"Aku minta libur 1 hari!" Ernesto segera berdiri dan tanpa menunggu komentar Luca, ia pamit pulang.Sepeninggalan Ernesto, Luca tergelak seperti orang gila, membuat Visha membulatkan matanya kesal."Ayah! Bisa tidak, berhenti mengganggu anak laki-lakimu itu." Visha protes sambil menggelengkan kepalanya.Luca memegangi perutnya yang terasa sakit karena ia terlalu banyak tertawa. "Nak, kau lihat kan? Orang seperti itu, mau memimpin perusahaan ini setelah lulus kuliah?! Ha! Ha! Ha!"Kali ini Visha melemparkan tatapan tak setuju ke arah Luca sambil berseru, "Ayah mengujinya?!"Luca langsung mengangkat kedua tangannya. "Tidak, Sayang. Ayah pun berharap banyak padanya. Ayah pikir kali ini mungkin Ernesto akan mau memperjuangkan sesuatu. Tapi sepertinya tidak. Anak itu selalu saja senang bersantai."Mendengar itu, Visha pun tak lagi berkomentar. Jelas sang ayah yang paling tahu, seperti apa Ernesto dan bagaimana membuat anak laki-laki itu layak menyandang nama Cavallo. Bagaimanapun, ia sud
"Wha! Nona, tunggu sebentar!" seru Javier kaget dengan keputusan Visha. Pasalnya mereka masih jauh dari gedung sekolah. Tapi Visha tidak menunggu. Wanita itu langsung membuka pintu dan turun begitu saja dari mobil.Mau tak mau, Javier segera turun mengikuti Visha. Begitu juga dengan Madoka yang langsung turun dan menuju ke mobil yang berada di belakang mereka. Sejak penyerangan 7 tahun lalu, Luca memberlakukan penjagaan berlapis disekitar Visha dan Dante. Ke manapun mereka pergi, 2 mobil lain akan mengapit di depan dan di belakang."Lucas, gantikan aku menyetir. Ada masalah di sekolah. Aku dan Javier akan mengikuti Nona Visha."Lucas menunjukkan wajah khawatirnya. Ia pun bertanya, "Masalah apa? Apa kami semua lebih baik ikut turun?"Usulan Lucas benar-benar sangat menggoda bagi Madoka. Tapi kemudian ia berkata, "Nah, bersiaga saja. Kalau kubilang turun, kalian segera cari ruang kepala sekolah dan berbaris rapi. Ok?"Lucas yang tak menebak macam-macam pun mengiyakan perintah Madoka.
"Ha! Tahu rasa kau, Dante! Paman-pamanku ini akan berurusan denganmu!" seru seorang anak laki-laki yang wajahnya terlihat lebam, keluar dari belakang salah satu pria kekar tersebut.Dante pun terlihat semakin kaget karena kehadirannya. Ia berseru, "Collen?!""Collen? Anak yang mengataimu, Tuan Muda?" tanya Madoka sambil berbisik menunduk.Dante mengangguk, mengiyakan pertanyaan Madoka.Ia mengamati setiap orang yang menantang mereka itu, mencoba mengingat-ingat. Karena ia merasa pernah melihat gerombolan ini.Dan setelah ia menemukan ingatannya, Madoka malah tertawa terbahak-bahak. Membuat semua pria kekar itu mengepalkan tangan mereka."Hey! Siapa kau pria kurus?! Apa ada yang lucu, hah?!" bentak salah satu pria kekar tadi.Madoka pun meredakan tawanya dan berdiri sambil menunduk.'Pria kurus?! Bajingan mereka! Antek Griffin ini memang tidak pernah punya otak!' batin Madoka sambil menyentak naik kepalanya. Netra pria cantik itu menyalak kesal."Kalian memang sudah tidak membuat kerib
Sementara itu di sekolah.Sepeninggalan Navisha, Damian tiba bersama Dengan Luca.Sesuai pesan dari Madoka, Damian langsung mencari tahu siapa Collen dan keluarganya. Tentu saja, termasuk menghubungi orangtua anak itu, yang sekarang sudah menunggu di ruang kepala sekolah.“Aku sudah lama tak mendengar kabar klan ini, Damian.” Luca berkomentar sambil membetulkan jasnya yang mulai kesempitan.Bianca sepertinya ketagihan memasak. ‘Atau suatu hari nanti ia akan meracuniku dengan salah satu menu kesukaanku?’ batin Luca kala memikirkan lengannya yang sedikit sulit digerakkan ke atas.“Setelah Madoka menghabisi separuh anggota klan kala itu, sepertinya mereka tidak lagi berani muncul ke permukaan, Bos,” jelas Damian sambil mengecek ulang informasi dari Shadow—anggota Cavallo yang bertugas meretas data seluruh umat manusia.Mereka tiba di depan pintu ruang kepala sekolah yang sudah terbuka lebar. Para penghuni ruangan tersebut segera bangkit dan memberi salam dengan penuh hormat.Kecuali anak
“Tapi dia juga kakaku, Ma. Ernesto akan bersaing dengan sehat.” Ernesto mencoba menjawab dengan tenang.Selama hidupnya, belum pernah Ernesto merasa sangat ingin membantah sang ibu. Tapi ia bisa menebak, kalau sampai ia tidak melakukan apa yang diinginkan Bianca.‘Aku tak mau dia mencelakai Kak Visha lagi.’ Ernesto membatin, sementara Bianca yang semakin kesal langsung keluar dari ruangan anaknya.Bianca tengah berjalan cepat menuju kamarnya ketika sang suami menghentikan langkahnya.“Lu—Luca, kau sudah pulang?” sapa Bianca sedikit terbata, karena kaget dengan kedatangan yang tiba-tiba itu.“Punya waktu untuk bicara denganku, Bianca?” tanya Luca dengan wajah manis yang dipaksakannya.Bianca tak buta. Ia jelas tahu kalau suaminya tengah marah karena suatu hal yang berhubungan dengannya. ‘Atau ini karena ulah Ernesto?! Ugh! Anak itu benar-benar tak bisa diharapkan!’ raung Bianca kesal.Wanita itu pun mengangguk. Detik selanjutnya, ia sudah mengikuti Luca menuju ke ruang kerja sang kepal
“Hm?” Visha menoleh mendengar Dante memanggilnya.Tapi begitu ia melihat wajah putranya yang menunjukkan kekalutan dan kebingungan, Visha pun berbalik dan menghampiri Dante lalu berjongkok.“Ada apa? Kenapa kamu panik, Dante?” tanya Visha sambil memeluk satu-satunya penghibur dalam hidupnya.“Mama—” suara Dante tiba-tiba tercekat dan malah digantikan dengan isakan kecil. Membuat Visha semakin khawatir terhadapnya.“Ada apa, Nak? Bicara saja pada Mama. Takkan ada yang salah, apapun yang ingin kau katakan.” Visha meyakinkan Dante untuk leluasa bercerita padanya.Dante pun mengangguk sambil menyeka wajahnya di bahu Visha. Ia mencoba segera meredakan tangisnya, walau masih ada satu atau dua bulir air mata yang lolos dari bingkai netra anak lelaki itu.“Mama … apakah Papaku orang jahat?” tanya Dante sambil berbisik. Sesekali isakan kecil masih lolos dari bibir mungilnya.Visha terkejut mendengar pertanyaan Dante yang tiba-tiba itu. Ia menebak kalau kekalutan di wajah sang anak adalah karen
“Ha?! Mencari Papa?!” Pikiran Visha langsung kosong begitu mendengar jawaban Dante.“Ke—ke mana kamu mencari Papa?” tanya Visha lagi, sambil berharap kalau tebakannya salah.“Uncle Javier!” seru Dante dengan wajah bahagia, menjawab pertanyaan Visha barusan.Mendengar jawaban itu, roh Visha seakan pergi meninggalkan tubuhnya. Wanita itu benar-benar tidak tahu kalau gurauannya ditanggapi dengan serius oleh sang putra.Tapi di sudut hatinya yang tak terlihat, Visha penasaran dengan respon Javier terhadap permintaan Dante.‘Pfft! Kayak yang bakal direspon dengan serius saja. Javier lagi. Tidak ada romantic-romantisnya,’ keluh Visha dalam hati.“Dante, tidak bisa sembarangan meminta seperti itu. Jangan bicarakan ini dulu, oke?! Kakekmu bisa pingsan karena kaget nanti.”Dante mengangguk sementara sang mama menggandengnya ke ruang makan.*** Sementara itu di rumah Javier, Madoka masih saja membahas pertanyaan Dante tadi.“Dia memanggilmu ‘papa’! Ha! Ha! Ha! Aku benar-benar tak bisa me
"Papa?! Javier?!" Luca mempertanyakan ulang salam yang diucapkan Dante barusan.Dante pun mengangguk dengan wajah penuh kebanggaan. Tapi, tanpa tahu apa-apa Luca malah tergelak seperti orang gila.Javier yang melihat respon Luca pun menghela napas lega. 'Untunglah kalau Bos menganggap ini hanya gurauan,' batin Javier.Ia pun segera membukakan pintu untuk Dante. Dan mereka langsung berangkat setelah Visha masuk.Tiba di sekolah, Luca bersikeras ikut mengantar Dante sampai ke dalam kelas. "Ayah, apa kemarin kau ke sini?" tebak Visha. Ia awalnya bingung kenapa Luca tiba-tiba ingin ikut ke sekolah Dante. Dan semakin yakin dengan tebakannya setelah Luca turut mengantar Dante sampai ke dalam kelas Bahkan Visha saja biasanya hanya mengantar sampai pintu masuk gedung sekolah."Tentu saja. Kudengar cucuku diejek temannya, tak mungkin aku berdiam diri, Nak." Luca menjawab dengan tenang.Dante pun tak merasa keberatan sang kakek mengantar sampai di dekat tempat duduknya. Ia malah dengan bang