“Ha?! Mencari Papa?!” Pikiran Visha langsung kosong begitu mendengar jawaban Dante.“Ke—ke mana kamu mencari Papa?” tanya Visha lagi, sambil berharap kalau tebakannya salah.“Uncle Javier!” seru Dante dengan wajah bahagia, menjawab pertanyaan Visha barusan.Mendengar jawaban itu, roh Visha seakan pergi meninggalkan tubuhnya. Wanita itu benar-benar tidak tahu kalau gurauannya ditanggapi dengan serius oleh sang putra.Tapi di sudut hatinya yang tak terlihat, Visha penasaran dengan respon Javier terhadap permintaan Dante.‘Pfft! Kayak yang bakal direspon dengan serius saja. Javier lagi. Tidak ada romantic-romantisnya,’ keluh Visha dalam hati.“Dante, tidak bisa sembarangan meminta seperti itu. Jangan bicarakan ini dulu, oke?! Kakekmu bisa pingsan karena kaget nanti.”Dante mengangguk sementara sang mama menggandengnya ke ruang makan.*** Sementara itu di rumah Javier, Madoka masih saja membahas pertanyaan Dante tadi.“Dia memanggilmu ‘papa’! Ha! Ha! Ha! Aku benar-benar tak bisa me
"Papa?! Javier?!" Luca mempertanyakan ulang salam yang diucapkan Dante barusan.Dante pun mengangguk dengan wajah penuh kebanggaan. Tapi, tanpa tahu apa-apa Luca malah tergelak seperti orang gila.Javier yang melihat respon Luca pun menghela napas lega. 'Untunglah kalau Bos menganggap ini hanya gurauan,' batin Javier.Ia pun segera membukakan pintu untuk Dante. Dan mereka langsung berangkat setelah Visha masuk.Tiba di sekolah, Luca bersikeras ikut mengantar Dante sampai ke dalam kelas. "Ayah, apa kemarin kau ke sini?" tebak Visha. Ia awalnya bingung kenapa Luca tiba-tiba ingin ikut ke sekolah Dante. Dan semakin yakin dengan tebakannya setelah Luca turut mengantar Dante sampai ke dalam kelas Bahkan Visha saja biasanya hanya mengantar sampai pintu masuk gedung sekolah."Tentu saja. Kudengar cucuku diejek temannya, tak mungkin aku berdiam diri, Nak." Luca menjawab dengan tenang.Dante pun tak merasa keberatan sang kakek mengantar sampai di dekat tempat duduknya. Ia malah dengan bang
"Ayah?!" tegur Visha dengan suara pelan, sambil meremas ujung jas bagian belakang Luca.Tapi Luca tak menghiraukan teguran putrinya. Ia sudah mempertimbangkan semuanya dan menganggap Ernesto layak untuk menjadi calon pengganti kedudukan CEO Viensha Ltd. Dan lagi, ini juga sebagai pembuktian pada diri Luca dan Bianca, apakah Ernesto memang layak memimpin Viensha Ltd. Sementara, keyakinan Luca tidak pernah goyah. Ia tahu, ia bisa mempercayakan Viensha Ltd ini pada Visha. "Selamat bersaing!" seru para tamu undangan sambil bertepuk tangan, seolah ini adalah acara pembagian hadiah biasa.Visha melirik Ernesto dan mendapati pria muda itu pun tidak menolaknya.'Padahal, kalau mau, Ayah bisa memilih Ernesto saja. Aku masih merasa tak mampu menanggung beban berat seorang CEO.' Visha membatin sedih, walau penampakan wajahnya terlihat penuh senyum.Pesta masih berlanjut hingga 1 jam ke depan. Visha mencoba mendiskusikan apa yang dilakukan Luca barusan, tapi sepertinya pria tua itu tak punya r
“Bagaimana kondisi Dante, Dok?” tanya Visha.Nadanya penuh kekhawatiran, melihat Dante terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur rumah sakit. Pipinya diberi perban karena ada luka saat membentur aspal jalanan.Luca juga sudah tiba di sisi Visha, merangkul putrinya untuk menabahkan hati ibunda Dante tersebut.Dokter tersebut menjelaskan, “Selain luka di pipi. Tidak ada luka lain yang terlihat. Namun, saya menjadwalkan CT-scan, kalau-kalau kepalanya sempat terantuk.”Penjelasan sang dokter semakin membuat Visha kalut. Ia pun menangis di pelukan Luca.Sementara itu, Madoka yang terluka cukup parah hanya berdiri di dekat pintu, tak berani menatap Dante maupun Visha.“Sebenarnya tidak ada luka di pelipis atau kepala. Tapi sebaiknya tetap diperiksa, bukan?” imbuh dokter itu lagi, mencoba menenangkan Visha.“Silakan lakukan apa yang terbaik untuk cucu saya, Dokter.” Luca menegaskan.“Tentu saja Tuan Luca. Tentu saja. Kalau begitu saya permisi. Suster akan menjemput untuk CT-scan beber
“Madoka! Hentikan!” raung Damian untuk kedua kalinya.Isi gudang itu sudah berantakan. Banyak kotak kayu yang sudah hancur karena bantingan.Ini kali kedua Damian terlihat panik seumur hidupnya. Biasanya dia adalah tipe pria yang sangat tenang, sebesar apapun masalahnya.Tapi kali ini ia panik karena Madoka seperti tidak mendengar suaranya. Pria berambut panjang itu tak berhenti berjalan menuju seorang pria yang tengah gemetar ketakutan di dinding gudang.Dengan tergesa Damian berlari ke arah Madoka dan menarik tubuhnya supaya berhenti melangkah. Tapi Madoka mengayunkan lengannya dan menghantamkan pipa besi di tangannya ke belakang tubuhnya.“Argh!” Pipa itu mengenai kepala Damian dengan sangat keras. Darah segar langsung mengalir hingga terasa sampai leher dan punggungnya.Tapi Damian tak menyerah. Ia tetap memegangi tubuh Madoka, melarangnya untuk melangkah sedikitpun.Musuh mereka yang ketakutan itu ternyata juga sudah dalam kondisi tidak bisa melarikan diri dari sana. Kakinya suda
“Nona akan mengunjungi Madoka lagi?” tanya Javier.Visha yang tengah melamun, mengangguk tanpa menoleh pada Javier.Sudah hampir 1 minggu, Madoka masih belum sadar dari komanya. Sementara Dante yang mengetahui hal itu, merasa sangat bersalah.Dan sekarang mereka sedang berdiskusi di meja tamu yang ada di dalam kamar Visha, sementara Dante sedang mandi.“Bagaimana caranya membuat Dante tidak merasa bersalah, Javier?”Pertanyaan Visha yang tiba-tiba itu membuat Javier ikut berpikir. Sejak Dante keluar dari rumah sakit dan kembali ke sekolah, Visha memintanya menjadi bodyguard Dante ketimbang dirinya.Visha merasa, ia seorang diri masih bisa mempertahankan diri kalau memang ada yang mengganggunya. Tapi tidak dengan Dante. Anak laki-laki itu lebih membutuhkan Dante ketimbangan dirinya.“Boleh saya bicara dengan Dante nanti, Nona? Saya akan coba lakukan sesuatu.” Hanya itu yang bisa Javier berikan sebagai jawaban untuk saat ini.Kali ini Visha menoleh dan tersenyum ke arah Javier. “Kalau b
Sementara itu di kediaman Cavallo.Javier yang menerima pesan itu, semakin berpikir keras, bagaimana supaya Dante tidak mengalami self-blaming setelah ia mengunjungi Madoka.Saat ini, Dante tengah bermain dengan Javier. Pria itu terkejut, ketika tiba-tiba anak laki-laki itu bertanya, “Kapan Uncle Madoka akan pulang dari rumah sakit?”“Hm ….” Javier mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.Ia menganggap ini sebagai kesempatan untuk sekalian memberitahu Dante, bahwa kondisi Madoka saat ini bukanlah kesalahannya.Tapi belum juga sempat menjawab, Dante menambah pertanyaan baru, “Apa sakitnya parah? Apa tidak akan pulang?”“Nah, tidak, tidak. Sepertinya Madoka … belum ingin bangun dari tidurnya.”Tiba-tiba, Javier teringat akan kenangan masa kecilnya. Mengenai film kartun superhero yang selalu membasmi mimpi buruk.Ia pun segera menambahkan, “Kau tahu, Tuan Muda. Madoka melawan semua musuh yang mengganggu bukan? Kali ini dia juga sedang melawan mereka di alam mim
“Tapi … Grandpa tidak memperbolehkannya,” ujar Dante dengan suara pelan.Di satu sisi ia tidak mau membuat sang kakek marah padanya, tapi di sisi lain ia sangat ingin mengirim dream catcher itu pada Madoka.Javier tersenyum. Kemudian ia bertanya, “Apa Tuan Muda tetap ingin membuatnya?”Dante pun mengangguk. Ia sangat ingin membantu Madoka yang sudah melindunginya malam itu.“Kalau begitu, ayo kita buat, Tuan muda,” ajak Javier sambil menepuk pundak anak laki-laki itu.“Benarkah?! Kita akan tetap membuatnya?” tanya Dante dengan raut wajah yang sudah berubah menjadi raut bahagia.“Tentu saja. Tidak ada yang bisa menolong Madoka selain Tuan muda.” Javier meyakinkan Dante.Merekapun akhirnya memaksa Eugene untuk pulang ke rumahnya dan mencari barang-barang yang mereka butuhkan.Segera, Dante dan Javier sibuk membuat dream catcher di dalam kamar Visha. Mereka membuat 3 dream catcher, sampai-sampai Dante terlelap di pangkuan Javier.Malam itu, Dante melaporkan apa yang sudah ia bicarakan de
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu