"Assalamualaikum ..." Suara salam terdengar dari balik pintu, diikuti dengan ketukan halus.
"Waalaikum salam," jawabku. Segera kucampakkan ponsel yang sedari tadi berada di genggamanku, lalu bergegas menuju pintu. Aku melangkah dengan perasaan senang bukan main. Aku tahu betul siapa pemilik suara itu. Dia adalah Mas Rohim, suamiku.
Kuputar anak kunci, lalu kubuka daun pintu. Pemandangan pertama yang kulihat adalah sosok suamiku dengan bibir yang sedang tersenyum manis. Segera kucium punggung tangannya dengan takdzim.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang," ucapku dengan lega.
"Kenapa? Kangen?" goda Mas Rohim.
"Iya, lah, Mas! Seminggu hanya bertemu satu kali. Siapa yang nggak kangen coba! Apalagi hitungannya kita masih pengantin baru! Harusnya tuh, ya, kita kemanapun berdua!" gerutuku.
Ya, bisa dibilang kami LDR-an. Bertemu hanya saat Mas Rohim libur kerja. Suamiku akan pulang hari jum'at sore, dan minggu pagi ia akan kembali ke kota.
Aku tinggal di kampung, sementara suamiku tinggal di kota Surabaya. Sebenarnya jarak kami tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan mengendarai sepeda motor yang hanya memakan waktu tiga jam lamanya.
"Pengantin baru apa'an. Nikah udah lima tahun juga!"
"Kan belum ada anak, Mas! Kalau belum ada anak, namanya tetap pengantin baru. Meskipun sudah lima tahun nikahnya!"
Hati terasa bagai tersayat sembilu saat bibir ini mengucapkan kata anak.
"Udah, ah. Jangan ngomel terus! Bikin gemes aja, deh!"
"Aduh ... sakit Mas!" keluhku saat Mas Rohim mencubit hidungku.
Akhirnya kami berjalan menuju kamar secara beriringan, dengan tangan kanan Mas Rohim merangkul pundakku.
*******
"Mas, apa nggak sebaiknya Rumi ikut ke kota? Supaya Mas ada yang merawat. Kan kasihan, Mas pulang kerja capek-capek, eh, nggak ada yang menyambut."
Mas Rohim memegang tanganku. "Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Ibu? Ibu tak mau diajak ke kota. Terus Ibu di rumah dengan siapa? Apa kamu tega ninggalin Ibu yang sakit-sakitan di rumah sendiri? Nggak tega, kan? Mas nggak bisa tenang jika Ibu nggak ada yang jagain, kalau harus membayar orang, Mas malah kepikiran, kayak nggak percaya gitu. Apalagi kamu tahu sendiri. Mas hanya seorang staff biasa. Nggak mampu kalau dibuat bayar orang. Kalau sama kamu di rumah, Mas bisa kerja dengan tenang, Sayang. Karena Mas yakin, kalau kamu akan merawat Ibu dengan sangat baik!"
Selalu itu lah yang menjadi alasan suamiku, saat aku mengutarakan niatku untu ikut ke kota. Apa salah jika aku ingin setiap hari bisa bertemu dengan suamiku?
Sudah lima tahun juga kami berumah tangga, tapi tak kunjung mendapatkan keturunan. Padahal setiap hari sudah meminum obat penyubur yang dibelikan oleh Mas Rohim di kota dari dokter spesialis kandungan.
Percuma juga, kan, tiap hari minum obat penyubur tapi jarang ber-ikhtiar?
Kan bisa jadi, jika setiap hari bertemu, Tuhan segera menitipkan amanah-Nya untuk kami.
Ah, entahlah. Mungkin memang belum saatnya juga Tuhan menitipkan buah hati untuk aku dan suamiku.
Tapi untunglah, ia tak mempermasalahkan soal belum hadirnya buah hati di tengah-tengah kami. Bahkan, aku lah yang selalu mengeluh karena tak kunjung hamil juga. Tapi syukurlah, ia selalu bersedia mendengarkan keluhanku. Dan pada akhirnya, ia selalu memenangkan ku.
Mungkin kita harus bersabar terlebih dahulu dan Tuhan menginginkan kita untuk berpacaran dulu, begitulah katanya sewaktu aku berkeluh-kesah.
"Jangan diam gitu dong, Sayang! Sini peluk!" Mas Rohim memelukku.
Aku bergeming.
"Mas mandi dulu ya. Habis mandi makan malam, lalu lihat Ibu." Aku mengangguk. Dilepaskannya pelukanku, lalu diciumnya pucuk kepalaku.
Mas Rohim melangkah menuju kamar mandi, disambarnya handuk yang tergantung ditempatnya.
Suara gemericik shower mulai terdengar. Aku diam duduk termenung di bibir ranjang.
Entahlah. Disatu sisi aku menginginkan setiap hari bisa bertemu dengan suamiku, disisi lain aku juga tak tega meninggalkan Ibu yang sakit-sakitan seorang diri di kampung.
Salama ini aku hanya tinggal bersama Ibu mertuaku. Tepatnya di rumah milik Ibu mertua, di kampung halaman suamiku. Aku merawat beliau dengan ikhlas. Syukurlah, Ibu mertuaku sosok Ibu yang penyayang. Termasuk denganku yang notabenenya hanya seorang menantu.
Tiap satu bulan sekali aku selalu mengantarkan Ibu periksa. Jantung Ibu tidak normal, jadi harus sering-sering kontrol. Apalagi Ibu memiliki penyakit kolesterol dan diabetes. Menambah daftar penyakit yang bersarang di tubuh Ibu mertuaku.
Suara gemericik air yang terjatuh dari shower telah berhenti. Itu tandanya Mas Rohim telah menyelesaikan ritual mandinya.
Tak berselang lama, suamiku keluar dengan lilitan handuk di bagian bawah tubuhnya.
Semakin mendekat, aroma wanginya sabun menguar dari tubuhnya yang basah.
Butiran air berjatuhan dari rambutnya, lalu berselancar di dada bidang lelaki yang telah membersamaiku lima tahun lamanya.
"Suamimu ini memang tampan, Sayang," ucap Suamiku yang menyadarkan dari lamunanku.
"C'k, apa sih, Mas! Pede banget!" kilahku lalu membuang muka.
"Lah itu, lihat sampek bengong. Untuk berkedip pun kamu tak mampu!"
"Udah, ah. Cepetan pakai baju. Tuh, udah Rumi siapin! Rumi tunggu di meja makan ya. Sekalian manggil Ibu buat makan malam."
"Iya. Jangan ngambek ya! Mas mohon pengertian dari kamu!" ucapnya dengan raut wajah menghiba. Aku mengangguk dan tersenyum, pastinya senyum terpaksa.
Mas Rohim mengambil baju lalu mengenakannya. Aku beranjak dari ranjang lalu pergi ke ruang makan.
*******
Dentingan sendok mulai beradu. Kami lewati acara makan malam ini dengan saling bercerita dan bercanda. Begitulah suamiku, ada saja yang akan ia bicarakan. Entah masalah pekerjaan, atau yang lainnya.
Tapi sayang sekali, malam ini Ibu tak ikut makan malam bersama.
Mas Rohim mengambil tissue, lalu diusap lah bibirnya sebagai tanda kalau makannya telah selesai.
"Mas antar makanan Ibu dulu, ya. Kamu kalau ingin istirahat, istirahatlah!" ucap suamiku dengan lembut. Ia ambil makanan yang kumasak khusus untuk Ibu.
Ya namanya orang sakit, pasti makanannya tidak bisa sembarangan.
"Iya, Mas!"
Mas Rohim membawa nampan lalu berjalan menuju kamar Ibu. Sengaja kubiarkan sepasang Ibu dan anak itu saling mencurahkan rasa rindu satu sama lain. Aku tak ingin mengganggu mereka.
Kusandarkan tubuhku di kepala ranjang. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas tepat di samping ranjang.
Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar.
Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku.
Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi, tapi nomor tersebut berusaha terus menghubungi.
Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku.
Belum sempat bibir ini berucap satu kata pun. Suara di seberang sana menyela, hingga mampu membuatku tersentak.
Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar. Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku. Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi. Namun, nomor tersebut terus berusaha menghubungi. Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku."Halo, Pah ... kamu udah sampai? Kok pesanku nggak kunjung dibalas?" cecar seseorang dari seberang telepon, saat panggilan baru saja kuangkat. Tapi mampu membuat tubuhku tersentak."Assalamualaikum," ucapku tanpa memperdulikan ucapan dari suara wanita yang ada diseberang sana. Meskipun berbagai pikiran buruk berkelebatan.Tanpa men
Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam. Kalau tak kuambil sekarang, takutnya kelupaan. Toh Mas Rohim esok pagi akan kembali ke kota. Kuambil tas milik suamiku, kubuka resleting utama. Aku tak menemukan apapun.Lalu kucari di setiap saku tas, tak kunjung menemukannya juga. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan. "And*l*n," lirihku saat membaca nama obat tersebut. Kurasa nama obat ini sungguh tak asing di telingaku. Kubuka box tersebut, ada dua strip obat. Yang masing-masing strip masih utuh isinya.Obat yang sering diberikan Mas Rohim kemasannya botol. Sedangkan obat yang saat ini kutemukan kemasannya berbeda. Jadi dipastikan ini bukan untukku.Karena rasa penasaran, akhirn
Entahlah, rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Mas Rohim. Tapi percaya tak percaya, itu lah yang telah dia perbuat.Mungkin salahku juga, aku terlalu naif menjadi orang. Aku menganggap semua orang akan baik jika kita juga berlaku baik. Tapi nyatanya? Zonk!Mungkin salahku juga, aku terlalu percaya dengan pendirian ku, bahwa "Jodohmu adalah cerminan dirimu" Kukira, jika aku selalu jujur, makan pasangan kita pasti akan jujur. Tapi nyatanya? Sandiwara yang kuterima!"Yaudah ... kita ke rumah sakit sekarang! Kenapa kamu nggak bilang, sih! Kalau kamu sakit, kamu sendiri yang akan tersiksa! Kalau sudah merasakan tak enak badan, harusnya kamu langsung ngomong! Biar Mas antar ke rumah sakit! Jadi kamu nggak akan merasakan sakit yang berlebih hingga nangis kayak gini!" Bukan tubuhku yang sakit, Mas! Bukan tubuhku pula yang tersiksa! Tapi hati ini Mas yang sakit! Sakit teramat sangat! Sakit namun tak berdarah! Dan kamulah yang membuatku sakit!Aku tersenyum, senyum yang
Pov Rohim"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?""Uhuk ... uhuk." Aku terbatuk saat mendengar ucapan Rumi, istriku. Air yang sudah berada dalam mulutku seketika tersembur hingga membasahi lantai kamar.Bagaimana tidak kaget? Lima tahun sudah ia kuberikan pil KB, tapi kenapa kali ini ia bisa hamil? Ah, tiba-tiba kepalaku terasa pening sekali!"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Rumi mengusap punggungku."Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!""Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi? "Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapku berusaha setenang mungkin."Mas senang nggak kalau Rumi hamil?" Kutarik tubuh mungil Rumi ke dalam dekapanku. Bukannya aku tak senang. Tapi aku tak siap dengan konsekuensi yang harus kuterima jika Rumi hamil. "Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil bener
"Sayang ... Mas berangkat dulu, ya," pamit Mas Rohim. "Iya, Mas!" ucapku lalu kuambil tas milik suamiku dan kuberikan padanya."Kamu di rumah baik-baik. Jangan lupa minum obatnya terus. Jangan sampai bolong! Kalau memang sudah positif beneran, baru berhenti ya!" Aku mengangguk.Ck, begitulah suamiku. Tiada hentinya mengingatkan ku untuk meminum obat itu. Dulu aku merasa senang sekali. Tapi sekarang? Entahlah.Begitu perih dan sakit, saat kutahu kalau suamiku tak menginginkan malaikat kecil dari rahimku. Entahlah, apa kesalahanku. Apa alasannya pun aku belum tahu. Dan pastinya aku akan mencari tahu!Tadi pagi Mas Rohim memintaku untuk melakukan testpack. Tapi kuberikan alasan kalau aku belum membeli testpack.Padahal, ada satu box testpack di dalam laci meja riasku yang sering kugunakan setiap aku telat datang bulan.Ya, bisa dibilang aku selalu telat datang bulan. Entah telat lima hari atau pun satu minggu.Ya begitulah namanya perempuan yang mengharapkan kehadiran janin di rahim, ba
*Keesokan hari, di pagi hari*Aku berjalan menghampiri Ibu yang sedang duduk santai di teras rumah. Kubawa tas jinjing yang berisi beberapa helai pakaianku dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk beberapa hari kedepan, tak lupa pula kubawa tas selempang yang kugunakan untuk menyimpan ponsel dan juga dompetku."Bu, Rumi pamit dulu, ya!" Kucium punggung tangan Ibu mertua.Saat aku ingin melepas tangan Ibu, beliau malah menggenggam tanganku. Kuhela napas panjang. Aku berjongkok menyejajarkan tubuh Ibu yang sedang duduk di kursi."Apapun yang terjadi, Ibu harap kamu akan memaafkan Rohim dan juga Ibu. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Ibu!" ucap Ibu dengan suara parau. Seperti seseorang yang sedang menahan tangis."Insyaallah, Bu. Sebisa mungkin, Rumi akan memaafkan kesalahan Mas Rohim. Tapi ... jika kesalahan Mas Rohim sangat fatal, Rumi mohon maaf ... maaf karena Rumi akan memilih jalan Rumi sendiri," ucapku pelan, tapi mampu membuat air mata Ibu menetes."Sebentar lagi Mba
"Apa kamu kenal yang namanya Pak Rohim yang bekerja disini sebagai staff biasa? Ada istrinya yang mencari!" Security itu menunjuk kearahku.A'an menoleh ke arahku. Saat pandangan kami saling bertemu, tiba-tiba kedua netranya melotot. Seperti melihat hantu yang begitu menyeramkan. Raut wajahnya pun juga terlihat kaget dengan kehadiranku.A'an langsung membuang muka. Menatap kembali security yang tadi memanggilnya."Hey ... kamu tahu nggak yang namanya Pak Rohim!? Ditanya kok malah diem!""Pasti kenal, Pak. Karena Mas A'an ini teman suami saya. Mas, bisa minta tolong panggilkan Mas Rohim?" Sebentar saja kok!"Terlihat Mas A'an menelan saliva dengan susah. Wajahnya pun terlihat seperti orang yang sedang takut, bingung, ah entahlah."Malah diem aja! Sana! panggilkan suaminya mbak ini!" "Aduh mbak Rumi, saya masih diminta untuk foto copy. Mbak mau nunggu dulu?" ucapnya sambil menunjukkan lembaran kertas di tangannya."Iya, Mas! Nggak apa-apa. Lagian Mas Rohim dari tadi di telfon nggak dia
Kepalaku berdenyut sakit. Masalah yang mendera terasa begitu pelik. Terlalu banyaknya teka-teki yang harus kupecahkan.Mulai dari Pil KB, Mas Rohim yang seorang manager, dan sekarang, hingga Mas Rohim memiliki istri lain. Apakah semua itu saling berkaitan? Atau yang mana dulu yang harus aku selidiki untuk mencari tahu jawabannya? Ah, kepalaku terasa begitu pening. Pening sekali!"Bu, dia datang!" ucap rekan Pak Dermawan yang membuyarkan lamunanku."Mana, Pak?" ucapku dengan bola mata kesana-kemari untuk mencari sosok yang dimaksud rekan Pak Dermawan."Itu loh, Bu!" jawabnya dengan jemari menunjuk ke arah gerbang.Kedua netraku menyipit saat melihat sosok perempuan yang baru saja melewati gerbang. Terlihat perempuan itu berjalan memasuki kawasan perkantoran ini. Badannya tinggi semampai. Ditambah balutan dress selutut berwarna merah maroon, memakai high heels, rambut hitam legam lurus tergerai, bermata bening, bulu mata lentik. Apalagi polesan make up di wajahnya, menambah kesan kecan
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant
Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa
Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di
*Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men
Hari berganti hari. Tak terasa hari ini telah tiba acara pernikahan keduaku. Ya, setelah acara berkumpulnya kedua belah keluarga, telah diputuskan pernikahan diadakan tiga Minggu setelah acara lamaran kemarin. Dan momen itu telah tiba.Aku duduk mematut diri di depan cermin. Hingga memantulkan bayanganku. Balutan kebaya putih yang dipenuhi payet berwarna senada menambah kesan keindahan pada kebaya yang membalut tubuhku pagi ini. Ditambah make-up tipis namun terlihat elegan yang diaplikasikan oleh perias menyempurnakan diriku pagi ini. Jantungku semakin berdegup dengan kencang seiring jarum jam yang terus berdetak, hampir jam 09:00 wib. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja rias. "Rum ...." Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian langkah kakinya berjalan mendekat.Langkah kaki Ibu berhenti di belakangku. Kedua tangannya memegang pundakku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu menormalk
POV Rumi.**** Keesokan Hari, di malam hari*Suara ketukan pintu yang diiringi suara salam terdengar. Membuat Ibu berhenti mengomel karena kesal saat melihat sinetron kesukaannya."Ibu ini selalu begitu. Ngomel terus kalau lagi lihat sinetron kesukaannya," protes Bapak."Habisnya Ibu tuh kesel, Pak. Masa jadi perempuan kok lembek bener. Udah tahu suaminya jahat, masih aja betah bersamanya.""Yaudah. Jangan dilihat, Bu.""Sayang, Pak. Penasaran bagaimana nanti akhirnya."Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Bapak dan Ibu yang sedang berdebat. "Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...," ucapku saat pintu sudah terbuka. "Ada apa, Ren?" tanyaku saat melihat Rendra-lah tamunya."Boleh aku masuk?" "Eh—iya, iya. Silahkan masuk! Maaf," ucapku salah tingkah."Aku bikinkan minum dulu, ya." Aku ingin memutar tubuh lalu melangkah. Namun kuurungkan niatku saat Rendra memanggil namaku."Ya?" "Nggak usah bikin minum. Perutku udah kebanyakan minum," ucap Rendra."Bentar
POV Rumi***Tanganku memegang rak barang, agar tak terjatuh. "Lepaskan!" teriakku. Seseorang itu melepaskan jilbabku dengan sedikit menyentak. "Kamu siapa?" ucapku saat sudah kutahu ada sosok perempuan yang sedang berdiri di depanku. Raut wajahnya terlihat merah padam. Aku mengernyit. Mencoba mengenali siapa gerangan yang ada di depanku, dan menyerangku secara tiba-tiba. Mendengar penuturanku, bibir perempuan berlipstik merah merona itu berdecih."Aku tekankan sama kamu, ya, jangan pernah deketin Rendra! Kau dengar?!" Alisku saling bertautan. Ucapan perempuan itu bukan lagi terdengar seperti permintaan, melainkan perintah."Memang kamu siapa? Pacarnya? Atau ... tunangannya?" Tangan perempuan itu terangkat, telunjuknya mengarah tepat di wajahku. "Itu bukan urusanmu. Kau mengerti?! Lakukan saja perintahku!" Kutangkap tangan perempuan yang belum kutahu siapa namanya, lalu kuturunkan, membuat kedua matanya mendelik sempurna."Mbak siapa? Aku nggak kenal Mbak loh," ucapku berusaha te
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang begitu tak asing terbatuk-batuk. Lebih tepatnya pura-pura batuk. Bergegas kuurai pelukanku. Lalu menoleh ke arah sumber suara. Terlihat sosok lelaki itu berdiri tak jauh dari tempat kami."Sepertinya ada yang lagi ngomongin Bapak nih, Nak Rendra." Canda Bapak yang sedang berdiri di samping Rendra. Bergegas aku bangkit dari tempat duduk ku pun juga Ibu. Entah sejak kapan Kedua lelaki itu berdiri di sana."Loh, Nak Rendra ada disini?" tanya Ibu yang dibalas anggukan oleh Rendra."Ibu ini bagaimana sih, dari tadi ada kamu kok nggak denger. Untung tadi Bapak pulang dari kebun, kalau nggak ... mungkin Rendra sudah jamuran berada di di depan rumah. Tamu kok dibiarin di depan aja tanpa dibukakan pintu. Eh kalian malah sedang asyik di sini."Kan Ibu enggak dengar, Pak. Maaf ya Nak Rendra." Rendra mengangguk sembari bibir mengulas senyum."Tapi apa benar yang dikatakan oleh Bapak, kalau Nak Rendra sudah lama berada di depan?" tanya ibu yang memasang raut
POV Rumi * * * "Loh Rum, kamu nggak kerja?" tanya Ibu saat ia melihatku berjalan mendekat kearah beliau. Aku terus berjalan lalu berhenti dan duduk di samping Ibu yang masih sibuk memotong sayuran. "Enggak, Bu," jawabku dengan singkat yang tiba-tiba membuat Ibu menghentikan gerakannya, lalu meletakkan pisau. Terlihat Ibu mengulurkan tangan lalu ditempelkan punggung tangannya di dahiku. "Kamu sakit? Nggak enak badan? Mana yang sakit?" Ibu memberondongku dengan pertanyaan. "Rumi baik-baik saja kok, Bu. Rumi nggak sakit," ucapku. Ibu menarik kembali tangannya dari dahiku. "Lalu kenapa nggak kerja? Atau jangan-jangan ...," "Kenapa, Bu?" potongku. Sebenarnya aku tahu apa yang akan diucapkan oleh Ibu. "Jangan bilang kamu nggak kerja hanya karena ingin menghindari Rendra!" tebak Ibu dengan tatapan penuh selidik. Aku memasang wajah tak berdosa dengan bibir tersenyum nyengir. Terlihat Ibu menepuk pelan dahinya. "Rumi bingung, Bu." "Kenapa?" "Ya ... Rumi takut jika bertemu dia, terus