"Adik? Maksud Paman aku punya adik?" Vinn mengerutkan kening. Dua puluh tujuh tahun hidup, ia yakin jika orang tuanya hanya memiliki satu anak. "Tidak, tidak dalam konteks biologis. Ceritanya panjang. Mungkin aku perlu meminta pelayan membuat kopi untuk menemani malam kita." Tuan Bara tersenyum, berusaha mencairkan suasana.Vinn memberi kode pada pelayan agar mendekat. Namun alih-alih kopi, Tuan Bara meminta pelayan membuat coklat hangat untuk Vinn. "Kau terlahir kembar, Vinn. Adikmu adalah perempuan. Tapi sayangnya dia meninggal sehari setelah dilahirkan karena gagal jantung. Kak Lilia tak bisa menerimanya." Tuan Bara memulai kisah. Netranya terlihat menerawang, menembus taman depan mansion yang dibentuk mirip labirin. "Lalu?" Vinn mendengarkan dengan serius. Orang tua maupun kakeknya tak pernah membahas ini sama sekali. "Tak ingin ibumu larut dalam kesedihan, ayahmu berencana mengadopsi bayi perempuan. Namanya Jade, lahir di rumah sakit yang sama. Awalnya kebahagiaan mereka semp
Stella nyaris terlonjak mendengar seseorang memasukkan kode pada pintu apartemen. Tanpa melihat pun ia tahu jika Martin yang datang. "Dami, cepat sembunyi! Ayo," panik Stella yang dengan tangkas menarik tangan Damian untuk bangkit. "Biarkan saja dia tahu aku di sini," ucap Damian tak bergeming. Pria itu seolah siap menghadapi segala konsekuensi. Sedangkan Stella menggeleng kuat. Wajahnya menunjukkan kengerian. Ia telah cukup mengenal karakter Martin. Tuan muda yang angkuh dan tak segan menyakiti orang lain jika dianggap mengusik hidupnya. "Tolong, Dami. Kamu sembunyi. Aku tidak mau ada insiden tak diinginkan sebentar lagi," pinta Stella setengah memohon. "Memangnya dia bisa apa? Aku tidak-"Stella yang tidak sabar segera mendorong Damian menuju balkon. Nyaris saja pria itu tersandung karpet. Melihat Stella begitu panik, ia mulai menutup mulut dan menurut. Martin memasuki ruang tamu dan berjalan lurus menuju kamar. Semula ia tidak mencari keberadaan Stella yang tengah berada di b
Clara hanya bisa mendengkus kesal ketika Rose dengan penuh percaya diri mencoba sepatu yang seharusnya ia beli. Wanita itu keluar dari toko sepatu branded dengan raut wajah masam. "Nona, saya mengenal beberapa desainer sepatu ternama," tawar JD berharap bisa sedikit menghibur si nona muda. "Lain kali aja, aku udah malas cari sepatu," sungut Clara sambil terus berjalan. Keinginannya untuk membeli underware pun sirna sudah. Mereka mampir sejenak untuk membeli jus pome dan pulang tanpa melirik stan maupun toko lain. Tidak ada percakapan, JD memaklumi jika Clara masih kesal dan enggan diajak bicara. JD tak tahu jika dibandingkan kesal, nyatanya Clara lebih cenderung bingung. Dengan mudah menyetujui ajakan Rose mengenai reuni tanpa menyadari acara itu hanyalah ajang pamer. Petang di hari yang sama. Satu jam sebelum makan malam Clara telah berkutat di depan cermin kamar. Meski dengan wajah manyun, pada akhirnya ia sudah siap dengan dress soft pink bawah lutut. "JD, kita berangkat sek
"Kau tidak minum?" Daniel menanyai wanita muda yang sedari duduk diam di sampingnya. JD hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap ke depan. Daniel mengedikkan bahu lalu meminum coffe latte yang mulai mendingin. "Daniel?" Kini giliran pria muda dengan outfit hitam yang menoleh. Ia menunggu kalimat JD selanjutnya. Wanita dengan cat eye itu tampak memikirkan sesuatu. "Ada apa?" tanya Daniel karena JD tak kunjung berbicara. "Kau sudah menikah?""Tidak, aku tidak tertarik untuk hal semacam itu." Daniel menggeleng. Dalam benak merasa aneh JD mendadak membahas kehidupan pribadinya. "Oh.""Kenapa? Kau bertanya bukan karena menyukaiku, 'kan? Ya, aku tahu jika aku tampan. Tapi maaf saja- Ugh!" Ungkapan kebanggaann pria itu segera tehenti setelah JD menyikut telak rusuknya. "Ck. Kau ini, begitu saja marah." Daniel mengusap area rusuknya yang terasa ngilu. "Kau tampan tapi bukan tipeku," ucap JD tanpa melihatnya. "Yah, setidaknya kau mengakui jika aku tampan." Daniel bersandar pada kepa
Jade Ariana. Daniel mengetik sebaris nama wanita yang pernah mengisi hidupnya belasan tahun lalu pada layar tablet. Tidak butuh waktu lama bagi Daniel untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Di mesin pencarian khusus, tertera sejumlah keterangan. Daniel membaca secara teliti, tak membiarkan sedikit kata pun luput. Jarak di antara kedua alis Daniel mengerut ketika menemukan fakta mengejutkan. Setelah rumah keluarganya terbakar, Jade diasuh oleh ayahnya. Setahun yang lalu, wanita itu ditemukan tewas karena kecelakaan mobil. "Jade tewas?" Daniel terhenyak. Pria itu meletakkan tablet belasan juta di sofa bagaikan barang tidak berharga. Tubuhnya mendadak terasa lemas, tak bertenaga. Terkejut, sedih, kosong. Ketiganya bercampur menjadi satu, membentuk rasa kehilangan yang tak terperi. Terlebih saat angannya kembali pada moment kebersamaan mereka sebelum kelulusan di bangku sekolah menengah atas. "Aku akan kuliah di Amerika," ucap Jade, gadis cantik yang kala itu membawa skateboar
Daniel dan gadis itu saling pandang. Si gadis asing menunjukkan aksi memelas. Seolah pria itu adalah harapan terakhir untuk hidupnya. "Tempatku bukan penampungan. Kau tidak punya rumah atau bagaimana?" Daniel menggeleng gemas pada gadis remaja yang tampak memohon. "Ada, Om. Tapi ibu tiriku jahat. Dia pasti akan menjualku lagi pada pria hidung belang," lirihnya tertunduk. Daniel bahkan ingin tertawa karena sedari tadi gadis itu keukeuh memanggilnya 'Om'. Apa dia setua itu? "Siapa namamu?" Daniel melunak dan mengajak gadis itu menepi agar tidak menghalangi orang lain yang akan menuju ke toilet. "Kika.""Oke, Kika. Kau bisa menginap semalam di tempatku. Tapi besok pagi aku akan mengantarmu pulang," putus pria dengan potongan rambut rapi tersebut. Manik mata Kika berbinar. Daniel mengalihkan pandangan. Ia tak menyangka akan membawa pulang gadis SMA ke apartement yang baru ditinggali setahun terakhir. Dua orang itu kembali ke titik Victor berada. Senyum Victor mendadak terbit meliha
Daniel dengan langkah tergesa memasuki kantor pusat Orion Group. Kesibukan pagi itu terjadi seperti biasa, tetapi tidak dengan kekhawatiran dalam benak Daniel. Ini sudah pukul delapan. Totalnya terlambat adalah sembilan puluh menit. Kesalahan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Pria itu urung menuju lift, karena sang CEO yang akan ia temui tengah berdiri di dekat resepsionis. Membaca laporan dengan seksama seraya sesekali bertanya pada pria lebih tua di depannya yang tak lain adalah direktur keuangan. Ketika Daniel sampai di dekatnya, Vinn hanya melirik sekilas. Ia menyerahkan lembaran pada si direktur. "Untuk lebih lanjut kita akan membahasnya di meeting siang ini," tutup Vinn pada pria paruh baya yang berpenampilan rapi itu. "Baik, Pak."Direktur berlalu. Daniel maju selangkah, memperlihatkan wajah menyesal sekaligus siap jika mungkin Vinn memberinya sanksi. "Maaf, Tuan. Saya terlambat. Ini tidak akan terjadi lain kali," ujarnya sambil menunduk. Vinn memeriksa jam tangan se
Daniel menggeleng dan menggeleng lagi. Ini sudah tiga kali dalam sepuluh menit terakhir. Hari menjelang sore dan saat ini ia tengah berkendara sendiri menuju suatu tempat. Beberapa jam telah berlalu sejak pria itu menemani Clara. Dan selama itu pula ia merutuki mulutnya yang suka keceplosan. Pada akhirnya Daniel cuma mengumpat tertahan ketika mengingat percakapannya dengan Clara. "Tidak, Nona. Ehm, iya, tidak. Maksud saya tidak," ucap Daniel yang bingung usai mendapat tatapan menyelidik wanita itu. "Vinn sakit apa? Tidak parah, 'kan?" Clara menggigit bibir bawah, rasa khawatir merasuk bercampur dengan penasaran yang menggebu. "Sebaiknya Anda menanyakan sendiri pada Tuan Vincent. Saya tidak punya wewenang untuk menjelaskan."Clara masih memandang tetapi tidak memaksa. Daniel makin merasa tidak nyaman, terlebih karena setelah itu mereka keluar dari gerai VS tanpa membeli apapun. Keduanya justru kembali ke mobil, menuju cafe bernuansa cozy dan menemani Clara melamun selama beberapa s
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S