Seorang pria dengan pakaian jas tengah mengamati seorang wanita.
“Tuan, kami sudah menemukannya.”
“Bawah ke markas sekarang juga,” titah seorang pria di seberang telpon.
Setelah mendapatkan perintah dari suara di seberang telepon, mereka pun bergerak menculik wanita yang sejak tadi mereka intai.
“Nona Alika, kami tidak akan menyakiti Anda, jadi memberontak.”
Bagaimana Alika tidak berontak jika dia tiba-tiba diculik. “Kami hanya mengantarkanmu pada Tuan kami, dia ingin bertemu dengan Anda.”
“Aku tidak ingin bertemu dengan Tuan kalian,” bentak Alika. “Lepaskan, aku akan melaporkan kalian pada polisi.
Namun, perkataan Alika tidak didengarkan. Mereka hanya menahan Alika agar tidak memberontak. Sekitar lima belas menit, Alika di bawah kesuatu tempat.
“Lepaskan. Kenapa kalian tidak mendengarkan apa yang aku katakan. Aku akan menuntut kalian, dan memenjarakan kalian,” ancam Alika tetapi perkataannya itu membuat seorang pria tertawa.
Suara itu mampu membuat Alika berhenti memberontak. “Lepaskan dia!”
“Baik Tuan.”
“Bajingan! Sialan! Kenapa kau menculikku?” Suara Alika meninggi hingga terdengar menggema. Mata Alika baru saja dibuka membuatnya kebingungan dengan pria yang ada di hadapannya saat ini.
“Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu. Dan, mereka juga tidak akan menyakitimu,” ucap pria itu.
Alika tidak tahu siapa pria di hadapannya saat ini, ia bahkan tidak pernah bertemu dengan pria itu. “Aku merasa tidak pernah membuat masalah tapi kenapa kau menculikku.”
Pria itu tersenyum membuat rahangnya terlihat mengeras. “Ya, ini memang pertama kali kita bertemu.”
“Kalau ini pertama kalinya kita berdua bertemu, kenapa kau menyuruh mereka menculikku?” Alika membentak.
“Karena aku ayahmu dan aku datang untuk menjemputmu pulang,” ucap pria itu membuat Alika tercengang.
Mata Alika mengerjap beberapa kali, mencoba untuk “A-ayah?”
Saat itu juga Alika tertawa, dia tidak percaya ada seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Padahal 23 tahun, ia tidak pernah sama sekali mengenai sosok orang tua kandungnya.
“Iya, aku ayahmu!”
“Tidak tidak mungkin!”
“Bagaimana tidak mungkin? Kau tidak percaya jika ayahmu?”
Alika tidak ingin percaya mengenai penjelasan pria itu, ia pikir itu adalah lelucon, ia pun beranjak pergi tetapi di tahan oleh para pengawal.
“Biarkan aku pergi, aku tidak punya urusan dengan kalian.”
Kali ini tidak ada lagi pencegahan membuat Alika segera pergi. Sepanjang perjalanan, ia memikirkana pa yangd ikatakan oleh pria itu. Sama sekali tidak masuk akal baginya.
Dia cucu tunggal keluarga Lysander? Apalagi saat pria itu mengatakan jika namanya bukanlah Alika tetapi Elektra. Apa itu mungkin? Dia telah hidup 23 tahun tanpa mengenal keluarganya. Ia pikir jika pria itu mengada-ngada tetapi saat pria itu mengeluarkan foto, ia tak bisa berkata-kata. Ia keluar dan memilih untuk menganggap jika perkataan itu hanyalah sebuah lelucon untuk menipunya.
Saat tiba di rumah, Alika merebahkan tubuhnya. Ia cukup lelah, tetapi bel pintu berbunyi sesaat kemudian Arsen menerobos masuk ke kamar membuatnya terkejut. Mengambil koper, mengisi semua pakaian tanpa mengatakan alasannya.
Sementara, Alika menatap laki-laki itu seraya mengernyitkan keningnya. “What are you doing, Arsen?” tanya Alika.
Namun, Arsen belum merespon pertanyaan sang kekasih. Tentu saja membuat Alika kesal dan langsung menarik tangannya. “Arsen!” bentak Alika.
Mereka berdua kini saling berhadapan. Arsen menghela napas panjang, lalu berkata, “Paspor, uang, dan semua berkas yang kau butuhkan, ada di dalam amplop ini.”
“Apa maksud semua ini? Kenapa ada paspor? Kau ingin aku pergi?” tanya Alika dengan raut memucat.
Arsen mengangguk singkat. “Pergilah ke Amerika. Kau akan bekerja si salah satu Firma hukum di sana. Aku sudah mengurus semuanya, kau hanya harus pergi dan melahirkan di sana. Aku akan menyusulmu minggu depan setelah mengurus beberapa hal di sini," ucapnya.
Tatapan Alika seketika sendu. Dia masih belum mengerti mengapa kekasihnya melakukan semua itu. Benar-benar sangat mendadak.
Perkataan pria itu kini terbukti, mengatakan jika Arsen akan mengirimkannya ke luar negeri.
"Ikuti apa yang aku perintah. Ya?" lirih Arsen mengiringi sentuhan lembut pada pipi Alika.
“Aku tidak mau," tolak sang kekasih.
“Al, please. Ini demi kebaikanmu, jika kamu tidak pergi ke Amerika—maka semua orang di sini akan memandangmu hina karena hamil di luar nikah. Apa yang akan orang-orang kantormu katakan jika mereka tahu kau sedang hamil.” Arsen pun mengatakan alasannya tapi juga kenyataan setengah menghina.
“Bukankah kau akan bertanggung jawab?” tanya Alika dengan manik mata berkaca-kaca.
“Iya. Aku akan bertanggung jawab," sahut Arsen.
Terdengar meyakinkan memang, tapi Alika tidak yakin jika itu adalah jalan yang terbaik untuk mereka berdua. “Terus kenapa kau memintaku untuk pergi ke Amerika? Bukankah kamu berjanji untuk mengajakku pergi menemui orang tuamu?” tanyanya lagi.
“Aku akan membawa mereka ke Amerika. Ada masalah di sini yang mengharuskanku tinggal sementara waktu, setelah masalah itu selesai aku pasti akan menyusulmu.” Sekali lagi, Arsen berusaha meyakinkan Alika mengenai keputusan sepihak yang dibuatnya.
“Tidak. Aku tidak akan pergi. Kau sudah berjanji padaku," tukas Alika.
“Ikuti apa yang aku katakan. Pergilah ke Amerika demi bayi kita!” bentak Arsen dengan suara tinggi.
Seketika Alika terdiam. Raut wajah Arsen terlihat menakutkan saat ini, membuatnya tidak berani bicara apapun lagi. Meskipun masih ada beberapa hal yang ingin dia tanyakan, tapi tatapan tajam Arsen berhasil membuatnya bungkam.
Alika tidak lagi berpikir untuk menolak saat dokumen penting yang diberikan oleh Arsen digenggamnya erat.
“Ini demi bayi kita,” ucap Arsen lirih sambil menggenggam tangan Alika, dia mencoba untuk membuat Alika percaya dengan ucapannya.
Alika tersenyum tipis. “Ya ... aku percaya,” lirihnya yang telah menyadari kebenaran dari permintaan Arsen, “bayi ini tidak bersalah,” imbuh perempuan itu sambil mengelus perut yang sedikit membuncit.
Lagi pula, Alika sangat khawatir jika semua teman firmanya tahu mengenai kehamilannya, pasti akan mendapatkan gunjingan.
“Terima kasih sudah mengerti,” kata Arsen kemudian.
Arsen menatap Alika yang saat ini melihat ke luar jendela, sorot mata sendu memperlihatkan jika dia menyembunyikan sesuatu. Ketika Alika masuk ke garbarata, Arsen segera pulang tanpa dia sadari jika Alika tidak benar-benar masuk ke dalam pesawat, bahkan wanita itu tengah mengikuti mobil Arsen.
Sepanjang perjalanan menuju airport, Alika memikirkan sikap Arsen memintanya pergi ke luar negeri begitu mendadak, ia merasa jika Arsen menyembunyikan sesuatu. Walaupun ragu, ia ingin memastikan apa yang dikatakan oleh pria itu padanya. Apakah pria itu berbohong atau tidak.
Mobil Arsen ternyata masuk ke dalam sebuah gedung pernikahan yang begitu mewah. Alika masih mengikutinya, menatap tempat itu penuh rasa penasaran.
“Siapa yang menikah? Kenapa Arsen datang ke tempat ini?” Alika mulai bertanya pada dirinya sendiri.
Dia melangkahkan kaki memasuki gedung pernikahan tersebut membawa perasaan yang kacau. Pikirannya mendadak menebak kemungkinan terburuk yang akan dilihat nanti. Bukankah tidak mungkin tidak, jika acara yang digelar sedemikian megahnya adalah pernikahan Arsen sendiri?
“Vero? Dia menikah?” monolog Alika saat melihat seorang wanita cantik yang menjadi sorotan dalam acara tersebut.
“Sungguh? Kenapa dia tidak memberitahuku?” tanyanya kemudian.
“Apa mungkin aku yang tidak membaca pesannya?” Sesegera mungkin Alika mengecek ponsel, tetapi tidak menemukan satupun pesan dari Vero. “Apa dia lupa mengundangku? Ya, mungkin dia lupa, tapi siapa pria yang menikah dengannya?”
Dia kembali berpikir keras ketika pembawa acara menyebut nama Arsen disertai pria itu datang dengan setelan tuxedo—membuatnya sangat shock.
“M-mereka—” ucapan Alika tertahan.
Dia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan erat melihat pasangan pengantin yang baru akan mengikrarkan janji di hadapan Tuhan.
Alika belum sadar dengan kenyataan yang berada di hadapannya saat ini. Hingga Arsen selesai mengikrarkan janji, barulah Alika tersadar. Ia berjalan menaiki altar pernikahan membuat tamu undangan menatap ke arahnya. Ibu Arsen membulatkan mata, melihat wanita yang tidak diinginkan hadir di acara pernikahan putranya.
Satu tamparan cukup kuat dan nyaring mendarat di pipi Arsen saat pria itu baru saja membalikan badan. Vero terkejut saat melihat Alika berada di altar.
“Al?” Bagai disambar petir, Arsen melihat Alika di depan matanya. “B-bagaimana kau—”
“Oh, ternyata ini alasan memintaku pergi ke Amerika agar kau bisa menikah dengan Vero. Hebat, ya. Sangat hebat.” Alika bahkan sampai memberikan tepuk tangan atas apa yang dilakukan oleh Arsen.
Arsen tidak menjawab, dia memilih menunduk. Sesaat kemudian terdengar tawa yang membuat fokus semua orang mengarah pada mereka. “Pantas saja, kau bersikap aneh ternyata—”
“Kenapa kau tidak ….”
Terdengar suara tamparan yang baru saja mendarat di pipi Alika. Semua orang dibuat terkejut akan hal itu, termasuk Arsen dia tidak menyangka jika sang mama akan melakukan hal itu pada Alika. Terlihat raut wajah yang dipenuhi amarah saat melihat wanita yang baru saja menganggu pernikahan putranya.
“Jangan ganggu putraku lagi, dasar wanita murahan. Kau tidak pantas menjadi menantu keluarga kami,” hina Sonia.
“Tuan, apa Anda hanya akan melihat Nona–” Seorang pria tengah mencoba agar sang boss menyelamatkan Alika.
“Biarkan saja!”
Alika mengusap pipinya yang baru saja mendapatkan tamparan. Dia menghela napas kasar mendengar penghinaan yang baru saja didapatkan. Sungguh tidak menyangka, di depan begitu banyak orang ia diperlakukan tidak sepantasnya seperti itu.
Semua mata tertuju padanya. Apalagi, suara Sonia begitu menggema memenuhi ruangan yang ukurannya begitu luas, membuat seisi ruangan itu bisa mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh wanita paruh baya itu.
Beberapa bisik-bisik pun terdengar membuat Alika melihat sekeliling. Ia sangat jelas bisa merasakan jika semua mata memandang penuh dengan kehinaan bahkan tak ada satupun ingin membela.
"Kau telah merusak acara pernikahanku," ucap Vero dengan tatapan mata yang memerah.
"Aah, merusak acaramu, ya? Kau bahkan sudah menghancurkan masa depanku, Ver!" bentak Alika seiring senyuman sinisnya.
Emosi Sonia memuncak begitu melihat Alika yang tidak tahu diri membuat keributan di pesta pernikahan putranya. Dia mendorong Alika, hingga membuatnya terjatuh.
Arsen langsung hendak menghampiri Alika, tapi Sonia sudah lebih dulu menarik tangannya. "Diam!" perintah wanita itu.
Sementara, Alika hanya bisa menatap Arsen dengan rasa benci. Sonia juga menggandeng tangan Vero dan mengajak sepasang pengantin baru itu pergi dari sana.
"Mari saya bantu," ucap seorang pelayan laki-laki sambil berjongkok di depan Alika.
Miris memang, dari sekian banyak orang di dalam gedung itu, hanya ada satu yang mau membantunya. Itu pun seorang pelayan. Alika lantas menerima bantuan sang pelayan seraya berdiri. Tatapannya begitu sinis—memperhatikan kepergian Arsen bersama dua wanita itu.
“Aku akan mengirimkan sisa pembayarannya jika kau telah menghabisi nyawanya,” seru Vero berbicara pada seorang pria di seberang telpon.Vero mematikan panggilan secara sepihak, mengetahui jika Alika ternyata mengandung anak Arsen, dia harus menghilangkan Alika dan bayi itu agar Arsen akan tetap menjadi miliknya.Sudah sejak lama, Vero menyukai Arsen tetapi pria itu malah menyukai Alika anak yatim piatu. Arsen hanya melihatnya sebagai sahabat masa kecil, hal itu membuat Vero semakin dendam pada Alika.Seorang pria tengah duduk di atas pohon memegangi sebuah senjata laras panjang. Mata pria itu tengah membidik, sebuah mobil sedan yang tengah melaju di jalanan menggunakan teleskop senjatanya miliknya.Ketika mobil itu lewat sesuai perkiraannya, seketika dia menarik pelatuk senjata dan—Dor! Dor! Dor!Beberapa kali tembakan ia lesatkan membuat mobil yang tengah melaju kehilangan kendali, pengemudi seketika menginjak rem mendadak, hingga akhirnya mobil itu menggelinding dan terbalik di jal
Seminggu telah berlalu saat Alika kecelakaan. Pria yang menolongnya pun, tidak terlihat setelah itu. Seakan hilang entah ke mana, beberapa perawat yang berbisik-bisik mengenai Alika yang tidak ada satupun keluarga yang datang untuk menjenguk.Bau disinfektan tercium pekat di hidung, samar-samar ia membuka mata terlihat langit-langit kamar berwarna putih. Ia melirik ke kiri dan ke kanan, Alika menyadari jika dia berada di rumah sakit."Kau sudah sadar?" Suara yang dikenal Alika di sana. Benar saja, terlihat pria yang mengaku ayahnya duduk di sofa, tidak luput beberapa pria yang menjaga di sana. "Panggil dokter!"Sekilas kepalanya terasa sakit disertai pusing, Alika mengingat kejadian yang baru saja terjadi membuatnya segera mengelus perut, dia merasakan ada yang sesuatu yang ganjil pada tubuhnya. Dokter pun segera bergegas ke ruangan Alika, sesaat memberikan hormat pada pria itu. "Tuan Ankara!""Jangan pedulikan aku, laksanakan saja tugasmu, anggap aku tidak ada di sini," ucap pria di
Ankara hanya memperhatikan putrinya yang sejak tadi diam di atas hospital bed. Saat putrinya kembali hanya menangis, kemudian diam dan kembali menangis lagi. Sepanjang malam, ia hanya melihat Alika menangis. Hanya laporan dari pengawal yang didengarnya mengenai apa yang terjadi di keluarga Matthias. “Kenapa? Apa kau baru tahu sifat asli dari keluarga mantan kekasihmu itu?” Ankara mengawali pembicaraan membuat Alika menatap sendu ke arahnya. “Mereka akan mengantarkanmu pulang,” ucap Ankara kemudian beranjak dari tempat duduknya. “Kita berdua akan bicara setelah kondisimu sudah membaik,” tambah Ankara lagi. Pengawal yang mengantarkan Alika, bukan mengantarkannya ke apartement tapi mengantarkanya ke sebuah rumah berlokasi di Cilandak Margasatwa Townhouse. Kawasan rumah megah di Jakarta Selatan. Ia tahu dengan persis harga rumah di kawasan tersebut. “Tuan, tidak ingin Anda kembali ke Apartemen itu lagi. Beliau memintaku untuk mengemas seluruh barang-barang Anda, saya telah menata kemb
Dua minggu telah berlalu sejak hari itu, hari di mana pengkhianat terjadi begitu nyata tepat di hadapannya. Tak pernah Alika sangka jika dirinya diperlakukan seperti ini oleh orang yang ia sayang dan cintai. “Kalian, lihat saja!” seru Alika mengeram. Tapi tunggu dulu, orang yang disayang dan dicintai? Ah, tidak! Mungkin itu dulu, tidak untuk sekarang. Cinta dan sayang untuk Arsen sudah tak lagi ada! Kini, yang tersisa dari semuanya itu adalah sebuah rasa benci yang begitu dalam. Tak akan pernah ada kata maaf untuk pengkhianat seperti Arsen itu! Alika menggenggam erat kedua tangannya mencoba untuk tetap bisa mengendalikan dirinya sendiri di tempat keramaian seperti ini. Jika saat ini ia sedang berada di rumah, mungkin beberapa barang akan siap jadi pelampiasan dari kemarahannya ini. Ia berjalan menyusuri jalanan Amerika, tepatnya di New York. Tempat di mana Asren memintanya untuk tinggal. Alika mengunjungi tempat itu, sebelum ia benar-benar harus melupakan segala hal mengenai Arsen
Alika membuka matanya, ia beberapa kali mengerjap. Suasana yang merasa asing terlihat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tidak ingat apapun, setelah menangis, dia tertidur. Sebuah ketukan terdengar sesaat membuat Alika melirik ke asal suara. “Masuk!” “Nona.” Suara Farhan pelan terdengar saat pintu terbuka. “Tuan menuggumu di lantai bawah!” Walaupun masih enggan untuk bangun, Alika turun. Saat ia duduk, televisi dinyalakan memperlihatkan sebuah berita. ‘Ditemukan mayat wanita di tepi pantai bernama Alika Farhan, diperkirakan bunuh diri’ Alika yang melihat berita itu hanya bisa terdiam. Itu adalah berita tentang kematiannya, dalam semalam dia meninggal dan dalam semalam juga, dia mengganti identitas lain. “Alika sudah mati!” Ankara membuka suara sambil melihat ke arah putrinya. “Hanya ada Elektra Jagna Lysander, pewaris utama keluarga Lysander!” tegas Ankara. Tatapan Alika masih terfokus pada berita yang menyatakan dirinya meninggal. “Nona, Anda tidak perlu bingung. Sudah ha
Elektra baru saja turun setelah seorang maid memanggilnya untuk sarapan. Di meja terlihat Ankara yang tengah duduk menikmati sarapannya. Hanya ada suara alat makan beradu terdengar. Telah beberapa bulan berada di Italia, Elektra sudah beradaptasi, dia membagi waktu untuk mempelajari apa yang diminta Ankara. “Bagaimana tidurmu?” Ankara memulai pertanyaan saat ia meletakan peralatan makan di atas meja pertanda jika dirinya telah selesai. “Baik!” “Bagaimana dengan pelajaranmu?” “Nona mempelajarinya dengan sangat baik, Tuan. Nona benar-benar sangat cepat mempelajari apa yang saja ajarkan!” Ankara menganggukan kepala. “Tidak masalah di kantor ‘kan?” Tidak ada sahutan dari wanita yang diajaknya bicara membuat Ankara melihat Elektra. “Katakan jika kau butuh sesuatu!” Elektra menganggukan kepala. “Selesaikan sarapanmu. Sepertinya sudah waktunya kau harus tahu bisnis kita. Siap-siap, kita akan pergi setelah ini. Aku akan menunjukan padamu bisnis yang kita kerjakan,” seru Ankara kemudia
Wajah Elektra begitu pucat, dia bahkan tidak bisa tidur selama beberapa hari mengingat kejadian di ruangan mengerikan itu. Pikiran mengenai apa yang dilihat tidak pernah hilang dari kepalanya. Bagaimana bisa seseorang tidak memiliki perasaan kasihan saat melihat dan mendengar jeritan dari orang yang disiksa, bahkan tertawa melakukan hal keji itu. Rambut yang sesekali diacak, serta berteriak histeris membuat maid yang berada di luar khawatir mengenai kondisi Elektra. “Dia tidak pernah menyentuh makanan yang kita berikan, ini sudah satu minggu,” keluh salah satu maid yang tengah berdiri di depan kamar Elektra sambil membawa nampan makanan yang tidak disentuh oleh Elektra sama sekali. Mata mereka melihat ke arah pintu kamar yang terkunci. “Tuan Ankara pasti tidak akan mengampuni kita jika terjadi sesuatu pada Nona Muda,” ucap salah seorang maid pada temannya. “Apa kita melaporkan hal ini pada Tuan?” tanyanya, hanya ada gelengan kepala dari temannya. “Huh. Sebenarnya, apa yang dilakuk
“Aku akan membuat mereka merasakan penderitaan yang mengerikan.” Elektra berkata dengan lantang. “Akhirnya bisa melihat semangat itu lagi di matamu. Kupikir kau akan menyerah.” “Aku hanya shock, melihat apa yang ditunjukan Jason padaku, benar-benar mengerikan. Semuanya berlawanan dengan--tapi jika ingin menjadi kuat dan berkuasa aku harus bisa melakukannya.” Ankara tersenyum. “Siapkan pakaian untuknya, hubungi orang-orang yang biasanya membuatkanku pakaian, jangan lupa datangkan mereka untuk mengubahnya,” ucap Ankara membuat Elektra kebingungan. “Apa yang ingin kau lakukan?” “Kau harus mengubah penampilanmu jika kau benar-benar ingin menjadi orang berbeda dari sebelumnya. Pakaian, tampilan, semuanya harus berubah,” ucap Ankara. “Tapi, aku tidak ingin menarik perhatian nanti.” Elektra menolak tawaran Ankara. “Sepertinya tidak perlu, aku—” “Jangan menolak. Kau putriku, kau adalah pewaris. Apa kau akan membiarkan orang lain menghinamu seperti yang dilakukan keluarga Matthias, huh?
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Hotline berita begitu menarik banyak perhatian public. Di mana mereka menulis jika Elektra membela seorang pelaku dengan menjadi pengacaranya.“Tch. Sudah kuduga akan seperti ini,” gerutu Elektra kemudian menyambar remote dan mematikannya.Magno baru saja masuk dengan wajah yang sulit untuk diartikan. “Kita ke kantor.”“Banyak reporter di sana.”“Kau tidak bisa menangani mereka, huh?”Melihat raut wajah Magno dia bisa tahu jawabannya. “Aku tidak akan mati hanya karena mereka, ayo kita ke kantor,” ucap Elektra.Saat tiba di parkiran mata Elektra tertuju pada Regan yang berdiri di samping mobil. Magno pun terkejut dengan kehadiran pria itu.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku mengkhawatirkanmu, aku melihat berita dan datang. Kau tidak membalas pesan ataupun mengangkat telponku.”Elektra baru ingat dia tidak memang ponselnya. “Kau mau ke kantor?” Regan lagi-lagi bertanya. “Ikut denganku di dalam mobil, mereka pasti akan mengenali mobilmu tapi mereka tidak akan mencegah mobilku masuk,” t
Arsen benar-benar tidak bisa terima jika ada pria lain yang mendekat pada Elektra. Keinginannya mendekati Elektra berubah menjadi obsesi.“Enak ‘kan? Aku tebak kau tidak pernah merasakan nasi goreng seperti ini,” seru Regan. “Mau lagi?” Regan kembali menyendok nasi miliknya dan menyuapi Elektra. Lagi-lagi Elektra membuka mulutnya menerima suapan dari Regan.Mungkin banyak yang mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih yang tengah berkencan.Di saat bersamaan, sebuah ponsel di atas meja berbunyi menampilkan sebuah pesan. Melihat pesan yang dikirimkan padanya membuat pria itu mengerutkan kening, sesaat kemudian menghubungi yang mengirimkan pesan padanya.“Pergi dari sana. Jangan ganggu dia, jangan sampai ketahuan.”“Baik Tuan.”Saat menerima pesan dari anak buahnya, Ankara memejamkan mata. Kemudian menghubungi satu nama di ponselnya. “Tolong cari informasi mengenai seseorang untukku,” serunya kemudian mematikan panggilan tapi mengirimkan satu foto.“Kau tidak akan menolak sepiring n
Dari kejauhan terlihat pria yang tadi mengirimkan pesan pada Elektra, dia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah wanita yang dilihatnya baru saja keluar dari pintu lift menuju basement kantor.“Kau mengajakku keluar karena ingin membayar hutangmu?”Regan segera menganggukan kepala. “Ya, dan juga ingin merayakan denganmu karena diterima menjadi pengacara di sini,” jawab Regan jujur.“Ayo,” seru Regan membukakan pintu mobilnya. “Maaf, mobil saya tidak seperti mobilmu,” ucap Regan saat masuk ke dalam mobil.Elektra bahkan tidak mempermasalahkan itu, apalagi bau parfum menyengat, tidak buruk menurutnya. Wanginya menenangkan dengan aroma kayu.Tidak ada ekspresi di wajah Elektra saat masuk ke dalam mobil. “Apa kau tidak suka dengan mobilku? Kita bisa—““Tidak. Ayo pergi saja,” bantah Elektra menenangkan Regan yang terlihat sedikit segan dengan sikapnya.H
Elektra mengumpati dirinya yang saat ini tengah duduk di dalam mobil sambil memperhatikan seseorang dari dalam mobil. Magno yang ada disampingnya pun menatap dengan penuh tanya, mengenai apa yang dilakukan oleh sang nona.Mata Elektra tertuju pada pria yang berada di dalam restoran, beberapa saat kemudian pria itu beranjak dari restoran tersebut. Dia berjalan santai menuju parkiran dan menyadari jika hari sudah sore. Buru-buru ia mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.Tanpa disadari—Elektra yang bersembunyi di dalam mobilnya kini membuntuti Regan. Ternyata dia juga penasaran terhadap laki-laki itu karena selalu mengajaknya bicara.“Kau tertarik dengannya?” Magno barulah membuka suara. Lirikan tajam dari Elektra terlihat, “Okay. Aku tidak akan bertanya lagi,” lanjutnya.Seram juga menanyakan hal seperti itu pada Elektra. Namun, dia suka jika Elektra menunjukan sikap seperti itu.Magno sengaja memberi jarak yang
"Hai, tu— tunggu." Regan mencoba menahan Elektra agar tidak pergi.Sayangnya, wanita itu tidak ingin bicara dan langsung mengemudikan mobilnya meninggalkan Regan."Ah, sial!" umpat Regan karena lagi-lagi dia gagal mengajak Elektra bicara. “Padahal dia ingin mentraktirnya.”Dia pun memilih pergi dari Firma Hukum Lyosa karena masih ada perut kelaparan yang harus diberi makan. Regan lantas mengemudikan mobilnya menuju sebuah restoran terdekat.Lagi-lagi kedatangan Regan di restoran tersebut mengundang perhatian orang-orang sekitar. Ketampanannya memang telah diakui banyak orang. Namun, Regan sendiri bingung mengapa Elektra sama sekali tidak tertarik padanya? Bahkan setelah mereka bertemu beberapa kali."Ck! Aku sungguh tidak nyaman ditatap oleh mereka seperti itu," celetuk Regan seraya memasuki restoran.Walaupun begitu, dia tidak berniat untuk mencari tempat makan yang lainnya. Regan sengaja memilih tempat duduk di sudu
Kamar yang tertata rapi, deretan buku-buku hukum ada di dalam membuat kamar tersebut sesuai dengan pemilik kamar. Sederhana tapi sangat bersih."Bangun, Regan. Katamu ada acara hari ini?" Seorang wanita berkata lembut setelah membuka korden jendela kamar putranya."Iya, Ma," jawab laki-laki itu seraya berkedip cepat.Dia ingat sekali jika hari ini akan ada interview bagi orang-orang yang sudah mendaftar di Firma Hukum Lyosha. Seketika Regan bangun dengan penuh semangat dan ingin segera diwawancarai, sekaligus berharap bisa bertemu pengacara cantik lagi di sana."Aku mandi dulu ya, Ma," pamit Regan."Iya, Sayang," sahutnya.Begitu Regan masuk kamar mandi, wanita paruh baya itu langsung membereskan tempat tidur sang putra. Kemudian—menyiapkan sarapan dan melakukan aktivitas yang lain.Berhubung sudah hampir terlambat, Regan mempercepat proses mandinya dan segera memakai baju se-rapi mungkin. Dia berdiri di depan cer
Elektra lagi-lagi terbangun melihat ruangan yang berbeda. Ruang kamar dengan cat berwarna abu. “Sial. Kenapa aku tidak sadar jika dia menggendongku pulang,” gerutu Elektra sambil mengacak rambut. Setelah merasa nyawanya terkumpul, Elektra turun dari tempat tidur, dia mencari keberadaan Magno tetapi tidak menemukan pria itu di manapun. Namun, sarapan pagi berada di atas meja membuatnya segera menyantapnya. “Ke mana perginya, dia? Bukankah ini masih pagi?” tanya Elektra sambil mencari letak jam, dia ingin tahu saat ini pukul berapa. Namun saat dia melihat jam, begitu terkejut dirinya. “Astaga. Apa aku tidur selama itu?” tanya Elektra. Jam telah menunjukan pukul 3 sore. Sesaat Elektra terdiam. “Makanannya masih hangat, apa dia pulang dan membuatkanku makanan?” Elektra tersadar mengenai hal itu. Setelah menyelesaikan makannya, Elektra bergegas membersihkan diri. Di dalam kamar tersedia pakaian ganti untuknya. “Dia selalu tahu, fash