Natasha duduk di sebuah café yang ada di dalam rumah sakit. Tubuhnya menegang karena emosi dalam dirinya. Alasannya adalah karena orang yang duduk di hadapanya.
Josef Matvey.
Pria yang begitu mirip dengan Leon dalam versi yang lebih tua itu duduk dengan tenang di hadapannya sembari meminum cangkir kopi di hadapannya. Pria itu meletakkan cangkir berisi kopi hitam di atas piring kecil. Tatapannya tertuju pada wanita yang duduk di hadapannya.
“Enam tahun yang lalu, kau meninggalkan putraku tanpa memberikan penjelasan apapun. Kau sudah menghancurkan hati Leon. Dia bahkan kesulitan melupakanmu selama bertahun-tahun. Tapi aku sangat yakin kau meninggalkan Leon bukan tanpa alasan. Aku bisa melihat kau juga menyukai putraku. Jadi sebenarnya apa yang membuatmu meninggalka
Terjawab sudah jika Josef sebenarnya tidak membunuh orang tua Natasha. Tapi siapa yang yang membunuh orang tua Natasha. Satu teka-teki terjawab muncul teka teki lainnya.
I said, One scoop, Two scoops, Three scoops, Three scoops for me, please. Three scoops for me. Sepanjang perjalanan menuju salah satu mall di Moscow, anak-anak tidak berhenti menyanyikan lagu itu. Mereka tidak sabar menikmati es krim yang dijanjikan oleh Gavin. Bahkan mereka sudah menentukan rasa yang mereka inginkan. “Aku mau es krim rasa pisang dan coklat.” Seru Liev dengan penuh semangat. Dengan senyuman mengembang di wajahnya Natasha berkata, “Aku mau es krim stroberi, paman.”
“Untuk apa Dad datang kemari?” tanya Leon dengan nada dingin. Josef yang berdiri di samping ranjang menatap putranya yang terlihat membenci keadaan dirinya sendiri. “Jadi kau tidak suka aku kemari? Kau adalah putraku, Leon. Seorang ayah pasti datang untuk anaknya yang sedang kesulitan.” “Tapi aku tidak ingin kau datang.” “Kau bisa berkata seperti itu Leon. Tapi aku tahu kau sebenarnya membutuhkanku. Sayangnya egi seorang pria yang tinggi membuatmu menolak semua orang yang ingin mengulurkan tangannya padamu.” Leon membuang mukanya. Tak ingin menatap sang ayah. Karena ucapan ayahnya memang benar. Dia menolak semua orang yang mengulurkan tangan padan
Natasha melangkah lunglai menghampiri kamar Leon. Dia masih memikirkan ucapan Josef. Wanita itu tidak tahu apakah dia harus percaya pada pria itu atau tidak. Semua masih terasa samar untuknya. Langkah Natasha terhenti tepat di depan pintu kamar Leon. Dia bisa melihat pria itu tengah duduk sembari memainkan ponselnya. Dia menarik nafas panjang sebelum akhirnya meraih gagang pintu dan membukanya. Mendengar pintu terbuka, Leon mendongak. Ekspresinya berubah dingin saat melihat Natasha berjalan masuk menghampirinya. “Ivan sudah mengambilkan tas untukmu. Tadi aku bicara dulu dengan ayahmu.” Natasha membereskan termos sup yang nyaris habis. Dia berusaha menahan senyuman dan tidak mengomentari ke mana habisnya sup itu. Karena dia tidak ingin membuat Leon malu dan tak ingin lagi memakan masakan yang dibuatnya.
Terlihat Josef berjalan keluar dari mobil. Membuat Natasha terdiam. Meskipun sudah bertemu dengan Josef saat berada di rumah sakit tadi, tapi tetap saja perasaan tidak nyaman itu muncul. Iris menarik lengan baju Natasha. “Siapa dia, Nat? Kenapa dia menyeramkan begitu?” “Dia adalah ayah Leon.” “Oh, tidak. Apakah dia akan mengamuk di sini?” takut Iris. Serigala betina yang tadinya berani sekarang menciut karena kedatangan ayah Leon. “Aku pikir tidak. Meskipun tidak tahu apa yang sedang dia lakukan di sini, tapi aku pikir mengamuk bukanlah jawabannya.” Natasha menggelengkan kepalanya. Josef berjalan masuk ke dalam rumah. Tatapan pria itu tertuj
“Apa kau sudah gila?” terkejut Leon. Natasha menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tahu apa yang kulakukan, Leon. Dan aku pikir ini yang terbaik.” “Yang terbaik? Dengan menikahi ayahku?” Wanita itu menganggukkan kepalanya. “Benar. Semalam ayahmu datang ke rumah. Dia membicarakan rencana ini. Awalnya aku berpikir ini sangat gila. Tapi setelah mendengar alasan-alasannya yang masuk akal, aku pikir ini yang terbaik juga untuk anak-anak.” “Aku menolaknya. Kau tidak boleh menikah dengan ayahku.” “Mengapa aku tidak boleh menikah dengan ayahmu? Bukankah kau tidak mau peduli padaku, Leon? Kau bahkan mengusirku dari hidupku.”
Iris mengamati Natasha yang saat ini mengenakan gaun pengantin putih yang sangat cantik. Gaun dengan lengan panjang itu memiliki bahan dasar sutra yang lembut. Dengan bagian luarnya ditambahkan kain lace bordir dengan motif bunga yang sangat indah. Jika Natasha akan menikah dengan Leon, Iris tentu saja akan merasa bahagia untuk sahabatnya. Karena Iris tahu benar betapa Natasha mencintai Leon. Tapi sayangnya Iris tidak merasa bahagia karena Natasha akan menikah dengan Josef, ayah dari pria yang dicintainya. Bagaimana mungkin Iris bisa bahagia jika melihat usia Natasha dan Josef saja sudah terpaut sangat jauh. Ditambah Natasha akan menjadi ibu tiri untuk pria yang dicintainya. Bahkan Iris bisa melihat kesedihan mendalam di mata wanita itu. “Natasha, apa kau yakin dengan keputusanmu ini?” tanya Iris masih tidak rela jika Natas
Natasha duduk di bangku sebuah kamar ganti khusus untuk sang pengantin wanita. Dengan mengenakan gaun pengantin dan wajah yang sudah dirias, Natasha tampak seperti boneka Barbie yang sangat cantik. Kerudung putih transparan menutupi wajahnya. Di tangannya sudah ada buket bunga mawar berwarna pink lembut. Natasha menghela nafas berat. Ini bukanlah pernikahan yang diinginkannya. Tapi dia juga terpaksa melakukannya. Dia berharap sebuah keajaiban muncul. Wanita itu memejamkan matanya dan berdoa. Dia mengutarakan harapannya kepada Tuhan. Agar Tuhan memberikan jalan keluar. “MOM!” Seruan anak-anak membuat Natasha membuka matanya. Dia bisa melihat anak-anak berlari ke arahnya. Liev dan Karl mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu-abu lengkap dengan suspender. Sed
Leon yang duduk di atas ranjangnya, masih mengamati undangan pernikahan Natasha dengan ayahnya. Keinginan untuk menghentikan pernikahan itu ada. Hanya saja Leon masih saja merasa rendah diri untuk mengambil tindakan itu. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak melakukan apapun. Lagipula jika dia ingin menghentikannya sekarang pun sudah terlambat. Akhirnya Leon membuang undangan itu ke tempat sampah. "DADDY!" Seruan itu membuat Leon menoleh. Dia bisa melihat Liev, Evelina dan Karl berlari masuk ke dalam kamar rawat itu. Mereka langsung menarik kursi kemudian menaiki kursi itu sebelum akhirnya menjatuhkan diri mereka ke atas ranjang di mana Leon duduk. Di belakang mereka ada Gavin dan Iris yang berjalan masuk. "Anak-anak, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya L