Kerabat dan tamu undangan mulai memenuhi halaman belakang Mansion Hazard sore itu. Diadakan secara mendadak, tak mengurangi senyum di wajah tirus mempelai wanita. Sedangkan Martin yang berada di nbalkon lantai dua berdiri dengan ekspresi datar, jika boleh ia ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Di saat yang sama di ruang make up pengantin. "Bagian pinggangnya sudah pas?" tanya Sandra, desainer dress putih sekaligus teman Stella. Tangannya membetulkan pita tipis di pergelangan si calon pengantin. "Sudah pas. Terima kasih, San, aku suka dressnya," puji Stella seraya tersenyum.Dua wanita sebaya itu berdiri di depan cermin besar. Bersiap untuk acara sakral yang akan dimulai dua puluh menit lagi. "Sama-sama. Jujur aku masih kaget lho kamu nikah sama Martin. Terakhir kamu cerita lagi dekat dengan Demian.""Ssstt, jangan sebut nama dia lagi," potong Stella. Sesekali wanita itu melihat pintu ruangannya yang tertutup, berharap tidak ada yang mendengar percakapan mereka. "Oke, sorr
Langit berwarna gelap matahari telah terbenam sejak satu jam yang lalu. Sebuah mobil mewah di depan pintu gerbang villa di kawasan perbukitan. Usai si supir menurunkan kaca mobil, dua security mengijinkan mobil itu masuk. Tiba di dekat teras bergaya klasik, supir membuka pintu. Dua wanita keluar sedangkan seorang pelayan pria membawa dua koper dari bagasi mobil menuju ke dalam. "Kenapa kita ke sini, Bri?" Clara melihat sekitar, merasa asing. "Mulai sekarang Kak Clara akan tinggal di sini. Ayo kita masuk," ajak Briana. Tangannya menggandeng Clara memasuki vila bernuansa putih tulang tersebut. Clara tidak bertanya lagi setelahnya. Ia seakan sibuk dengan pikirannya sendiri. Usai mengetahui jika dirinya hamil, Clara merasa menyesal sempet melakukan percobaan bunuh diri. Tanpa sadar tangannya menyentuh perut yang masih datar. Meski membenci Martin, nyatanya ia tak ingin menyalahkan janin tak berdosa itu. "Kakak kenapa? Masih mual?" tanya Briana khawatir. Ia meletakkan tas tangan dan m
Sensor penangkap suhu tubuh seketika aktif saat Vinn dan Daniel memasuki ruangan misterius itu. Tiga lampu menyala bersamaan. Vinn terkejut sementara Daniel takjub kala mendapati barang-barang di depan mereka. Lemari dengan display lampu. Berjejer beberapa senjata pistol berbagai jenis dan bentuk. Di sisi lain, tampak lemari kaca berisi lebih dari sepuluh paspor dengan nama berbeda. Satu yang pasti, foto yang tertera adalah milik Darren Alfredo. Di satu sudut, terdapat peti persegi panjang berwarna hitam. Rasa penasaran Vinn membuatnya membuka peti tersebut. Di sana, akhirnya ia menemukan buku catatan sang ayah yang sejak tadi mereka cari. "Tuan, saya menemukan ini." Daniel mendekati Vinn beserta kartu keanggotaan klub Black Circle di tangannya. "Kerja bagus. Explore sisi lain, mungkin masih ada yang bisa kau temukan." Vinn tersenyum saat menerimanya, tapi entah bagaimana Daniel bisa menangkap sorot kekecewaan di mata itu. Daniel pergi ke ruangan lain yang dipisahkan dengan pintu
"Maaf, Nona. Tapi Anda tidak diijinkan keluar dari vila," pelayan menghalangi gerak Clara yang telah siap dengan dress mint juga clutch senada. "Kenapa? Siapa yang melarangku?" tanya Clara jengah. Sejak tiga puluh menit yang lalu pelayan muda satu ini tak membiarkannya sendirian. Pelayan terdiam dan menunduk. Tanpa dijawab pun Clara sudah tahu jika Vinn yang memberi perintah pada pelayan-pelayan dan juga penjaga di tempat ini. Memastikannya untuk tetap berdiam di dalam bangunan lantai dua bernuansa klasik itu. "Aku cuma ini makan siang di luar. Lagipula nanti jam satu aku sudah kembali." Clara masih bersikukuh. Wanita itu memeriksa jam tangannya. Sudah pukul 10.15 WIB.Pelayan memegang pergelangan tangan Clara, memberi pandangan memelas karena ini menyangkut posisinya. Ia tak ingin kehilangan pekerjaan yang baru dilakoni tiga bulan. Kesal, Clara akhirnya duduk di kursi teras. Rasanya sulit untuk pergi secara terang-terangan. Mungkin ia harus mencari cara lain. Clara pandangi pelay
Sepanjang perjalanan pulang, Vinn hanya bungkam. Clara sesekali menoleh, tapi amarah Vinn yang belum surut terpancar jelas di kedua netranya. Nyali Clara untuk memulai percakapan menjadi ciut. "Pelayan sudah menyiapkan segalanya. Aku akan menemanimu makan siang sebelum kembali ke kantor," tutur Vinn setelah membuka pintu mobil untuk Clara begitu kendaraan mewah nan mengkilap itu sampai di depan vila. Clara mengangguk, lalu mengekor pada Vinn yang telah berjalan lebih dulu ke dalam bangunan. Sikapnya mirip anak kucing yang takut kehilangan induk. Di ruang makan yang diterangi sinar mentari melalui jendela besar, hanya denting piring beradu dengan alat makan yang terdengar. Suasana seperti ini membuat Clara tidak nyaman. Ia ingin Vinn-nya yang sering tersenyum kembali. "Vinn, maaf tadi di mall ...," cicit Clara. "Tidak perlu minta maaf. Hakmu jika ingin bertemu Martin," respon Vinn. Pria itu meletakkan alat makan meski sajian di piringnya masih tersisa setengah. "Bukan begitu. Aku
Malamnya tanpa sepengetahuan sang kakek, Vinn menyetujui ajakan Zac untuk datang ke pertemuan Black Circle. Ia juga dengan sengaja menugaskan Daniel untuk membimbing JD. Dengan mudah pria itu keluar dari mansion selepas pukul tujuh. Ia bertemu Zac di sebuah halte tua di dekat bangunan pabrik tak terpakai lalu berkendara dengan mobil masing-masing menuju satu titik di pinggiran kota yang tak Zac ungkapkan dengan gamblang. "Lihat, di sana," tunjuk pria paruh baya itu ketika mereka turun di area sepi. Vinn mengikuti arah telunjuk Zac. Bangunan bergaya minimalis tiga lantai yang merupakan sebuah galeri seni. Beberapa mobil berjejer rapi di depannya. Sepertinya di dalam sedang diadakan pameran lukisan. "Tempat pertemuan di lantai tiga. Oh, hampir saja lupa. Kau bawa kartu keanggotaan milik Darren?" Zac menatap Vinn fokus. Vinn mengangguk, mengeluarkan kartu hitam bercorak silver dari saku jas semi formalnya. Ia tahu akan membutuhkan barang kecil itu untuk pertemuan malam ini. "Bagus.
'Kakek!'Hampir saja Vinn memanggil pria sepuh di depannya. Untunglah ia masih bisa mengendalikan diri dan hanya bersuara dalam hati. Pria itu memang sangat mirip dengan kakeknya, bahkan cara duduk pun tidak jauh berbeda. "Vincent, kau hanya ingin berdiri saja?" tanya Tuan Ronald. Sorot matanya saat ini menampilkan keteduhan, juga sama dengan milik Richard Alfredo. Dengan canggung, Vinn duduk di salah satu sofa. Tiga pria lain, saling pandang. Di situasi ini hanya Zac yang terlihat senang. "Maaf, Tuan Ronald. Saya harap Anda tidak keberatan dengan kehadiran Vincent di tengah-tengah kita," ungkap Zac seraya memandang Tuan Ronald. "Tidak, tentu saja tidak. Aku justru senang dia mau bergabung seperti mendiang ayahnya dulu." Tuan Ronald terkekeh ringan. Vinn lebih banyak mendengar dari pada berbicara malam itu. Namun sebenarnya ia cenderung memperhatikan sosok Ronald Hazard yang kini begitu dekat dengannya. Muncul pertanyaan dalam benak, jika mereka memang masih semirip ini kenapa ke
"Adik? Maksud Paman aku punya adik?" Vinn mengerutkan kening. Dua puluh tujuh tahun hidup, ia yakin jika orang tuanya hanya memiliki satu anak. "Tidak, tidak dalam konteks biologis. Ceritanya panjang. Mungkin aku perlu meminta pelayan membuat kopi untuk menemani malam kita." Tuan Bara tersenyum, berusaha mencairkan suasana.Vinn memberi kode pada pelayan agar mendekat. Namun alih-alih kopi, Tuan Bara meminta pelayan membuat coklat hangat untuk Vinn. "Kau terlahir kembar, Vinn. Adikmu adalah perempuan. Tapi sayangnya dia meninggal sehari setelah dilahirkan karena gagal jantung. Kak Lilia tak bisa menerimanya." Tuan Bara memulai kisah. Netranya terlihat menerawang, menembus taman depan mansion yang dibentuk mirip labirin. "Lalu?" Vinn mendengarkan dengan serius. Orang tua maupun kakeknya tak pernah membahas ini sama sekali. "Tak ingin ibumu larut dalam kesedihan, ayahmu berencana mengadopsi bayi perempuan. Namanya Jade, lahir di rumah sakit yang sama. Awalnya kebahagiaan mereka semp
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S