"Ugh, kenapa pemerintah tidak becus mengurus tunawisma yang berkeliaran di kota ini. Mereka membuat kotor pemandangan kota," gerutu seorang wanita dengan tatapan sinis menatap Abigail.
Abigail hanya bisa mengabaikan hinaan yang ia dengar, matanya terus menutup dan baru terbuka setelah orang-orang tidak lagi melewatinya. Ia pergi dari jalanan tempat ia tidur dan kembali berjalan tanpa tentu arah, di sebuah perempatan jalan ia menyusuri sebuah gedung tua yang sudah tidak terawat dan menjajaki setiap lantainya. Abigail sudah benar-benar putus asa, tidak ada hal lain yang ia pikirkan selain menyelesaikan semuanya bagaimana pun caranya."Aku benci kamu Ben!" teriak Abigail.Abigail menangis histeris dengan pikiran yang kacau, kehilangan pekerjaan dan dicampakkan oleh orang yang dicintainya membuat Abigail teramat frustasi.Abigail menapaki sisi pinggir rooftop, ketinggian ini sesungguhnya membuat Abigail merinding dan takut namun rasa putus asa jauh lebih besar dari rasa takutnya. Abigail menarik nafas panjang sembari menutup kedua matanya, mengisi penuh paru-parunya dengan oksigen yang mungkin sebentar lagi sudah tidak akan berfungsi.Ctas!Sebuah suara pemantik api terdengar dari sisi kanan Abigail, juga wangi khas tembakau yang terbakar dengan kepulan asap. Abigail membuka mata, melirik ke arah pria yang berdiri di sebelahnya sambil menikmati sebatang rokok ditangannya."Mau rokok?" tawarnya pada Abigail.Abigail terperangah melihat pria di hadapannya, "Aku ingin bunuh diri! kenapa kamu malah menawariku rokok,""Oh, maaf aku tidak tau. Aku pikir kamu sedang menikmati angin sore di sini,""Tidak lucu." sahut Abigail ketus."Aku memang sedang tidak melawak, jadi memang tidak lucu."Pria itu mendongak ke bawah, "Apa kamu yakin ingin melompat? ini tinggi sekali, jika kamu terjatuh mungkin kepalamu akan pecah dan seluruh tulangmu akan patah."Abigail menelan salivanya, setelah melihat lagi ke bawah dan memikirkan ucapan pria itu rasa takutnya kembali lagi bahkan semakin bertambah."Tapi kalau kamu memang ingin mencobanya silahkan saja, jika kamu bunuh diri hanya karena ingin tau siapa yang perduli padamu itu mungkin akan berhasil. Tapi hanya beberapa hari saja setelah kematian mu, setelah itu orang-orang akan melupakanmu dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun."Abigail menghela nafas berat, lalu turun kembali dan duduk sembari menangis terisak."Sebegitu beratnya kah yang kamu alami?"Abigail mengangguk pelan, "Aku dipecat secara tidak hormat dari tempatku bekerja karena pacarku mengambil uang perusahaan atas namaku, dia bilang dia akan bertanggung jawab tapi dia malah mencuri uangku dan mengusirku di rumah yang sudah kami beli berdua. Dan masih banyak kejadian buruk yang aku alami,""Dan kamu sudah tidak memiliki apapun lagi?""Hanya sedikit tabungan yang aku miliki, aku rasa itu juga tidak cukup untuk menyewa rumah bahkan untuk makan satu bulan." jawab Abigail.Abigail melirik seragam yang pria itu kenakan dari balik jaketnya yang hanya tertutup sebagian, itu merupakan perusahaan tempatnya bekerja sebelum akhirnya dipecat."Apa kamu karyawan di perusahaan Matlex?"Pria itu mengangguk santai, "Ya tentu, kenapa memangnya?""Itu juga perusahaan tempat aku bekerja, tapi aku tidak pernah melihatmu." jawab Abigail terheran."Aku hanya berada di ruang teknisi atau cctv setiap harinya, wajar jika kita tidak pernah bertemu.""Kalau kamu menjaga ruang cctv berarti kamu pernah melihatku atau bahkan sering! dan bahkan kamu mungkin tau tentangku di perusahaan Matlex."Pria itu terkekeh pelan, "Kenapa kamu percaya diri sekali, memangnya hal apa yang membuatku harus mengetahui siapa kamu atau melihatmu."Abigail mendengkus pelan, ia bangkit dan menyeret kembali kopernya dengan perasaan gusar."Mau kemana?""Bukan urusanmu!" sahut Abigail ketus."Aku bisa menyewakan tempat tinggal untukmu, kamu bisa membayarnya setelah memiliki uang.""Benarkah?" tanya Abigail antusias."Ya, kebetulan temanku belum lama ini pergi dari rumah entah kemana. Jadi masih ada satu kamar yang bisa disewakan,""Apa kamu serius? kamu tidak akan menjebakku dan berbuat jahat padaku kan?" tanyanya menyelidik."Jika kamu tidak mau ya sudah, aku tulus menawarkan bantuan untukmu.""Oke, kalau begitu ayo kita ke rumahmu!" Abigail menarik kopernya dengan riang.Setidaknya malam ini Abigail tidak harus tidur di jalanan lagi, untuk esok ia bisa kembali mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya.*****Mereka berdua tiba dirumah sederhana yang berada tidak jauh dari perusahaan Matlex, rumah ini begitu berantakan dengan sampah makanan ringan berserakan di depan televisi. Abigail yang terbiasa hidup rapih agak risih melihatnya, namun ia tidak bisa mengkritik sedikitpun karena sang pemilik rumah sudah berbaik hati menyewakan rumahnya."Kita belum berkenalan, namaku Zachary Christensen. Panggil saja aku Zach," ucapnya seraya menjulurkan tangan."Aku Abigail Lynelle Wright, panggil saja aku Aby."Zach yang menangkap tatapan risih Abigail langsung membereskan sesampahan yang ada di meja televisi, juga beberapa pakaian dalam miliknya yang berserakan di dekat sofa."Maaf rumahku berantakan,""Tidak masalah, pria memang selalu identik dengan rumah yang berantakan." sahut Abigail."Aku akan menujukkan kamar milikmu Aby,"Zach berjalan ke kamar yang berada di sebelah kamar miliknya, kamar ini cukup rapih jika dibandingkan dengan ruangan lainnya. Bahkan wanginya sangat manis seperti ada bekas jejak parfum wanita di ruangan ini, ditambah lagi ada satu botol cat kuku yang tertinggal di jendelanya."Apa kamu yakin yang tinggal disini adalah temanmu?" tanya Abigail."Tentu saja, kenapa memangnya?""Kamar ini sepertinya bekas ditempati oleh wanita,""Temanku memang wanita,""Wah, rupanya kamu memang senang menyewakan tempat untuk wanita." ucap Abigail seraya tertawa pelan."Aku butuh seorang wanita agar rumah ini terlihat layak ditempati,""Oke, ini kunci kamarmu. Aku ingin mandi dulu setelah itu kita bisa makan malam, aku akan memasak sedikit untuk kita berdua." sambung Zach lalu keluar dari kamar.Abigail merapihkan tempat tidur yang akan ia tempati dan memasang kembali seprai dan bedcovernya, dari jejak parfumnya sepertinya penyewa kamar ini belum lama pergi. Abigail membongkar kopernya dan mengeluarkan isinya untuk dimasukkan ke dalam lemari, namun saat ia membuka lemarinya sesuatu melompat keluar dan menabraknya hingga Abigail menjerit histeris."Abigail!" panggil Zach saat melihat Abigail meringkuk ketakutan di dekat ranjang."Zach! aku takut," Abigail masih memejamkan kedua matanya dan memeluk Zach erat.Zach melirik ke sudut ruangan, seekor tikus kecil tengah mencoba mencari jalan keluar dari kamar. Zach bisa menebak kalau tikus itu yang sudah membuat Abigail ketakutan, kamar ini memang terkadang sering didatangi tikus sampai penghuni kamar yang sebelumnya tidak betah."Abigail, itu cuma tikus. Biar aku tangkap tikus itu, kamu tunggu disini." ucap Zach.Saat Zach bangkit, tanpa sengaja handuk yang melilit pinggangnya terlepas dan terjatuh di kaki Abigail. Abigail terkejut dengan mulut menganga lebar saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya, Zach segera memungut handuk tersebut dan melilit lagi tubuhnya. Tanpa mengucap apapun Zach segera menangkap tikus tersebut dan keluar dari kamar Abigail, wajahnya memerah padam karena ditatap seperti itu oleh Abigail.Gara-gara kejadian handuk kemarin, Zach seperti tidak memiliki muka untuk berhadapan dengan Abigail. Zach takut Abigail salah sangka, Zach takut jika Abigail menganggap jika ia melakukan itu dengan sengaja.Saat keadaan masih sangat sepi di pagi hari, Zach mengendap-endap keluar untuk membuat sarapan untuknya dan juga Abigail. Zach membuat sarapan dengan terburu-buru, berharap jika ia tidak berpapasan dengan Abigail dan langsung pergi setelah selesai sarapan. Namun rencananya sungguh di luar ekspektasinya, Abigail keluar dari kamar hanya dengan menggunakan handuk kimono dan rambut yang nampak basah. Wajahnya yang polos tanpa make up terlihat lebih muda, dengan pipi kemerahan alami yang sedikit chubby."Zach, kebetulan kamu ada disini. Boleh aku minta tolong padamu? hair dryer ku tidak bisa digunakan, apa mungkin stop kontak di kamar ini mati?" tanya Abigail seraya mengacungkan hair dryer ke arahnya.Zach masih terdiam dengan mata yang terus tertuju pada Abigail, seakan dunianya berhent
Lima belas menit Abigail menunggu, tamu tersebut akhirnya datang dengan mobil mewahnya. Seorang wanita yang usianya mungkin sebaya dengannya, namun terlihat jelas sekali kalau ia berasal dari kalangan atas. Wajahnya begitu sinis menatap sekelilingnya dan sikapnya cukup arogan, tapi siapa yang peduli? selama ia memberikan keuntungan untuk tempat ini maka ia tetap akan diperlakukan seperti seorang ratu."Selamat datang nona, kami sudah mempersiapkan table khusus untuk anda." ucap Abigail ramah, tapi wanita itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya.Abigail membuang nafas pelan, ia bukan tipe orang yang memiliki kesabaran yang seluas samudera namun ia tahan rasa kesalnya demi uang. Wanita itu menatap meja yang hendak ia tempati, terlihat guratan rasa kesal di wajahnya namun tidak ada yang tau penyebabnya."Mr. Hansen," panggilnya seraya menjentikkan jemari lentiknya."Ya nona Lucia, ada yang bisa saya bantu?" tanya Hansen."Apa anda ingin membuat kulit saya kotor dengan menempatkan saya d
"Lucia, sepertinya kamu tidak perlu memperpanjang masalah ini. Aku pikir satu hari dipenjara sudah pasti membuatnya jera, apalagi kamu juga membayar para narapidana disana untuk memberikannya pelajaran.""Ada apa? apa kamu merasa kasihan padanya?" "Dia hanya wanita malang, dia tidak memiliki apapun atau siapapun di dunia ini." Lucia berdiri menatap tajam ke arah pria di hadapannya, "Apa kamu masih memiliki perasaan terhadapnya Benedict Cattegirn?" "Tidak! tentu tidak! aku hanya merasa kasihan saja padanya, tidak lebih." "Bagus, tapi aku tetap akan memperpanjang masalah ini. Bahkan semakin akan aku persulit karena ternyata dia adalah mantan kekasihmu," ujarnya angkuh, wanita ini benar-benar tidak memiliki hati nurani. Ben benar-benar menyesal, jika saja ia tidak membuat Abigail bekerja disana mungkin Abigail tidak akan bertemu wanita ini dan mengalami semua ini. Niat membalas rasa bersalahnya, justru Ben malah membuat Abigail menderita untuk yang kedua kalinya karena ulahnya. "Luc
Hampir seharian Zach menunggu Abigail, akhirnya Abigail tersadar juga namun ia nampak linglung dan tidak menunjukkan pergerakan apapun. Zach segera memanggil dokter yang menangani Abigail, setelah dilakukan observasi Abigail akhirnya dapat merespon sekitarnya dan orang yang pertama ia cari adalah Zach. "Zach, apa kamu yang membebaskan aku dari penjara?" tanyanya lemah. "Iya dengan sedikit kesepakatan," "Kesepakatan? maksudmu kamu menjadikan dirimu jaminan Zach?" "Kamu tidak perlu memikirkan itu, yang terpenting sekarang kamu sudah keluar dari tempat itu Aby." Abigail menatap Zach lekat, jika dilihat dari penampilannya Zach tidak terlihat seperti orang yang bisa menjadikan dirinya sebagai jaminan untuk mengeluarkan seseorang dari penjara. Namun setelah Abigail pikir, Zach memiliki nama Christensen di belakang namanya. "Zach, namamu Zachary Christensen kan?" "Iya, ada apa dengan namaku?" "Apa kamu salah satu keturunan Christensen? konglomerat kaya pesaing keluarga Walton?" tanya
Setelah keadaannya dinyatakan membaik, Abigail kini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter dan menjalani pengobatan dari rumah. Sejak keluar dari rumah sakit hingga sampai di rumah, Zach begitu perhatian bahkan overprotektif padanya. Abigail tidak boleh melakukan ini itu, bahkan ia tidak diizinkan berjalan oleh Zach. Zach terus menggendongnya seperti bayi, membuat Abigail kesal setengah mati. "Zach, turunkan aku!" titah Abigail yang berada dalam gendongannya.Jika tidak ada memar di tubuhnya mungkin orang-orang akan mengira mereka adalah pengantin baru, mengingat cara menggendong Zach yang nampak seperti pengantin pria. "Tidak, kamu masih lemah." "Zach, aku sudah baik-baik saja jadi turunkan aku sekarang." Zach menatapnya sesaat lalu melepas pegangan tangannya pada kaki Abigail, Abigail memekik kesakitan karena kakinya mendarat dalam posisi yang salah. "Sudah kubilang kamu masih lemah," ucapnya lalu menggendong Abigail kembali. "Aku tidak lemah! kakiku menapak dalam posisi yang
Makan malam yang Zach buat kini sudah siap di atas meja dan siap untuk disantap, namun sejak siang Abigail tidak kunjung keluar dari kamar bahkan kamarnya pun masih terlihat gelap. Zach yang mendadak cemas langsung mengetuk pintu kamar Abigail berkali-kali namun tidak ada sedikitpun respon dari dalam sana, ia yang sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi akhirnya mendobrak pintu kamar Abigail dan mengejutkan Abigail yang tengah termenung di dekat jendela. "Apa kamu tuli! aku mengetuk pintu kamarmu berkali-kali tapi kamu tidak kunjung membukanya!" bentaknya tanpa sadar. Abigail hanya diam dan kembali merenung menatap keluar jendela, kebiasaan buruk Abigail adalah ketika ia terlalu banyak berpikir ia akan enggan berbicara kepada siapapun. Zach mendengkus kesal, rasanya sia-sia sekali ia mengkhawatirkannya. Zach yang merasa diabaikan memilih untuk meninggalkan kembali Abigail sendirian di kamar, namun langkahnya terhenti kala melihat dokumen di tangan Abigail dengan nama Walton Corporat
Zach menarik tangan Abigail ke sebuah wahana yang sangat Abigail takuti sejak dulu, apalagi kalau bukan roller coaster. Abigail tidak langsung mengiyakan ajakan Zach untuk menaiki wahana ekstrem itu, ia berpikir keras sampai akhirnya ia mau ikut bersama Zach. "Kenapa kamu tegang sekali?" tanya Zach. "Zach, aku sebenarnya tidak berani menaiki wahana ini." sahut Abigail, wajahnya sudah pucat pasi dan terlihat guratan penyesalan di wajahnya. "Kenapa kamu tidak bilang! ayo kita turun," Namun belum sempat mereka turun, wahana sudah dijalankan dan tidak ada jalan bagi mereka untuk melarikan diri. Abigail berteriak histeris bahkan nyaris menangis saat roller coaster mulai bergerak mengikuti relnya, ia memegang tangan Zach erat sampai Zach meringis kesakitan. Setelah melewati detik-detik yang menengangkan Abigail akhirnya bisa bernafas lega, ia pikir tadi ia akan terkena serangan jantung karena deru detak jantungnya sempat berdetak diluar normal."Itu gila, tapi menyenangkan!" pekiknya, d
Menempuh perjalanan selama hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di sebuah pedesaan yang berada di pinggir kota. Sebuah rumah sederhana dengan papan kayu usang di halaman rumah bertuliskan panti asuhan yang sudah terkelupas catnya, bahkan nyaris tidak terbaca jika tidak melihatnya dari jarak dekat. Beberapa anak bermain di halaman rumah, ditemani oleh seorang gadis berusia belasan tahun yang nampak kurus. Gadis itu menoleh ke arah Abigail dan Zach, ia nampak bingung sejenak sampai akhirnya gadis itu bangkit dan menghampiri Abigail. "Aku merindukan kakak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga merindukanmu, Esther. Omong-omong dimana suster Margaretha?" "Dia ada di belakang, sedang menyiapkan makanan untuk makan siang." Abigail masuk ke tempat dimana ia pernah tinggal sebelum akhirnya memilih untuk hidup mandiri, tidak ada yang berubah dari tempat ini sejak ia meninggalkan rumah hingga sekarang."Esther, siapa yang datang!" teriak suster Margaretha dari balik dapur.Abigail
Belum selesai masalah penangkapannya, kini Abraham harus menelan pil pahit setelah hartanya disita dan perusahaannya mengalami kebakaran karena korsleting listrik. Tidak ada yang bisa diselamatkan, semua hancur lebur bersama api dan meluluh lantahkan gedung mewah itu. Abraham kini tidak memiliki apapun, hanya pakaian yang menempel di tubuhnya harta satu-satunya yang ia miliki itupun sebentar lagi akan berganti dengan baju tahanan. Jennifer dan Ethan terusir tanpa membawa apapun, semua harta Abraham disita polisi dan mereka tidak diizinkan untuk membawa apapun selain pakaian. Jennifer menangis tersedu-sedu ketika semua kemewahan yang ia miliki tidak lagi berada dalam genggamannya, begitupun Ethan yang merasa usahanya selama ini untuk membangun Christeus sia-sia. Semua karena ulah Noah, begitulah yang Ethan dan Jennifer pikirkan. Sebelum Noah kembali, hidup mereka begitu tenang dan ketika Noah kembali dengan seluruh permasalahannya kehidupan keluarga Christensen mulai tidak beres. "Ny
Hari belum terlalu pagi ketika Abraham yang sedang tertidur pulas di kamarnya didatangi pihak kepolisian, ia diseret tanpa ampun atas kejahatan penggelapan dana sebuah mega proyek juga atas kejahatan karena bekerja sama dengan seorang gembong narkoba kelas kakap. Tidak hanya itu, Abraham juga ikut ditetapkan sebagai tersangka atas penjualan gadis di sebuah klub malam terkenal di kota I. Abraham tidak tau bagaimana bisa semua kejahatannya terbongkar semua dalam satu malam, ia mencari semua anak buahnya tapi sayangnya semua anak buahnya juga sudah diringkus oleh pihak kepolisian. Di tengah kekacauan, Jennifer dan Ethan yang tidak mengetahui apapun soal kejahatan Abraham mencoba meminta kejelasan kepada kepolisian tetapi tidak ada satupun yang menanggapi pertanyaan mereka. Mereka melihat Abraham diseret, tanpa mereka tau apa yang sudah Abraham lakukan. Sejak Jennifer memergoki Abraham di toko perlengkapan bayi bersama dengan seorang wanita, Jennifer tidak pernah lagi berbicara dengan A
Sidang selanjutnya atas kasus kematian Noah dimulai kembali hari ini, tetapi semua orang di ruang pengadilan nampak terlihat murung tidak seperti sidang kemarin terutama Flint. Pria itu tidak banyak bicara dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melihat ponselnya, dengan harapan sang cucu tersayang akan mengabarinya dan memberitahukannya jika ia baik-baik saja. Tidak ada kabar apapun tentang Amberley hingga saat ini, bahkan hingga kini Flint masih belum menemukan jejak keberadaan Amberley. Terakhir kali ia melacak keberadaan Amberley lewat foto yang dikirim orang tidak dikenal, ternyata ketika Flint sampai disana untuk mengeceknya ternyata tidak ada siapapun disana. Tempat itu kosong, entah karena Flint terlambat datang atau memang mereka sudah pergi sebelum Flint berhasil melacak keberadaan mereka. Sejak hilangnya Amberley, Matthias juga semakin rewel tidak seperti biasanya. Berkali-kali Jessica dan Darren mencoba menenangkannya, namun bayi itu tetap menangis seolah ia sangat
"Apa kalian sudah menemukan keberadaan cucuku atau jejaknya?" tanya Flint dengan raut wajah cemas dan gelisah. Mereka serentak menggeleng, mereka benar-benar menutup jejak rapat-rapat sampai tidak terlihat sedikitpun bukti kehadiran mereka di tempat ini. Flint menggeram kesal, ia membanting apapun yang ada di hadapannya untuk melampiaskan kekesalannya. Disaat semua orang sedang sibuk pada pemikirannya sendiri tentang keberadaan Amberley, tiba-tiba suara tembakan dari senjata api terdengar menggelegar di luar gerbang mansion Moore. Semua orang serentak keluar dari mansion untuk memastikan apa yang mereka dengar barusan, saat tiba disana mereka menemukan satu orang penjaga sudah tergeletak bersimbah darah dengan sebuah amplop tergeletak tidak jauh darinya. Flint memungutnya dan mengeluarkan isi dari amplop tersebut, beberapa lembar foto yang ia lihat berhasil membuatnya syok. "Tuan Flint," ujar Roberto dengan wajah memucat. "Roberto, menurutmu siapa yang berani melakukan ini?" tanya
Di sebuah ruangan temaram, Frank menyesap cerutunya begitu berat karena negosiasinya dengan orang di hadapannya ini sangat sulit. Frank tidak bisa serta merta menemuinya dengan mudah, ada beberapa hal yang harus ia lakukan demi bisa bertemu dengan orang ini. Bahkan ketika mereka sudah bertemu Frank masih harus melakukan negosiasi sengit demi tujuannya, kalau bukan demi Flint Frank tidak akan mau berurusan dengan orang seperti ini. "Apa kamu yakin bisa memberikan yang aku inginkan sebagai kesepakatan? aku hanya ingin mengingatkan, ketika kita sudah sepakat maka tidak ada jalan untukmu membatalkan perjanjian kita." ucapnya membuat Frank cukup gelisah di dalam hatinya, tapi tidak ia tunjukkan itu."Ya, aku menyetujuinya. Asal kamu bisa memberikan semua yang aku inginkan juga, aku ingin imbalan yang adil." "Apa kamu tidak percaya kepadaku Frank Moore?" "Jika aku tidak percaya kepadamu untuk apa aku harus bersusah payah untuk bisa duduk disini," Pria itu tertawa, "Baiklah, silahkan tan
Setelah mengasingkan Amberley, Flint langsung pergi menemui Frank untuk meminta bantuannya. Flint harus menyusun rencana baru untuk melawan Abraham, dan tentunya tidak dengan cara lurus seperti kemarin. Abraham tidak bisa dilawan dengan cara hukum, meskipun Flint bisa memenangkan Zionathan tapi Flint yakin Abraham akan bertindak gila jika ia kalah di pengadilan. "Frank tolong bantu aku, keselamatan cucuku terancam sekarang." ucap Flint setelah membuka pintu ruangan pribadi Frank.Di dalam sana, Frank tengah sibuk bercinta dengan seorang wanitanya di meja kerjanya. Melihat ekspresi Flint yang begitu gelisah, Frank menyudahi kesenangannya dan menyuruh wanitanya itu untuk pergi. Wanita itu terlihat sedikit jengkel karena ia hampir mencapai klimaksnya, tapi ia bukan siapa-siapa untuk bisa membantah perintah Frank. "Katakan kepadaku, apa yang harus aku lakukan Flint." "Cari celah kebusukan Abraham agar aku bisa menjebloskannya ke penjara selamanya, dia berusaha melenyapkan cucuku dan Zi
"Sayang, apa kamu sedang memikirkan sesuatu?" tanya Amberley karena sedari tadi Zionathan lebih banyak diam. Zionathan menarik nafas panjang, seperti tengah memikul beban berat di dadanya. Amberley tau jika Zionathan pasti sedang tidak baik-baik saja sekarang, prianya itu selalu ceria di hadapannya meskipun sedang berada di penjara sekarang tapi kini ia lebih banyak diam. "Amberley, bisakah kamu melakukan sesuatu untukku?" "Melakukan sesuatu? apa yang harus aku lakukan untukmu?" "Amberley, jika aku kalah di pengadilan pergilah sejauh-jauhnya dari tempat ini atau kalau perlu pergilah ke negara lain. Pergilah ke tempat dimana tidak ada seorangpun bisa menemukanmu," pinta Zionathan tangannya menggenggam erat jemari Amberley. Amberley mengernyitkan kening, "Permintaan konyol macam apa itu, jika kamu kalah aku tetap akan disini menemanimu Zio." "Amberley, aku mohon. Pergilah, mulailah hidup baru tanpaku. Jika memang kita ditakdirkan bersama kita pasti akan bertemu lagi," ucap Zionath
"Buka pintunya!" teriak seseorang dari luar unit orang tua Rosalyn. Mereka mengejutkan Rosalyn yang masih tertidur di dalam, kedua orang tuanya sudah pergi bekerja sejak pagi hari. Rosalyn tidak langsung membuka pintu, ia lebih dulu mengecek siapa yang ada di luar lewat doorbell camera. Rosalyn memperhatikan dua orang yang ada di depan pintu unit, setelah memperhatikannya cukup lama Rosalyn akhirnya tau jika mereka adalah anak buah Frank. "Buka pintunya nona Rosalyn! atau anda ingin kami mengacak-acak tempat ini!" ancam mereka lagi. Rosalyn kebingungan di dalam sana, ia tidak memiliki nyali untuk berhadapan dengan anak buah Frank tapi ia juga tidak mau mereka mengacau di tempat ini. "Baiklah, anda menantang kami nona Rosalyn. John, dobrak unitnya!" "Tunggu! jangan di dobrak! baiklah aku akan membuka pintunya," ucap Rosalyn lewat doorbell. Rosalyn membuka pintu untuk mereka namun setelah itu mereka malah masuk dan menggeledah seluruh isi unit, entah apa yang mereka cari karena Ro
Zionathan terpaku sesaat, tapi akhirnya ia bisa mengendalikan dirinya lagi dan mencoba bersikap tenang. Ia tidak boleh terpancing dengan ucapan Abraham, karena sekali ia terpancing maka usahanya untuk tetap membuat Amberley aman akan sia-sia. "Apa sekarang anda sedang bermain tebak-tebakan denganku tuan Abraham?" ujar Zionathan dengan tawa sinis. "Zionathan, aku bukan anak kecil yang bisa kamu tipu. Pelaku sebenarnya adalah Amberley, kamu hanya mengorbankan diri untuk membuat Amberley tetap aman. Sidik jari Amberley terlekat jelas di pistol itu," Zionathan maju mendekati Abraham yang tengah berusaha mengintimidasinya, "Tidak perlu berbasa-basi, anda sedang berusaha membuat Amberley menjadi pelakunya demi merebut Matthias bukan? tapi maaf tuan Abraham, pelakunya memang aku karena aku sangat membenci putramu." Abraham menanggapi ucapan Zionathan dengan tawa, "Ucapanmu ada benarnya juga, tapi selain itu aku juga memang ingin menyingkirkan kalian berdua. Nyawa dibayar nyawa, sebagai g