"Kak ... apa kau bisa menjelaskan saja, apa arti semua laporan ini?" bisik Ernesto sambil menggeser kursinya dan memiringkan tubuhnya mendekat pada Visha. Anak kedua dari Luca itu menambahkan, "Aku tidak paham apa maksud semua ini, Kak Visha."Mendengar pengakuan jujur dari Ernesto, Visha hampir saja kelepasan mentertawakan sang adik. Bukan karena ia meremehkannya, tapi wajah Ernesto terlihat lucu ketika berbisik barusan.Visha pun pura-pura membersihkan tenggorokannya dengan berdeham beberaoa kali, sebelum ia akhirnya mengatakan, "Kau bisa ikuti saja rapatnya. Catat apa yang tidak kau mengerti. Nanti setelah rapat baru kita bahas.""Baiklah! Jangan sampai mereka meminta saran dariku, Kak. Karena aku sungguh tidak paham dengan semua ini," keluh Ernesto dengan suara pelan, sambil kembali ke posisi duduknya semula."Tenang saja." Visha kemudian mengirim pesan pada Damian untuk meminta para direksi tidak memberi pertanyaan pada Ernesto untuk saat ini.'Damian, tolong beritahu semua dir
"Apa?!" Ernesto mencoba protes. "Pa—maksudku, Tuan Luca—"Sayangnya, Luca sudah berjalan keluar dari ruang rapat sambil tertawa terbahak-bahak.Merasa dipermalukan, Ernesto pun terdiam di tempat sambil mengepalkan tinju kanannya.Melihat respon sang tuan muda, Damian pun segera mengosongkan ruangan, meminta semua peserta rapat segera meninggalkan ruangan.Sementara itu, Visha menghela napas lelah. Lelah dengan kelakuan antik sang ayah. Untuk Visha pribadi, entah kenapa, ia bisa memahami sudut pandang sang ayah. Memang awalnya ia merasa tertekan, tapi setelah Visha melihat sisi terang dari sikap keras sang ayah, ia pun bisa bekerja dengan lebih baik."Ernesto. Tenang saja. Ada aku." Visha meraih kepalan tangan sang adik, berharap pria muda itu mau mengendurkannya, termasuk emosinya.Sang adik menggeleng, tidak terima. "Dia bersikap seenaknya! Apa dia sebegitu tak sukanya aku memegang kendali atas perusahaan ini?!" sentak Ernesto dengan nada tertahan."Tidak, Ernesto. Tidak seperti itu
"Aku minta libur 1 hari!" Ernesto segera berdiri dan tanpa menunggu komentar Luca, ia pamit pulang.Sepeninggalan Ernesto, Luca tergelak seperti orang gila, membuat Visha membulatkan matanya kesal."Ayah! Bisa tidak, berhenti mengganggu anak laki-lakimu itu." Visha protes sambil menggelengkan kepalanya.Luca memegangi perutnya yang terasa sakit karena ia terlalu banyak tertawa. "Nak, kau lihat kan? Orang seperti itu, mau memimpin perusahaan ini setelah lulus kuliah?! Ha! Ha! Ha!"Kali ini Visha melemparkan tatapan tak setuju ke arah Luca sambil berseru, "Ayah mengujinya?!"Luca langsung mengangkat kedua tangannya. "Tidak, Sayang. Ayah pun berharap banyak padanya. Ayah pikir kali ini mungkin Ernesto akan mau memperjuangkan sesuatu. Tapi sepertinya tidak. Anak itu selalu saja senang bersantai."Mendengar itu, Visha pun tak lagi berkomentar. Jelas sang ayah yang paling tahu, seperti apa Ernesto dan bagaimana membuat anak laki-laki itu layak menyandang nama Cavallo. Bagaimanapun, ia sud
"Wha! Nona, tunggu sebentar!" seru Javier kaget dengan keputusan Visha. Pasalnya mereka masih jauh dari gedung sekolah. Tapi Visha tidak menunggu. Wanita itu langsung membuka pintu dan turun begitu saja dari mobil.Mau tak mau, Javier segera turun mengikuti Visha. Begitu juga dengan Madoka yang langsung turun dan menuju ke mobil yang berada di belakang mereka. Sejak penyerangan 7 tahun lalu, Luca memberlakukan penjagaan berlapis disekitar Visha dan Dante. Ke manapun mereka pergi, 2 mobil lain akan mengapit di depan dan di belakang."Lucas, gantikan aku menyetir. Ada masalah di sekolah. Aku dan Javier akan mengikuti Nona Visha."Lucas menunjukkan wajah khawatirnya. Ia pun bertanya, "Masalah apa? Apa kami semua lebih baik ikut turun?"Usulan Lucas benar-benar sangat menggoda bagi Madoka. Tapi kemudian ia berkata, "Nah, bersiaga saja. Kalau kubilang turun, kalian segera cari ruang kepala sekolah dan berbaris rapi. Ok?"Lucas yang tak menebak macam-macam pun mengiyakan perintah Madoka.
"Ha! Tahu rasa kau, Dante! Paman-pamanku ini akan berurusan denganmu!" seru seorang anak laki-laki yang wajahnya terlihat lebam, keluar dari belakang salah satu pria kekar tersebut.Dante pun terlihat semakin kaget karena kehadirannya. Ia berseru, "Collen?!""Collen? Anak yang mengataimu, Tuan Muda?" tanya Madoka sambil berbisik menunduk.Dante mengangguk, mengiyakan pertanyaan Madoka.Ia mengamati setiap orang yang menantang mereka itu, mencoba mengingat-ingat. Karena ia merasa pernah melihat gerombolan ini.Dan setelah ia menemukan ingatannya, Madoka malah tertawa terbahak-bahak. Membuat semua pria kekar itu mengepalkan tangan mereka."Hey! Siapa kau pria kurus?! Apa ada yang lucu, hah?!" bentak salah satu pria kekar tadi.Madoka pun meredakan tawanya dan berdiri sambil menunduk.'Pria kurus?! Bajingan mereka! Antek Griffin ini memang tidak pernah punya otak!' batin Madoka sambil menyentak naik kepalanya. Netra pria cantik itu menyalak kesal."Kalian memang sudah tidak membuat kerib
Sementara itu di sekolah.Sepeninggalan Navisha, Damian tiba bersama Dengan Luca.Sesuai pesan dari Madoka, Damian langsung mencari tahu siapa Collen dan keluarganya. Tentu saja, termasuk menghubungi orangtua anak itu, yang sekarang sudah menunggu di ruang kepala sekolah.“Aku sudah lama tak mendengar kabar klan ini, Damian.” Luca berkomentar sambil membetulkan jasnya yang mulai kesempitan.Bianca sepertinya ketagihan memasak. ‘Atau suatu hari nanti ia akan meracuniku dengan salah satu menu kesukaanku?’ batin Luca kala memikirkan lengannya yang sedikit sulit digerakkan ke atas.“Setelah Madoka menghabisi separuh anggota klan kala itu, sepertinya mereka tidak lagi berani muncul ke permukaan, Bos,” jelas Damian sambil mengecek ulang informasi dari Shadow—anggota Cavallo yang bertugas meretas data seluruh umat manusia.Mereka tiba di depan pintu ruang kepala sekolah yang sudah terbuka lebar. Para penghuni ruangan tersebut segera bangkit dan memberi salam dengan penuh hormat.Kecuali anak
“Tapi dia juga kakaku, Ma. Ernesto akan bersaing dengan sehat.” Ernesto mencoba menjawab dengan tenang.Selama hidupnya, belum pernah Ernesto merasa sangat ingin membantah sang ibu. Tapi ia bisa menebak, kalau sampai ia tidak melakukan apa yang diinginkan Bianca.‘Aku tak mau dia mencelakai Kak Visha lagi.’ Ernesto membatin, sementara Bianca yang semakin kesal langsung keluar dari ruangan anaknya.Bianca tengah berjalan cepat menuju kamarnya ketika sang suami menghentikan langkahnya.“Lu—Luca, kau sudah pulang?” sapa Bianca sedikit terbata, karena kaget dengan kedatangan yang tiba-tiba itu.“Punya waktu untuk bicara denganku, Bianca?” tanya Luca dengan wajah manis yang dipaksakannya.Bianca tak buta. Ia jelas tahu kalau suaminya tengah marah karena suatu hal yang berhubungan dengannya. ‘Atau ini karena ulah Ernesto?! Ugh! Anak itu benar-benar tak bisa diharapkan!’ raung Bianca kesal.Wanita itu pun mengangguk. Detik selanjutnya, ia sudah mengikuti Luca menuju ke ruang kerja sang kepal
“Hm?” Visha menoleh mendengar Dante memanggilnya.Tapi begitu ia melihat wajah putranya yang menunjukkan kekalutan dan kebingungan, Visha pun berbalik dan menghampiri Dante lalu berjongkok.“Ada apa? Kenapa kamu panik, Dante?” tanya Visha sambil memeluk satu-satunya penghibur dalam hidupnya.“Mama—” suara Dante tiba-tiba tercekat dan malah digantikan dengan isakan kecil. Membuat Visha semakin khawatir terhadapnya.“Ada apa, Nak? Bicara saja pada Mama. Takkan ada yang salah, apapun yang ingin kau katakan.” Visha meyakinkan Dante untuk leluasa bercerita padanya.Dante pun mengangguk sambil menyeka wajahnya di bahu Visha. Ia mencoba segera meredakan tangisnya, walau masih ada satu atau dua bulir air mata yang lolos dari bingkai netra anak lelaki itu.“Mama … apakah Papaku orang jahat?” tanya Dante sambil berbisik. Sesekali isakan kecil masih lolos dari bibir mungilnya.Visha terkejut mendengar pertanyaan Dante yang tiba-tiba itu. Ia menebak kalau kekalutan di wajah sang anak adalah karen
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu