Dua minggu telah berlalu sejak hari itu, hari di mana pengkhianat terjadi begitu nyata tepat di hadapannya. Tak pernah Alika sangka jika dirinya diperlakukan seperti ini oleh orang yang ia sayang dan cintai.
“Kalian, lihat saja!” seru Alika mengeram.
Tapi tunggu dulu, orang yang disayang dan dicintai? Ah, tidak! Mungkin itu dulu, tidak untuk sekarang. Cinta dan sayang untuk Arsen sudah tak lagi ada! Kini, yang tersisa dari semuanya itu adalah sebuah rasa benci yang begitu dalam. Tak akan pernah ada kata maaf untuk pengkhianat seperti Arsen itu!
Alika menggenggam erat kedua tangannya mencoba untuk tetap bisa mengendalikan dirinya sendiri di tempat keramaian seperti ini. Jika saat ini ia sedang berada di rumah, mungkin beberapa barang akan siap jadi pelampiasan dari kemarahannya ini.
Ia berjalan menyusuri jalanan Amerika, tepatnya di New York. Tempat di mana Asren memintanya untuk tinggal.
Alika mengunjungi tempat itu, sebelum ia benar-benar harus melupakan segala hal mengenai Arsen, serta perlawanan untuk balas dendam pada keluarga Matthias yang tidak memiliki sedikitpun rasa kemanusiaan padanya.
Ia mengusap lembut perut yang rata itu, seharusnya saat ini, janinnya masih ada di dalam perut. Namun, karena keluarga itu, semua benar-benar habis tak bersisa.
"Nak, maaf ‘kan Mama, ya, karena Mama tidak bisa menjagamu dengan baik. Mama tidak bisa membawa kamu lahir dan melihat dunia yang indah ini, meskipun banyak orang yang penuh kepalsuan tapi, Mama berjanji akan membalas semua perbuatan mereka karena telah memisahkan kita berdua. Mama akan membuat mereka membayar nyawa kamu!" ucap Alika dengan begitu lirih, air matanya juga jatuh ketika mengingat sudah tak ada lagi nyawa yang hidup di dalam perutnya.
Dalam banyaknya orang yang berlalu lalang itu, entah kenapa Alika seperti merasa sedang diawasi saat ini.
Langkah kaki Alika berhenti di tengah-tengah orang yang berlalu lalang tersebut. Karena terkenal dengan negara paling sibuk, bahkan tak ada yang memperhatikan Alika yang tiba-tiba berhenti.
Alika mencoba untuk menyapu ke sekelilingnya, ia benar-benar merasa bahwa saat ini dirinya sedang diawasi. Tapi, tak ada siapapun yang ia temui. Alika mencoba untuk berpikir positif, mana mungkin ada orang jahat di tengah keramaian seperti ini.
“Mungkin perasaanku saja,” batin Alika. Ia pun melanjutkan langkahnya segera kembali ke rumah. Ia sengaja ingin berjalan kaki untuk memikirkan segala hal yang dikatakan sang ayah padanya.
Sebuah keputusan besar yang diambil.
Langkah demi langkah terasa begitu kurang mengenakan, Alika merasa benar-benar ada yang mengikuti dirinya. Ia mempercepat langkahnya, dan langkah kaki orang di belakangnya juga semakin cepat seolah seirama dengan langkah kaki Alika.
Tentu saja, hal ini membuat Alika sangat panik sekali. Ia tak tahu, harus meminta bantuan pada siapa saat ini. Dirinya hanyalah sebatang kara disini, tanpa teman ataupun keluarga.
Alika memberanikan diri untuk membalikkan badannya, setidaknya hal itu harus ia lakukan agar ia bisa untuk mengenali siapa orang yang sejak tadi mengikutinya, bukan?
Ketika ia berbalik, Alika menghentikan langkahnya. Matanya melebar dengan sempurna melihat sosok yang sejak tadi terus mengikuti dirinya.
"Arsen," gumam Alika.
Iya, sosok yang sejak tadi mengikuti Alika adalah Arsen, laki-laki itu tidak sempat untuk bersembunyi saat Alika mendadak menoleh ke belakang.
"Alika," jawab Arsen sambil tersenyum dengan manis.
Alika sesaat tersenyum melihat pria itu tetapi mengingat apa yang telah diperbuat oleh Arsen dan keluarganya membuatnya mengubah raut wajahnya. Rasa benci pada sosok laki-laki yang pernah bertahta di hatinya kini makin membara.
"Pergi!" ucap Alika dengan penuh penekanan. Sorot matanya juga begitu tajam pada Arsen.
"Tapi Al—“
"Aku bilang pergi!" potong Alika lagi. Ia tak ingin mendengar apapun lagi dari mulut Arsen. Tak akan ia membuat dirinya menjadi bodoh akan rasa cinta. Lagipula, ia dan Arsen bukanlah sepasang kekasih lagi. Tak ada keterikatan apapun, mereka hanyalah dua orang yang pernah menjalankan hubungan dan melakukan hal bodoh dan berakhir dengan dirinya ditinggal menikah.
"Al, beri aku waktu sebentar saja untuk menjelaskan semuanya pada kamu."
"Enyahlah! Aku dan kamu, kita berdua bukan lagi kita yang dulu. Tolong untuk menjaga jarak denganku! Dan yang paling penting di sini, kamu adalah orang asing bagiku setelah hari itu!"
Alika mengatakan itu dengan begitu lantang sekali seperti menegaskan bahwa ia tak ingin diganggu oleh Arsen.
Arsen menggelengkan kepalanya, "Tidak! Kamu harus mendengarkan penjelasan aku dulu! Ayolah Al, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Please, mengerti aku sekali ini saja. Aku juga tidak punya pilihan lain waktu itu."
"Bullshit! Shut up, Arsen!”
Alika melangkah dengan cepat untuk segera pergi meninggalkan Arsen, ia tak ingin mendengarkan apapun itu.
"Al," panggil Arsen, ia mencoba untuk menyamakan langkahnya dengan Alika. Ia sudah datang sejauh ini, dan tak akan ia biarkan Alika hilang dari pandangan matanya begitu saja.
Alika menghentikan langkahnya dan menatap tajam dengan ekspresi dingin, "Jangan ikuti aku! Hubungan kita tidak ada yang perlu dijelaskan lagi!"
Entah apa lagi yang harus mereka bicarakan setelah hubungan antara mereka sudah usai seperti ini. Alika kemudian menarik mantel miliknya dan pergi menemui Arsen. Dia ingin pria itu pergi dari kehidupannya.
“Apalagi yang harus kita bicarakan Arsen, huh?”
“Aku ingin menjelaskan kenapa aku menikah dengan Vero, dan juga bayi kita.”
“Bayi kita? Kau baru saja mengatakan bayi kita? Apa aku tidak salah dengar? Setelah yang kau lakukan padaku, kau mengatakan bayi kita?” Tatapan Alika dipenuhi oleh kemarahan.
“Setidaknya biarkan aku menjelaskan padamu.”
“Apa kau tidak punya telinga, huh? Pergilah. Aku tidak ingin kau menggangguku lagi.
Arsen tidak dapat berbuah banyak, dia pergi tanpa menjelaskan apa yang terjadi. Selepas Arsen pergi, Alika berteriak penuh histeris membuat beberapa pejalan kaki melihat ke arahnya. Rasa sesak di dalam hati Alika mengingat kembali kehilangan bayinya membuat pikiran Alika kosong, dia gelap mata dan melangkah tanpa arah laut. Dinginnya air laut seakan tidak terasa.
Ankara yang melihat putrinya segera berlari, bergegas menyelamatkannya. Begitu susah payah dia meraih tubuh Alika, dengan kondisi dirinya sendiri yang tidak baik-baik saja.
“Apa kau bodoh, huh?” tanya Ankara sambil membantu Alika agar bernapas lagi. Beberapa kali dia mengomeli Alika yang masih belum sadarkan diri. Hingga akhirnya Alika terbangun.
“Apa yang kau pikirkan? Apa kau pikir bunuh diri akan membuat masalahmu selesai? Tidak.” Ankara membentak Alika membuat putrinya yang baru saja kembali dari kematian menangis histeris. “Kau benar-benar bodoh.”
Tidak ada satupun kalimat bantahan dari Alika, dia hanya menangis dan terus menangis sedangkan Ankara memeluknya. Berharap agar Alika bisa tenang di dalam pelukannya.
“Apa kau ingin balas dendam?”
Alika membuka matanya, ia beberapa kali mengerjap. Suasana yang merasa asing terlihat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tidak ingat apapun, setelah menangis, dia tertidur. Sebuah ketukan terdengar sesaat membuat Alika melirik ke asal suara. “Masuk!” “Nona.” Suara Farhan pelan terdengar saat pintu terbuka. “Tuan menuggumu di lantai bawah!” Walaupun masih enggan untuk bangun, Alika turun. Saat ia duduk, televisi dinyalakan memperlihatkan sebuah berita. ‘Ditemukan mayat wanita di tepi pantai bernama Alika Farhan, diperkirakan bunuh diri’ Alika yang melihat berita itu hanya bisa terdiam. Itu adalah berita tentang kematiannya, dalam semalam dia meninggal dan dalam semalam juga, dia mengganti identitas lain. “Alika sudah mati!” Ankara membuka suara sambil melihat ke arah putrinya. “Hanya ada Elektra Jagna Lysander, pewaris utama keluarga Lysander!” tegas Ankara. Tatapan Alika masih terfokus pada berita yang menyatakan dirinya meninggal. “Nona, Anda tidak perlu bingung. Sudah ha
Elektra baru saja turun setelah seorang maid memanggilnya untuk sarapan. Di meja terlihat Ankara yang tengah duduk menikmati sarapannya. Hanya ada suara alat makan beradu terdengar. Telah beberapa bulan berada di Italia, Elektra sudah beradaptasi, dia membagi waktu untuk mempelajari apa yang diminta Ankara. “Bagaimana tidurmu?” Ankara memulai pertanyaan saat ia meletakan peralatan makan di atas meja pertanda jika dirinya telah selesai. “Baik!” “Bagaimana dengan pelajaranmu?” “Nona mempelajarinya dengan sangat baik, Tuan. Nona benar-benar sangat cepat mempelajari apa yang saja ajarkan!” Ankara menganggukan kepala. “Tidak masalah di kantor ‘kan?” Tidak ada sahutan dari wanita yang diajaknya bicara membuat Ankara melihat Elektra. “Katakan jika kau butuh sesuatu!” Elektra menganggukan kepala. “Selesaikan sarapanmu. Sepertinya sudah waktunya kau harus tahu bisnis kita. Siap-siap, kita akan pergi setelah ini. Aku akan menunjukan padamu bisnis yang kita kerjakan,” seru Ankara kemudia
Wajah Elektra begitu pucat, dia bahkan tidak bisa tidur selama beberapa hari mengingat kejadian di ruangan mengerikan itu. Pikiran mengenai apa yang dilihat tidak pernah hilang dari kepalanya. Bagaimana bisa seseorang tidak memiliki perasaan kasihan saat melihat dan mendengar jeritan dari orang yang disiksa, bahkan tertawa melakukan hal keji itu. Rambut yang sesekali diacak, serta berteriak histeris membuat maid yang berada di luar khawatir mengenai kondisi Elektra. “Dia tidak pernah menyentuh makanan yang kita berikan, ini sudah satu minggu,” keluh salah satu maid yang tengah berdiri di depan kamar Elektra sambil membawa nampan makanan yang tidak disentuh oleh Elektra sama sekali. Mata mereka melihat ke arah pintu kamar yang terkunci. “Tuan Ankara pasti tidak akan mengampuni kita jika terjadi sesuatu pada Nona Muda,” ucap salah seorang maid pada temannya. “Apa kita melaporkan hal ini pada Tuan?” tanyanya, hanya ada gelengan kepala dari temannya. “Huh. Sebenarnya, apa yang dilakuk
“Aku akan membuat mereka merasakan penderitaan yang mengerikan.” Elektra berkata dengan lantang. “Akhirnya bisa melihat semangat itu lagi di matamu. Kupikir kau akan menyerah.” “Aku hanya shock, melihat apa yang ditunjukan Jason padaku, benar-benar mengerikan. Semuanya berlawanan dengan--tapi jika ingin menjadi kuat dan berkuasa aku harus bisa melakukannya.” Ankara tersenyum. “Siapkan pakaian untuknya, hubungi orang-orang yang biasanya membuatkanku pakaian, jangan lupa datangkan mereka untuk mengubahnya,” ucap Ankara membuat Elektra kebingungan. “Apa yang ingin kau lakukan?” “Kau harus mengubah penampilanmu jika kau benar-benar ingin menjadi orang berbeda dari sebelumnya. Pakaian, tampilan, semuanya harus berubah,” ucap Ankara. “Tapi, aku tidak ingin menarik perhatian nanti.” Elektra menolak tawaran Ankara. “Sepertinya tidak perlu, aku—” “Jangan menolak. Kau putriku, kau adalah pewaris. Apa kau akan membiarkan orang lain menghinamu seperti yang dilakukan keluarga Matthias, huh?
“Apa yang harus aku lakukan, saat mereka tidak menyukaiku?” tanya Elektra saat mereka kembali ke mansion. Jason mengangkat sebelah alisnya. “Cukup buat mereka mengakui jika kau mampu melakukan sesuatu yang mereka ragukan. Sangat jelas terlihat dari wajahmu begitu polos, bahkan tidak sama sekali menakutkan, dan juga kau bahkan tidak bisa bertarung.” “Ajari aku,” tantang Elektra membuat Jason tersenyum kecil, dia sangat suka dua kata yang keluar dari mulut wanita di hadapannya. Terlihat jika Elektra mengatakan dengan sungguh-sungguh, tidak ada keraguan di dalam kata yang diucapkannya. “Aku tidak bisa membuat mereka meragukanku. Aku akan menunjukan pada mereka pandangan mereka tentangku itu salah. Maka ajari aku.” Semangat di dalam setiap ucapan Elektra membuat Ankara menerbitkan senyum, tetapi tidak diperlihatkan pada Jason dan Elektra. Inilah yang membuat Elektra berbeda, dia tidak ingin orang lain meremehkan dan ingin mencoba hal baru walaupun awalnya dia akan berpikir terlebih dahu
Elektra menghela napas kasar, ia menatap ke arah gedung di hadapannya. “Aku hanya perlu keluar hidup-hidup ‘kan?” tanya Elektra dengan suara lantang. “Jangan menganggap ini sebuah game karena apa yang kau lihat dan hadapi di dalam ada benar-benar nyata, kau tertembak maka luka,” ucap Jason memperingati. “Maksudmu, jika aku tertembak bisa mati?” Elektra bertanya dengan keterkejutan, ada sedikit nyalinya menciut. “Ya. Kau bisa mati di dalam, kau pikir apa fungsi dari senjata yang kuberikan padamu?” “K-kau—” “Nona Elektra, apa kau pikir dunia yang kami hadapi hanya sebuah game? Tertembak kami akan terluka, tidak sedikit akan mati,” tegas Jason membuat Elektra melihat ke arah Ankara. “Kau bisa menyerah jika tidak melanjutnya.” “Tidak. Aku akan masuk dan menuntaskan latihanku,” ucap Elektra tegas, membuat Jason mengangkat sebelah alisnya. Dia pikir Elektra akan menyerah karena latihan pertama kali yang dia berikan adalah pelatihan paling sulit, lebih tepatnya latihan yang diberikan pa
Elektra mengerjap, membuka mata. Samar-samar ia bisa melihat langit-langit kamarnya. “Ugh. Shit.” Ia merintah saat tubuhnya digerakan. “Nona El. Akhirnya, Nona sadar,” seru seorang maid sambil mendekati Elektra yang baru saja terbangun. Maid yang lain keluar untuk memberitahu jika Elektra telah siuman. Walaupun tidak dijelaskan, tapi ia tahu jika dirinya pasti mendapatkan perawatan setelah latihan yang membuatnya tidak sadarkan diri. “Bagaimana perasaan Anda?” tanya seorang pria memakai setelan jas putih. “Menurutmu aku baik-baik saja setelah tertembak.” Kalimat Elektra begitu sarkas pada pria yang baru saja bertanya padanya. “Anda tidak sadar selama dua hari.” Elektra berusaha bangun dibantu oleh dua maid. Ia bisa merasakan rasa sakit di lengannya. Latihan yang dilakukan benar-benar di luar akal, ia bisa saja mati di dalam sana. Namun mengingat apa yang terjadi saat latihan membuatnya begitu kesal. “Kami bersyukur Anda sadar jika tidak kami akan kehilangan nyawa kami karena t
Jason kembali ke markas dengan penuh emosi. Ia bahkan memukul beberapa anggota yang berbuat kesalahan kecil. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. Untuk melampiaskan emosi, dia mengajak beberapa orang untuk bertarung di atas ring. Dia hanya ingin emosinya terluapkan. “Dia pikir dia siapa? Tidak tertarik? Semua orang menginginkan posisi itu tapi berani sekali dia meremehkannya.” Tidak ada yang tahu apa yang tengah dibicarakan oleh Jason, mereka hanya bisa mengikuti permainan Jason. Tanpa bertanya apa yang membuat mood pria itu jelek. Berbeda dengan Jason, Elektra cukup santai. Seperti sudah mulai terbiasa dengan keadaannya saat ini. Tas branded, serta pakaian dikenakan dibuat oleh desainer ternama. Cukup kasual. Hingga sebuah gossip terdengar di telinganya. “Apa kalian sudah dengar jika Putri Rahasia keluarga Lysander kerja di Firma hukum kita?” “Benarkah?” “Ya. Mereka akan mengumumkannya ke public dalam waktu dekat. Dia sudah cukup lama dirahasiakan oleh keluarga Lysa
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Hotline berita begitu menarik banyak perhatian public. Di mana mereka menulis jika Elektra membela seorang pelaku dengan menjadi pengacaranya.“Tch. Sudah kuduga akan seperti ini,” gerutu Elektra kemudian menyambar remote dan mematikannya.Magno baru saja masuk dengan wajah yang sulit untuk diartikan. “Kita ke kantor.”“Banyak reporter di sana.”“Kau tidak bisa menangani mereka, huh?”Melihat raut wajah Magno dia bisa tahu jawabannya. “Aku tidak akan mati hanya karena mereka, ayo kita ke kantor,” ucap Elektra.Saat tiba di parkiran mata Elektra tertuju pada Regan yang berdiri di samping mobil. Magno pun terkejut dengan kehadiran pria itu.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku mengkhawatirkanmu, aku melihat berita dan datang. Kau tidak membalas pesan ataupun mengangkat telponku.”Elektra baru ingat dia tidak memang ponselnya. “Kau mau ke kantor?” Regan lagi-lagi bertanya. “Ikut denganku di dalam mobil, mereka pasti akan mengenali mobilmu tapi mereka tidak akan mencegah mobilku masuk,” t
Arsen benar-benar tidak bisa terima jika ada pria lain yang mendekat pada Elektra. Keinginannya mendekati Elektra berubah menjadi obsesi.“Enak ‘kan? Aku tebak kau tidak pernah merasakan nasi goreng seperti ini,” seru Regan. “Mau lagi?” Regan kembali menyendok nasi miliknya dan menyuapi Elektra. Lagi-lagi Elektra membuka mulutnya menerima suapan dari Regan.Mungkin banyak yang mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih yang tengah berkencan.Di saat bersamaan, sebuah ponsel di atas meja berbunyi menampilkan sebuah pesan. Melihat pesan yang dikirimkan padanya membuat pria itu mengerutkan kening, sesaat kemudian menghubungi yang mengirimkan pesan padanya.“Pergi dari sana. Jangan ganggu dia, jangan sampai ketahuan.”“Baik Tuan.”Saat menerima pesan dari anak buahnya, Ankara memejamkan mata. Kemudian menghubungi satu nama di ponselnya. “Tolong cari informasi mengenai seseorang untukku,” serunya kemudian mematikan panggilan tapi mengirimkan satu foto.“Kau tidak akan menolak sepiring n
Dari kejauhan terlihat pria yang tadi mengirimkan pesan pada Elektra, dia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah wanita yang dilihatnya baru saja keluar dari pintu lift menuju basement kantor.“Kau mengajakku keluar karena ingin membayar hutangmu?”Regan segera menganggukan kepala. “Ya, dan juga ingin merayakan denganmu karena diterima menjadi pengacara di sini,” jawab Regan jujur.“Ayo,” seru Regan membukakan pintu mobilnya. “Maaf, mobil saya tidak seperti mobilmu,” ucap Regan saat masuk ke dalam mobil.Elektra bahkan tidak mempermasalahkan itu, apalagi bau parfum menyengat, tidak buruk menurutnya. Wanginya menenangkan dengan aroma kayu.Tidak ada ekspresi di wajah Elektra saat masuk ke dalam mobil. “Apa kau tidak suka dengan mobilku? Kita bisa—““Tidak. Ayo pergi saja,” bantah Elektra menenangkan Regan yang terlihat sedikit segan dengan sikapnya.H
Elektra mengumpati dirinya yang saat ini tengah duduk di dalam mobil sambil memperhatikan seseorang dari dalam mobil. Magno yang ada disampingnya pun menatap dengan penuh tanya, mengenai apa yang dilakukan oleh sang nona.Mata Elektra tertuju pada pria yang berada di dalam restoran, beberapa saat kemudian pria itu beranjak dari restoran tersebut. Dia berjalan santai menuju parkiran dan menyadari jika hari sudah sore. Buru-buru ia mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.Tanpa disadari—Elektra yang bersembunyi di dalam mobilnya kini membuntuti Regan. Ternyata dia juga penasaran terhadap laki-laki itu karena selalu mengajaknya bicara.“Kau tertarik dengannya?” Magno barulah membuka suara. Lirikan tajam dari Elektra terlihat, “Okay. Aku tidak akan bertanya lagi,” lanjutnya.Seram juga menanyakan hal seperti itu pada Elektra. Namun, dia suka jika Elektra menunjukan sikap seperti itu.Magno sengaja memberi jarak yang
"Hai, tu— tunggu." Regan mencoba menahan Elektra agar tidak pergi.Sayangnya, wanita itu tidak ingin bicara dan langsung mengemudikan mobilnya meninggalkan Regan."Ah, sial!" umpat Regan karena lagi-lagi dia gagal mengajak Elektra bicara. “Padahal dia ingin mentraktirnya.”Dia pun memilih pergi dari Firma Hukum Lyosa karena masih ada perut kelaparan yang harus diberi makan. Regan lantas mengemudikan mobilnya menuju sebuah restoran terdekat.Lagi-lagi kedatangan Regan di restoran tersebut mengundang perhatian orang-orang sekitar. Ketampanannya memang telah diakui banyak orang. Namun, Regan sendiri bingung mengapa Elektra sama sekali tidak tertarik padanya? Bahkan setelah mereka bertemu beberapa kali."Ck! Aku sungguh tidak nyaman ditatap oleh mereka seperti itu," celetuk Regan seraya memasuki restoran.Walaupun begitu, dia tidak berniat untuk mencari tempat makan yang lainnya. Regan sengaja memilih tempat duduk di sudu
Kamar yang tertata rapi, deretan buku-buku hukum ada di dalam membuat kamar tersebut sesuai dengan pemilik kamar. Sederhana tapi sangat bersih."Bangun, Regan. Katamu ada acara hari ini?" Seorang wanita berkata lembut setelah membuka korden jendela kamar putranya."Iya, Ma," jawab laki-laki itu seraya berkedip cepat.Dia ingat sekali jika hari ini akan ada interview bagi orang-orang yang sudah mendaftar di Firma Hukum Lyosha. Seketika Regan bangun dengan penuh semangat dan ingin segera diwawancarai, sekaligus berharap bisa bertemu pengacara cantik lagi di sana."Aku mandi dulu ya, Ma," pamit Regan."Iya, Sayang," sahutnya.Begitu Regan masuk kamar mandi, wanita paruh baya itu langsung membereskan tempat tidur sang putra. Kemudian—menyiapkan sarapan dan melakukan aktivitas yang lain.Berhubung sudah hampir terlambat, Regan mempercepat proses mandinya dan segera memakai baju se-rapi mungkin. Dia berdiri di depan cer
Elektra lagi-lagi terbangun melihat ruangan yang berbeda. Ruang kamar dengan cat berwarna abu. “Sial. Kenapa aku tidak sadar jika dia menggendongku pulang,” gerutu Elektra sambil mengacak rambut. Setelah merasa nyawanya terkumpul, Elektra turun dari tempat tidur, dia mencari keberadaan Magno tetapi tidak menemukan pria itu di manapun. Namun, sarapan pagi berada di atas meja membuatnya segera menyantapnya. “Ke mana perginya, dia? Bukankah ini masih pagi?” tanya Elektra sambil mencari letak jam, dia ingin tahu saat ini pukul berapa. Namun saat dia melihat jam, begitu terkejut dirinya. “Astaga. Apa aku tidur selama itu?” tanya Elektra. Jam telah menunjukan pukul 3 sore. Sesaat Elektra terdiam. “Makanannya masih hangat, apa dia pulang dan membuatkanku makanan?” Elektra tersadar mengenai hal itu. Setelah menyelesaikan makannya, Elektra bergegas membersihkan diri. Di dalam kamar tersedia pakaian ganti untuknya. “Dia selalu tahu, fash