sekarang."Begitu mendengarnya, pria itu langsung melepaskan jaket kulitnya dan meletakkannya di atas bahu Vania supaya dia merasa lebih hangat.Vania menatap kucing itu lekat-lekat. Dia memicingkan matanya sambil berujar, "Aku rasa ada orang di sini."Pria itu mengedikkan bahunya. "Kamu terlalu cemas. Ayo, aku antar kamu pulang."Vania tidak meladeninya, bahkan menepis tangannya. Dia mendekati kucing itu, lalu menendang dengan ringan. Kucing itu sontak melompat dan kabur.Kemudian, Vania berdiri di tempat kucing itu berdiri tadi dan mulai mengamati sekeliling. Ti
Janice tidak berani berlama-lama. Setelah memastikan tidak ada siapa pun, dia bergegas keluar. Ketika hendak berlari, pergelangan kakinya malah sakit.Janice menahan rasa sakit pada kakinya sambil menuju ke pinggir danau. Setelah berbaring di tanah dan menjulurkan tangannya sepanjang mungkin, dia baru berhasil mengambil ponselnya. Namun, ponselnya mati karena terendam air terlalu lama.Janice bangkit dan ingin mencari tukang reparasi ponsel. Sayangnya, pergelangan kakinya yang sakit malah membuatnya terpaksa berjongkok kembali.Janice menggulung celananya, mendapati pergelangan kakinya sudah bengkak. Ini karena setelah terpeleset tadi, dia memaksakan diri untuk berjongkok.Namun, Janice tidak boleh berlama-lama di sini. Dia terus berjalan dengan kaki pincangnya, bahkan melewati jalan lain supaya tidak bertemu Vania.Kemudian, Janice tidak terburu-buru untuk memperbaiki ponselnya. Dia pergi ke toko ponsel paling dekat untuk membeli ponsel baru yang serupa dengan miliknya. Dia memasang k
Sopir melirik ponselnya. "Kalau begitu, aku bawa kamu melewati perumahan. Meskipun bisa menghindari beberapa lampu merah, aku nggak bisa menjamin akan tiba dalam waktu setengah jam.""Coba saja."Tidak ada cara yang lebih baik lagi.Sopir itu cukup andal.Dalam setengah jam, dia berhasil mengantarkan Janice ke persimpangan dekat studio. Namun setelah turun dari mobil, Janice melihat pergelangan kakinya yang bengkak dan memerah. Dia mengerutkan kening.Janice tidak bisa memastikan apa yang akan dipikirkan Vania jika melihat pergelangan kakinya, jadi dia harus mencari alasan yang masuk akal untuk cederanya. Sambil berpikir, dia melihat pot bunga semen di sampingnya.Dengan tekad bulat, dia langsung menggesekkan pergelangan kaki yang bengkak ke tepian pot bunga itu. Rasa sakit yang menusuk membuatnya duduk di tanah dengan keringat dingin bercucuran.Dia mengepalkan tangan, menahan sakit, lalu menelepon Malia. Sekarang, dia butuh seorang saksi Malia. Orang yang memberi bocoran pada Vania pa
Di dalam mobil. Sejak awal, Vania sudah melihat Janice. Dia sengaja memanfaatkan kesempatan itu untuk mencium Jason di depan Janice.Vania hanya ingin membuat Janice sadar bahwa tidur bersama bukan berarti apa-apa. Dialah wanita yang akhirnya dipilih oleh Jason.Namun, sebelum bibirnya menyentuh pipi Jason, lelaki itu mengangkat lengan untuk menghalangi tubuh Vania yang mendekat.Vania tertegun beberapa detik, kemudian menunjukkan ekspresi penuh rasa bersalah, "Jason, ada apa denganmu?"Jason mengambil selembar tisu dan menyeka bagian lengan bajunya yang bersentuhan dengan Vania, lalu berkata santai, "Warna lipstik itu nggak cocok untukmu."Dalam sekejap, wajah Vania memucat. Dia refleks menggigit bibir, tangannya menggenggam erat rok yang dikenakannya. Jason meliriknya dengan sinis, "Kenapa tegang?"Vania yang tersentak berusaha keras untuk terlihat lebih santai, meskipun jelas-jelas dipaksakan. "Ah, nggak apa-apa. Mungkin karena makan terlalu banyak waktu teh sore tadi. Gimanapun, me
Sopir segera menepikan mobil di pinggir jalan. Dia menatap lurus ke depan tanpa berani melihat ke belakang.Jason mengembuskan asap rokok dari bibirnya dan berkata dengan tenang, "Aku sudah memperingatkanmu untuk jangan kelewatan. Apa yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan.""Turun. Sopir keluargamu sudah mengikuti kita sepanjang jalan."Ucapan Jason membuat Vania kembali panik.Padahal, tadi dia mengatakan kepada Jason bahwa sopirnya ada masalah dan tidak bisa datang, sehingga Jason harus menjemputnya. Sekarang kebohongannya terbongkar, rasanya seperti ditampar dengan keras. Pipinya terasa panas, tetapi dia tidak rela turun begitu saja!Vania tidak percaya bahwa Jason tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadapnya. Kalau bukan perasaan, setidaknya nafsu pasti ada, 'kan? Apa Janice lebih baik darinya?Memikirkan itu, Vania nekat memeluk Jason erat-erat. Air mata menggenang di matanya, bahkan tanpa memedulikan penampilannya lagi, Vania meringkuk ke dalam pelukan Jason. "Jason, jangan b
Janice menggandeng pria bayaran itu masuk ke dalam ruang VIP. Baru saja duduk, pria itu sudah tidak sabar memesan sebotol anggur seharga sekitar 60 juta. Sepertinya dia memang bekerja sama dengan tempat ini. Jadi, semakin banyak minuman yang dipesan, semakin besar komisinya.Saat memesan anggur, dia sempat melirik Janice. Dia sedang menguji apakah Janice benar-benar punya uang atau tidak. Janice menatapnya dengan senyum menggoda. Matanya yang memicing dan senyumannya yang manis, cukup untuk membuat orang terpesona."Satu botol saja mana cukup? Atau kamu cuma mau menghabiskan sebotol anggur sama aku?" Kata-katanya memiliki makna tersirat yang cukup berani dan memalukan.Untungnya, pencahayaan dalam ruangan cukup redup sehingga menyamarkan sedikit rasa canggung dalam dirinya. Ini adalah trik yang dia pelajari dari Amanda.Menurut Amanda, cara tercepat untuk membuat pria masuk ke dalam perangkap adalah mengambil inisiatif lebih dulu. Dia harus mengatakan apa yang ingin dikatakan para pria
Arya menyadari ketidakpercayaan Janice dan segera membela Jason. "Janice, bagaimanapun juga, dia sudah banyak membantumu. Kalau dia benar-benar ingin sesuatu terjadi padamu, kenapa dia harus repot-repot mengambil risiko? Jangan langsung menghakiminya begitu saja."Mendengar ucapan itu, Janice sedikit mengernyit. Bulu matanya yang panjang bergetar halus dan di antara alisnya tersirat kesedihan serta ejekan terhadap dirinya sendiri.Janice mengatupkan bibir pucatnya, lalu tertawa pelan."Baiklah, kalau kamu percaya sama dia, pergilah dan beri tahu dia siapa yang sedang kucari. Tapi jangan katakan semuanya. Aku nggak yakin sama hubungan antara Thiago dan Elaine. Kalau aku bicara terlalu banyak, bisa-bisa Rachel malah salah paham dan mengira aku menuduh bibinya tanpa alasan.""Aku mengerti. Nah, begitu lebih baik. Jason pasti bisa menemukan orang itu tanpa kesulitan. Tunggu kabar dariku." Arya menghela napas lega dan segera pergi.Janice menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan tata
Saat tubuh Janice hampir jatuh menimpa pecahan kaca di lantai, seseorang menariknya tepat waktu. "Janice, kamu kenapa?"Itu Arya.Melihat seseorang yang dikenalnya, Janice langsung mencengkeram lengan bajunya erat-erat, seolah-olah Arya adalah satu-satunya penyelamatnya.Arya menyadari wajah Janice tampak pucat, lalu segera membantunya duduk dan membuka pintu agar udara segar masuk. Setelah memastikan dia dalam posisi yang aman, Arya mengerahkan keterampilannya sebagai dokter dan memeriksa kondisi Janice.Tak lama kemudian, dia mengernyit dan menggerutu, "Sebelumnya sudah kuingatkan kamu kan, tubuhmu sangat lemah. Sekarang malah jadi memburuk! Kalau terus begini, aku tinggal tunggu pemakamanmu saja."Janice yang sudah merasa lebih baik langsung melotot padanya. Sementara dari sudut matanya, dia melihat Ivy hampir menangis karena panik.Arya terkekeh, "Aku cuma bercanda. Ini caraku untuk mengingatkanmu agar lebih menjaga kesehatan."Ivy mengusap air matanya dan bertanya, "Apa yang terja
"Ya."....Rumah Sakit Swasta.Janice membeli beberapa camilan yang disukai Ivy dan membawanya ke sana. Bekas luka di wajah Ivy sudah memudar cukup banyak, tetapi karena terus merasa ketakutan dan tidak bisa tidur nyenyak, dia tampak sangat lelah."Ibu, makan sedikit dulu. Masalah ini sudah ada perkembangan."Mendengar ucapan Janice, Ivy akhirnya memberikan sedikit respons. "Janice, kamu sudah nemu pria itu?""Belum, tapi sebentar lagi." Janice menyelipkan sendok ke tangan ibunya, lalu bertanya, "Ibu, aku boleh nanya sesuatu?"Ivy mengangguk lemah, "Tanya saja.""Kalau Vania nggak mengalami insiden itu dan terus menargetkanku, apa yang akan Ibu lakukan?"Mendengar pertanyaan Janice, mata Ivy langsung memerah dan bahkan hampir saja menjatuhkan sendok yang dipegangnya."Janice, apa kamu juga menganggap Ibu nggak berguna? Sebenarnya, waktu melihat kamu mengalami begitu banyak masalah, aku sudah nekat mau nyari Vania untuk buat perhitungan. Waktu itu, pamanmulah yang menghentikanku.""Pama
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b