Sementara itu, Salma dan Bela ada di rumah. Mereka berdua terdiam cukup lama. Hingga ada suara ketukan yang membuat lamunan mereka terpecah.Tok! Tok! Tok!Salma dan Bela beradu pandang. Kedua mencoba menerka siapa yang datang ke rumahnya. Belum juga terjawab, suara gedoran pintu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, membuat Salma dan Bela ketakutan."Mbak, kamu saja yang lihat!" kata Bela."Mbak takut, Bel. Kamu saja, ya?" jawab Salma."Bela juga takut, Mbak! Mana kita sekarang cuma berdua, kan?!" tutur Bela."Ya sudah kalau begitu, kita diam saja. Nanti orangnya kalau sudah capek pasti akan pergi sendiri," usul Salma. Bela pun mengangguk. Benar saja, tak lama setelah itu, suara gedoran pintu sudah tak terdengar lagi.Ibu Ida dan Sarah terlihat tidak tenang. Wajahnya tegang dan juga hatinya was-was. Tak lama, Dokter yang memeriksa Arman keluar dan menghampiri mereka."Dengan keluarga Pak Arman!" kata Dokter yang bernama Rehan."Ya, Dok! Saya ibunya dan ini istrinya,"
Keinginan Bude Jamilah untuk menguasai harta peninggalan adiknya sangatlah besar. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu. Ada rahasia besar yang hanya Bude Jamilah saja yang tahu.Bude Jamilah terjerat rentenir, karena sering meminjam uang hanya untuk gaya-gayaan saja. Total pinjaman hampir seratus juta. Teror dari rentenir pun sering kali Bude Jamilah terima.Sebenarnya, uang dari anaknya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan ada sisa. Tapi ... hanya untuk memenuhi nafs*nya dengan barang-barang mewah, Bude Jamilah rela untuk berhutang.*****Hari itu, Bude Jamilah meminta Adi untuk melakukan pekerjaannya lagi. Arini harus segera menyerahkan sertifikat rumah adiknya. Karena, dirinya sudah bosan setiap hari di teror para rentenir yang menagih uang padanya.Bahkan tujuan lain dari mencari Arini adalah menghindari para rentenir itu. Namun, usaha itu sia-sia, karena mereka bisa melacak Bud
Setibanya di kos Bude Jamilah, Adi langsung masuk ke dalam kamar bosnya itu. Dilihatnya Bude Jamilah dengan makan makanan enak. Sedangkan bayarannya yang bulan kemarin saja belum diberikan pada Adi."Mana bayaranku?!" teriak Adi di dalam kamar. Bude Jamilah tak merespon pertanyaan Adi. Bahkan, Bude Jamilah bersikap seolah-olah Adi tidak ada."Hey, perempuan tua! Mana bayaranku?!" Sekali lagi Adi berteriak. Kali ini Bude Jamilah menoleh dan tersenyum sinis."Kau bilang apa tadi? Perempuan tua? Berani kamu sama saya!" kata Bude Jamilah tak kalah tinggi suaranya."Kerja aja gak beres kok minta bayaran! Jangan mimpi!" sambung Bude Jamilah lagi.Wajah Adi memerah dan dia keluar dari kamar kos Bude Jamilah menuju motornya. Diambilnya bungkusan plastik yang tergantung di motor dan kembali lagi masuk ke dalam kamar Bude Jamilah."Sekali lagi aku minta, mana bay
Salma dan Bela masih merasa khawatir. Tentu saja orang yang menggedor pintu tadi bukan orang sembarangan. Salma melihat keluar dengan menyibakkan sedikit gorden. Namun, betapa terkejutnya Salma ketika mendapati laki-laki sedang berdiri membelakangi pintuk masuk rumah."Hah?!" Dengan cepat Salma menutup kembali gorden itu. Lalu, dia masuk ke dalam kamar di mana Bela berada."Ada apa, Mbak? Kok seperti ketakutan begitu," tanya Bela yang melihat Salma masuk kamar dengan wajah tegang."Gawat, Bel! Gawat!" kata Salma panik. Salma mondar mandir dengan kedua tangannya saling bertautan."Kenapa, sih, Mbak?" Bela kesal dengan Salma yang tak kunjung menjelaskan padanya."Di depan ada penagih hutang!" jawab Salma."Siapa yang berhutang? Kalau ngomong itu yang jelas, Mbak!" sentak Bela."Aku dan Mas doni! Pasti dia tadi ke rumah. Karena aku sama Mas
Keesokan harinya, Salma dan Bela berencana akan ke rumah sakit siang hari. Namun, saat jam sepuluh pagi, sudah ada yang datang bertamu."Assalamualaikum!" sapa Bu Rita, pemilik WO yang meng-handle pernikahan Arman dan Sarah."Wa'alaikumsalam!" jawab Bela dari dalam rumah."Siapa, ya, Mbak?" Bela melirik Salma yang sedang sarapan. Salma hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu."Bela lihat saja lah! Mungkin memang ada perlu." Bela berjalan meninggalkan ruang makan dan membuka pintu."Maaf dengan siapa?" tanya Bela saat melihat ada ibu paruh bayu bersama seorang pemuda di depan pintu."Ibu Ida atau Mbak Sarahnya ada? Saya dari WO kemarin. Mau menagih sisa pembayaran," jawab Ibu Rita. Bela yang tidak tahu menahu, menyuruh tamu itu masuk."Tunggu sebentar, ya, Bu!" Bu Rita mengangguk dan Bela masuk ke dalam menemui kakaknya.
Setelah tahu Indah ada penyakit serius, Arini semakin sering berkunjung ke rumah Firman. Mertua Indah juga sudah tahu dan Beliau meminta Indah fokus dulu ke pengobatan. Jadi, untuk sementara ... pekerjaan kantor akan di handle orang kepercayaan Pak Agung."Ndah ... kapan kamu mau mulai pengobatan?" tanya Arini sore itu. Mereka sedang duduk di taman belakang rumah Indah."Apa aku bisa sembuh, Ar?" Indah menatap ke depan dengan pandangan yang menyimpan banyak tanya."Kenapa kamu bilang begitu, Ndah? Allah itu maha penyembuh! Dan Allah tidak akan mengujimu dengan sakit seperti ini karena Allah yakin kamu mampu!" ucap Arini menyemangati Indah.Dulu ... saat Arini ada masalah, Indah selalu ada untuknya. Sekarang, giliran Arini yang akan membantu Indah menemukan kepercayaan dirinya untuk bisa sembuh. Biarpun Arini dan Firman harus berpura-pura menyetujui permintaan Indah."Kalau Aku gak sembuh ... Aku titip Mas Firman, ya, Ar!" Indah mulai membicarakan hal yang tidak Arini suka sebenarnya.
Ketika jam pulang tiba, Arini langsung menyambar tasnya dan berjalan cepat menuju mobilnya. Tak peduli ada orang yang memanggil namanya, karena memang Arini sedang buru-buru."Bang ... kita ke rumah sakit, ya!" kata Arini pada Joni."Baik, Non!" jawab Joni singkat.Mobil yang ditumpangi Arini melacu dengan kecepatan sedang, memecah macetnya jalanan kota. Walaupun ramai kendaraan disekelilingnya, Arini merasa kosong dan hampa. Pikirannya tertuju pada Indah yang sedang berjuang melawan penyakitnya.*****"Gimana Indah, Mas?" tanya Arini saat sudah berada di ruangan Indah."Alhamdulillah kemonya lancar. Tapi, ya begitu, Ar ... sudah beberapa kali Indah mual dan muntah karena efek kemonya." Firman mendesah dan melihat Indah yang berbaring dengan mata terpejam.Ada rasa tak tega melihat istrinya kesakitan seperti itu. Tapi, ini adalah salah satu usaha yang bisa membawa Indah pada kesembuhan."Mas Firman makan saja dulu. Biar Arini yang jaga Indah di sini," kata Arini. Firman yang memang s
Sebenarnya, pasca kemoterapi, pasien bisa langsung pulang. Tapi, Firman memilih untuk tetap di rumah sakit karena dia juga ada operasi sesar darurat malam itu. Tak mungkin membiarkan Indah sendirian di saat-saat seperti itu."Aku saja yang menjaga Indah malam ini, Mas. Kamu gak usah khawatir," ujar Arini."Tidak usah, Ar! Aku akan meminta bantuan perawat di sini saja. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu," tolak Firman."Gak apa-apa, Mas. Indah itu sahabatku, Mas. Tak mungkin aku membiarkannya seorang diri," sanggah Arini."Mas Firman benar, Ar! Kami sudah terlalu banyak merepotkanmu. Sekarang kamu pulang dulu saja. Besok bisa ke sini lagi, kan?" Indah pun juga merasa tidak enak pada Arini."Tapi, Ndah ...""Sudah ... kamu pulang saja, Ar! Ada teman-teman Mas Firman yang selalu siap dan sigap membantuku di sini. Iya, kan, Mas?" Indah menoleh ke arah suaminya dan dijawab dengan anggukan pelan."Ya sudah kalau begitu. Tapi ... kalau kamu butuh bantuan, jangan segan-segan telepon aku, y
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put
Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim
Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S
Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h
Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me
PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini
Beberapa hari setelah dirawat, Putri sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Radit. Dokter Radit berpesan agar keluarga selalu mendukung dan memperhatikan Putri. Itu akan berguna untuk ketenangan jiwa Putri."Bah, kalau Abah mau pulang gak apa-apa, Bah. Inshaa Allah Arman akan jaga Putri," kata Arman. Dia tahu kalau Haji Topan juga banyak urusan di kampung."Kamu tidak senang Abah di sini, Man?" terka Haji Topan."Bukan begitu, Bah! Arman justru senang kalau Abah mau tetap di sini. Tapi, urusan Abah di sana bagaimana?" jawab Arman jujur."Abah sudah titip sama Mas dan Mbakmu di sana. Abah senang Mas dan Mbakmu sekarang bersatu dan hidup bahagia lagi, Man. Ibumu juga sekarang jauh lebih dari sebelumnya," jelas Haji Topan seraya menerawang jauh ke depan."Alhamdulillah, ya, Bah! Tapi kebahagiaan kami belum lengkap karena Bela masih belum seperti dulu. Bah!" Arman berkata sambil menunduk. Dia menyembunyikan air mata yang memberontak mau keluar."Percayalah, Man, Bela akan bisa seperti dul
Sesampainya di rumah sakit, Haji Topan wajahnya terlihat tegang. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang perawatan Putri. Arman sedikit mempecepat langkahnya kala melihat mertuanya seperti itu."Ada apa, Bah?" tanya Arman. Haji Topan seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Beliau menitikkan air mata."Putri, Man! Putri!" seru Haji Topan."Putri kenapa, Bah?" Arman juga terlihat panik saat Haji Topan menyebut nama Putri."Putri mencoba menyakiti dirinya lagi, Man! Abah bingung, Man! Kita harus bagaimana?" Tangan Haji Topan mencengkram kuat lengan menantunya itu."Astagfirullah! Tenang, Bah! Kita gak boleh panik juga. Nanti urusan Putri biar Arman yang tangani. Abah tenang dulu, ya! Nanti Abah sakit," sahut Arman.Tak lama kemudian, Dokter Radit keluar dari ruangan itu. Beliau sedikit menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata,"Putri sudah saya suntik dengan obat penenang. Saat ini hanya dukungan keluarga yang bisa membuat Putri menjadi lebih baik. Karena itu, saya sangat berha
Dokter berkata kalau Putri kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri yang Putri lakukan. Beruntung nyawa Putri masih bisa diselamatkan. Haji Topan yang mendengarnya langsung jatuh lemas. Bahkan Beliau harus dipapah Arman untuk duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya menunggu tadi."Bah ... Abah di sini dulu, ya ... Arman belikan air mineral dulu." Arman berlalu meninggalkan Haji Topan seorang diri untuk membeli air mineral dan beberapa makanan.Tak lama, Arman kembali lagi dan memberikan air mineral pada mertuanya. Saat itu, Dokter yang menangani Putri baru saja keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Haji Topan bangkit dan langsung menghampiri dokter itu."Alhamdulillah, kita tinggal menunggu pasien siuman saja, Pak!" ucap Dokter Radit. "Lalu, lukanya bagaimana, Dok?" tanya Arman yang masih khawatir."Sudah kita tangani, Pak. Sekarang tinggal masa pemulihan pasien saja. Saran saya, kalau pasien sadar. jangan dulu diberikan pertanyaan yang aneh-aneh. Saya