“Saat ini kami masih menunggu di depan rumah sakit, mengenai klarifikasi dari pihak dokter, yang menangani CEO Gregorry Adinata ….”Visha mendengkus geli melihat berita yang baru saja disaksikannya. Ia tidak menyangka semua itu malah akan membuat Gregorry masuk rumah sakit karena ditemukan pingsan di ruang kerjanya.“Tsk! Kalau dia masuk rumah sakit, terlalu enak untuknya. Dia malah bisa bebas dari kejaran wartawan,” keluh Madoka sambil mengisi mulutnya dengan sarapan pagi.“Nah … kurasa tidak akan lama. Begitu mendengar perusahaannya bangkrut, mungkin ia akan bertindak … atau tak sadarkan diri lagi. Bagaimana dengan perusahaan itu?” tanya Visha sambil menyuapi Dante.Hari ini adalah hari libur. Jadi, Dante tidak sekolah.“Kudengar sudah lebih dari 80% kontrak kerjasama dibatalkan. Hanya tinggal menunggu waktu bagi Adinata Group untuk tumbang.” Javier menjelaskan.Visha pun mengangguk paham. “Kalau begitu, kita masuk rencana terakhir, Jav, Madoka.”“Baik, Nona.”*** Satu minggu
117“Ini tidak mungkin. Saat itu, orang suruhan Papa mengatakan kalau Visha sudah meninggal. Tidak mungkin dia melahirkan anak itu,” ungkap Raffael dengan suara pelan.Tapi cukup jelas bagi Callista dan juga alat perekam yang diletakkan Javier dalam ruang kerja CEO Adinata itu, untuk bisa tertangkap.“Callista, apa kau punya kenalan yang bisa mencari tahu siapa yang menjadi narasumber berita ini?” tanya Raffael lagi sambil memijat keningnya yang mulai terasa pusing.Tapi Callista menggeleng. Bagaimanapun, ia hanyalah seorang sekretaris biasa. Bagaimana caranya ia bisa tahu mengenai hal-hal yang sepertinya—“Ah! Apa mungkin kita bisa minta bantuan pada IT, Tuan Raffael?” usul Callista ketika ia membayangkan bahwa apa yang diminta Raffael, mungkin berhubungan dengan peretasan data.“Hacker?” tanya Raffael mengkonfirmasi usulan Callista.Sekretaris perempuan itu mengangguk. Ia kemudian menjelaskan bahwa salah satu dari mereka punya kenalan yang berhasil menjinakkan virus yang pernah meng
“Kau mau pesan apa, hm? Tenang saja. Aku yang bayar.” Steven tersenyum tulus sambil memberikan buku menu pada Raffael.Raffael pun mengangguk sambil membuka buku menu tersebut. Sebenarnya, Raffael sudah tidak punya selera makan.Pikirannya sudah penuh dengan banyak hal. Ia seperti sedang menanti hukuman mati saja. Benar-benar tak ingin makan.“Kalau kau sedang tak selera makan, coba dessert yang manis-manis, Raff.” Steven menganjurkan sambil menunjukkan pesanannya pada sang pelayan yang berdiri di sampingnya.“Pilihkan saja dessert manis yang tak terlalu banyak, Steve. Aku sudah benar-benar tidak bisa memikirkan hal lain selain masalahku.” Raffael pun mengembalikan buku menu itu dan duduk saja menunggu Steven membereskan pesanan mereka.Saat ini mereka tengah berada di ruang VIP sebuah restoran bergaya cantonese dengan menu-menu chinesse food tentunya.“Bagaimana kondisi ayah dan ibumu?” tanya Steven memulai pembicaraan mereka.Raffael terdiam sesaat. Ia baru menyadari bahwa ia belum
"Bagaimana hasil penilaian untuk perusahaan Adinata Group, Pak Keinan?" Steven tengah menemui Keinan Dexter—direktur pelaksana Viensha Ltd. di Indonesia.Sudah hampir satu minggu lagi berlalu, sejak pertemuan Steven dengan Raffael hari itu. Hari ini, Steven mencoba peruntungannya untuk menolong sahabatnya itu.Tentu saja Keinan sudah diberitahu bahwa tujuan jangka pedek cabang perusahaan Viensha itu berdiri di Indonesia adalah untuk menjalankan rencana Visha.Namun, tidak dengan Steven. Pria muda yang sudah menjadi sahabat Raffael sejak lama itu, tidak tahu menahu bahwa semua ini memang direncanakan oleh Luca, untuk membawa nama Viensha Ltd ke depan pintu perusahaan Adinata.Departemen HRD milik Viensha Ltd tidak hanya melakukan interview seperti perusahaan-perusahaan lain. Mereka akan selalu mengecek latar belakang—yang tersembunyi sekalipun, dari setiap orang yang bekerja di sana.Dan ketika Steven melamar di Viensha, Luca cukup terkejut saat mengetahui kalau sang pelamar kerja itu
"Aku yakin beliau takkan menolak, Raffael. Ini demi perusahaan kalian juga, kan?" ujar Steven, meyakinkan Raffael lagi, sambil menunggu sahabatnya itu berhasil menghubungi Gregorry. Raffael hanya bisa mengangguk dengan raut wajah was-was. Ia tidak tahu, seberapa besar keberanian sang ayah untuk keluar dari persembunyiannya.Setelah 2 kali nada sambung, terdengar suara Gregorry dari seberang teleponnya itu.Pria tua tersebut menyapa Raffael dengan singkat, "Raffa?"Raffael berdeham sebelum mulai bicara, "Mm ... Papa, apa kau masih ingat Steven?""Steven?" tanya Gregorry dengan wajh bingungnya. Pasalnya ia sedang menunggu berita baik kalau-kalau Raffael berhasil mendapat jalan supaya Adinata Grup tidak bangkrut. Namun, pembahasan yang ia dapatkan adalah soal seorang bernama Steven.'Ini bukan waktunya tebak-tebakan. Duh!' keluh Gregorry dalam hati."Iya. Steven yang sering ke rumah, dulu," jawab Raffael mencoba menggali ingatan sang ayah.Setelah diingat lagi, Gregorry akhirnya mengin
"Yeah. Aku sudah mendengarnya dari rekaman. Kerja bagus, Kei. Segera temui Raffael dan atur waktu untuk penandatanganan." Visha melirik ke arah Javier sambil mengangkat ibu jarinya. Wanita itu memberi kode bahwa semua berjalan dengan baik dan lancar. "Baik, Nona Visha. Akan segera saya kabari lagi."Setelah selesai bicara dengan Keinan, Visha menatap Javier yang sudah duduk di seberang mejanya. "Saya juga sudah menyerahkan bukti-bukti terkait penggelapan uang perusahaan Adinata dan keterlibatan Gregorry dalam pencucian uang." Javier melaporkan progres tugas yang menjadi bagiannya.Visha mengangguk menerima laporan itu lalu berkata, "Kita akan mengabari pihak berwajib untuk meringkusnya di saat yang tepat."***Sesuai dengan waktu yang ditetapkan kedua pihak itu—Adinata Grouo dan Viensha Ltd, Raffael hari ini dijadwalkan bertemu dengan Keinan, untuk membahas detail mengenai proses akuisisi perusahaan. Tentu saja, sebagai petinggi mereka hanya tahu beres. Staf divisi legal yang aka
'Perceraian ya? Aku saja sudah tidak peduli lagi dengan hidup pernikahanku,' batin Raffael sambil memilih beberapa pakaian yang nampak mewah untuk sang ayah—Gregorry Adinata.Pertanyaan ibunya tadi, masih terngiang di kepala. Febriella sepertinya sedang ketakutan karena tidak tahu apa yang menjadi keputusan Gregorry atas dirinya. Hal paling normal yang mungkin dilakukan Gregorry adalah menceraikan Febriella, atas perselingkuhannya.'Tapi, Mama juga memberinya keturunan, yaitu aku. Hanya saja, aku bukan keturunan aslinya,' batin Raffael mulai bingung dengan pemikirannya sendiri.Sang ibu memang sudah menjelaskan alasannya melakukan semua itu. Tapi entah kenapa Raffael belum bisa mempercayainya. Karena semua cerita Febriella sama persis dengan apa yang sudah diutarakan Darvis hari itu.Seperti cerita yang sudah disusun sebelumnya. 'Apa aku harus pakai ancaman, supaya Papa tidak menceraikan Mama? Berita itu bisa saja membuatnya—ah, padahal aku masih dianggap anak olehnya. Aku tak pun
"Tolong ambilkan jas-ku, Raffa." Gregorry berujar sambil mematut dirinya di cermin panjang yang memperlihatkan penampakan keseluruhan tubuhnya. Wajah angkuh itu sudah semakin terlihat layu. Mungkin karena stres berkepanjangan, beberapa minggu terakhir ini.Di sela waktu yang tidak banyak itu, tiba-tiba Gregorry bertanya pada putranya, "Apa ibumu baik-baik saja?"Gregorry tahu, kalau Raffael mengambil semua pakaian ini dari rumah mereka, pasti putranya itu sudah bertemu dengan Febriella—istrinya.Sementara Raffael sedikit terkejut, karena ia tidak menyangka sang ayah akan mempertanyakan ibunya."Mm ... Mama ... sedang menangis saat kemarin aku pulang. Rumah kosong, tidak ada ART lain. Hanya Adin saja." Raffael menjawab singkat. Ia masih menimbang-nimbang, perlukah memberitahu sang ayah mengenai kepindahan Febriella ke rumahnya.Kemudian Raffael memutuskan untuk menambahkan saja apa yang sudah diceritakan Febriella padanya."Istri Darvis menghujat Mama habis-habisan di media sosial. K