Leon berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Tatapannya yang kosong memandang taman yang ada di depan rumahnya. Dua jam yang lalu Natasha dan anak-anak sudah pergi meninggalkan rumah. Membuat rumah itu menjadi sepi seperti sebelumnya. Kedua tangan Leon yang terkepal erat dimasukkan ke dalam saku celananya.
Terdengar suara pintu ruangan terbuka membuat Leon menoleh. Dia bisa melihat kepala pelayan Stalin berjalan masuk mendekati Leon.
“Apa kau sudah mempersiapkan kamar untuk Valentine?” tanya Leon saat melihat kepala pelayan itu berhenti tidak jauh darinya.
Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan muda. Saat ini Miss Levitan sedang beristirahat. Saya juga sudah menyuruh seorang pelayan untuk melayaninya.”
Rasanya kesal sama Leon. Kenapa dia bersikap seperti itu. Kasihan Natasha dan anak-anaknya menderita karena dia.
Pintu belakang rumah dibuka. Terlihat Valentine berjalan keluar menghampiri Leon yang berdiri di halaman belakang rumahnya. Pria itu tidak menyadari kehadiran Valentine karena terlalu serius menembak. Suara keras dari pistol yang melepaskan peluru ke udara sangat memekakkan telinga. Tanpa rasa takut Valentine menghampiri Leon. Wanita itu mengulurkan tangannya menyentuh bahu Leon. Dengan satu tangannya Leon memegang tangan Valentine di bahunya. Satu tangannya lagi mengarahkan pistol ke kepala Valentine. Wanita itu mengangkat kedua tangannya menandakan tak ingin melakukan perlawanan. Seketika wajah cantik Valentine menjadi pucat pasi karena takut. "Kak Leon, ini aku. Apa kau akan menembakku?" tanya Valentine. Tatapan Leon memperlihatkan kebencian. Tapi
Iris mengamati Liev, Evelina dan juga Karl yang terlihat lahap memakan burger mereka. Padahal mereka sudah aktif bermain selama satu jam. Tapi tetap saja tenaga mereka tidak berkurang. Anak-anak itu bahkan masih terlihat bersemangat. “Anak-anak, bisakah kalian memberitahu Bibi apa yang terjadi dengan ayah kalian?” Iris berusaha mengorek informasi mengenai hubungan Natasha dengan Leon dari anak-anak. Dia merasa aneh ada seseorang yang bisa membalaskan dendam dengan cara terkejam seperti itu. “Tidak usah membicarakan Daddy, Bibi.” Ekspresi Evelina berubah kesal. “Memang ada apa, Eve? Bibi hanya ingin tahu permasalahannya. Mungkin saja Bibi bisa menasehati ibu kalian.” Evelina memandang kedua saudaranya. Liev d
"Kau sedang apa, Son?" Tanya Leon saat melihat Karl asyik bermain dengan smartphone-nya. Dia bahkan tidak memperdulikan dua saudaranya yang sedang menonton film kartun. “Aku sedang main game online, daddy. Lihatlah.” Jawab Karl sembari menunjukkan game di layar smartphone-nya. Leon duduk di samping putranya untuk melihat game itu. “Daddy dulu juga suka main game ini.” “Benarkah?” tanya Karl dengan mata berbinar. Leon menganggukkan kepalanya. “Tentu saja benar. Tapi sekarang Daddy sudah tidak lagi memainkannya.” Karl memicingkan mata melihat ayahnya. “Mengapa, Daddy? Bukankah game ini sangat seru?
"Bagus. Pertahankan ekspresi itu." Seru seorang pria yang membawa kamera DSLR. Pria bernama Phillip itu mengambil gambar Natasha yang berdiri di depan meja kerja. Natasha terlihat begitu cantik mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan rok pendek hitam. Rambut pirangnya sudah dikuncir sebagian di belakang kepalanya dihiasi dengan pita berwarna hitam. Wajahnya pun diberi riasan. Bibirnya dilapisi lipstik berwarna pink lembut. Di pergelangan tangan Natasha melilit sebuah jam yang harus ditonjolkan oleh wanita itu. “Okay, sudah selesai.” Phillip menghentikan sesi pemotretan yang sudah berlangsung selama satu jam. Natasha bisa bernafas lega karena akhirnya dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Josef menendang pintu kayu berwarna coklat gelap. Seketika engsel pintu itu langsung rusak sehingga Josef bisa melihat bagian dalam rumah itu. Pria itu menyingkirkan pintu yang masih saja menghalangi jalannya. Mendengar kedatangan Josef, satu persatu pria bertubuh kekar menghampirinya. Josef menatap tiga orang pria itu satu persatu. “Sepertinya kalian tidak membuat hal ini menjadi mudah. Baiklah. Aku akan memperlihatkan kekuatan keluarga Matvey.” Josef meremas kedua tangannya hingga mengeluarkan bunyi. Satu orang pria mengarahkan pistol ke arah Josef. Dengan gerakan cepat, Josef menghampiri pria itu. Dia menendang tangan pria itu sehingga pistol di tangannya terlempar. Josef memutar tubuhnya hingga tendangan berikutnya mengenai kepala pria itu dengan begitu keras
"Anak-anak." Seru Natasha membuka pintu rumah.Namun tidak ada seruan triplet yang memanggilnya secara bersamaan. Keanehan itu membuat Natasha bertanya-tanya kemana perginya Iris bersama anak-anaknya."Liev, Eve, Karl? Dimana kalian?" tanya Natasha sembari berjalan masuk ke dalam rumah.Tidak ada tanda-tanda keberadaan anak-anaknya di ruang tamu. Rasa cemas menjalari hati dan pikirannya. Tapi Natasha berusaha untuk berpikir postiti. Akhirnya dia melangkah lagi menuju dapur."MOM!"Seruan itu membuat Natasha terlonjak kaget karena tiba-tiba triplet muncul dari balik dinding. Seketika dia menyentuh dadanya yang berdebar kencang karena
“Gavin?” panggil Natasha terkejut melihat sahabat Leon berdiri di depan pintunya dengan wajah babak belur dan kaki kanannya yang dibungkus oleh gips. Di tangannya pun memegang satu kruk untuk membantunya berjalan. “Natasha.” “Gavin apa yang terjadi padamu? Lalu apa yang kau lakukan di sini?” bingung Natasha melihat Gavin datang. Diia bertanya-tanya apakah Gavin datang bersama dengan Leon. “Aku kemari ingin bertemu denganmu, Nat.” “Bertemu denganku? Apakah Leon yang menyuruhmu kemari?” wanita itu memicingkan matanya. Gavin menggelengkan kepalanya. “Tidak. Leon tidak tahu aku kemari. Bisakah aku masuk. Berdiri dengan satu kaki terasa sangat le
“Bagus, Iris. Lanjutkan, Cantik.” Seru fotografer yang terus menerus mengambil foto Iris yang mengenakan gaun merah menyala. Karena menjelang natal sehingga semua produk mengambil tema natal. Termasuk merek sepatu yang sedang ditonjolkan oleh Iris. Sepatu hak tinggi itu tampak sangat cantik dikenakan oleh Iris. Membuat kulit putihnya tampak sangat kontras. “Oke. Sudah selesai. Kau bekerja dengan sangat bagus, Iris. Kau bisa beristirahat.” Ucap fotografer itu. “Terimakasih.” Iris pun berjalan menghampiri manajernya. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi dan merasa sangat lelah. Terutama di bagian kakinya. Kemudian wanita itu mengambil cup kopi dan meminumnya.