“Apa ada hal yang terjadi, sampai kau tiba-tiba memasak, Bianca?” tanya Luca, tak menahan diri dari rasa penasarannya.Tubuh Bianca bergerak kaget mendengar pertanyaan yang sebenarnya sudah ia perhitungkan akan ditanyakan oleh salah satu dari mereka.Karena memang memasak sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Setidaknya hingga hari ini.“Aku hanya ingin sekali-kali mencoba memasak, Sayang. Aku lihat Visha sering memasak untuk Dante,” kilahnya sekalian memuji Visha.“Bagus sekali, kalau begitu, Bianca. Dan ini cukup enak untuk seseorang yang seumur hidup tak pernah memasak.” Luca terus memuji sang istri, membuatnya semakin melambung tinggi.Separuh jalan mereka menikmati makan malam, Ernesto pun tiba dengan wajah penuh semangat sambil berkata, “Mana makanan Mama?!”Ernesto pun duduk sementara Celez menambahkan piring dan peralatan makan di hadapannya.“Nyonya besar membuat Panzanella ini dan Saltimbocca, Tuan Muda.” Celez menunjuk kedua menu tersebut dengan tangan kanan yang menengadah
“Kenapa tidak bisa?” Visha mengerutkan dahinya, bingung.Selama ini ia tidak pernah absen mengikuti rapat pemegang saham, setiap tahunnya. ‘Masa’kan sekali saja aku tak bisa absen?’ keluh ibu beranak satu itu, dalam hati.Javier akhirnya mengaku, “Bos Luca … meminta saya mengosongkan jadwal. Maafkan saya, Nona. Saya tidak menyangka bahwa itu adalah hari yang sama dengan hari perjanjian dengan tuan muda.”“Argh! Jadi itu rupanya. Bukan salahmu, Jav. Apa yang membuatnya memintamu begitu ya? Aku akan bicarakan dengan Dante nanti.” Visha memutuskan.“Baik, Nona.” Javier mengangguk.Mereka pun akhirnya tiba di kantor Viensha Ltd.Hari ini Luca memanggil Visha ke kantor untuk mengikuti beberapa rapat dengan divisi-divisi.*** Hari siang, berganti sore.Sementara itu, Ernesto yang sedang berada di rumah, tengah mendengar ocehan sang ibunda.“Mam … aku baru akan lulus kuliah, Papa pasti berpikir kalau aku belum banyak pengalaman,” ujar Ernesto menjelaskan dari sudut pandang Luca.Seben
“Pa, bukankah ini tidak ada kaitannya dengan suka atau tidak, hm? Aku hanya menagih janji saja,” ujar Ernesto sambil terkekeh. Ia merasa di atas angin saat ini, karena ia tahu semua ucapannya benar. Tapi segera, kekehannya berubah menjadi raut wajah siaga ketika sang ayah mengambi cangkir teh dan menyesapnya santai.Setelah meletakkan cangkir itu lagi, Luca akhirnya membuka mulut berkomentar dengan tenangnya, “Kau pikir papa tidak memperhitungkan semuanya? Kalau seperti itu, perusahaan yang papa bangun dengan keringat dan air mata hanya akan hancur dalam hitungan bulan.”“Apa maksud Papa?” Kerutan tak suka muncul di kening anak kedua dari Luca tersebut. “Jangan menganggap karena aku masih muda lantas aku tak bisa memimpin sebuah perusahaan!”Melihat raut kekesalan sang anak, Luca pun tergelak. ‘Tapi kuacungkan jempol karena berani menagihku,’ batinnya dengan bangga.“Ernesto, kau bahkan tak bisa mengerjakan tugas kecil dariku kalau bukan karena bantuan ibumu. Apa kau percaya diri ak
“Visha, Nak. Bagaimana pekerjaan sejauh ini?” tanya Luca membuka pembicaraan. Luca melirik Ernesto, seolah memintanya untuk melihat dan menilai bagaimana Visha memberikan laporan.'Laporan? Kupikir ada apa. Wajah Ernesto terlihat tegang,' batin Visha menghela napas lega, karena ini hanyalah pertanyaan seputar pekerjaannya.“Ada beberapa komplain saat aku pergi mengunjungi dua orang klien lama kita, Yah. Tapi, aku sudah mendapat izin untuk memberikan mereka sedikit kompensasi agar mereka tidak melepas kerja sama dengan Viensha Ltd.,” lapor Visha dengan nada santai. Setiap kali Luca menanyakan soal pekerjaannya, Visha tidak menampilkan hal baik di awal. Dan entah kenapa itu membuat pria paruh baya tersebur merasa tenang. ‘Putriku tahu di mana letak masalah dan ia paham bagaimana mengambil langkah cepat, sambil menunggu proses perbaikan,’ batin Luca puas.Belum selesai, Visha pun melanjutkan, “Mereka terdengar senang, tapi aku sudah menyelipkan alat penyadap, kalau-kalau mereka mengoce
"Nah ... kita masih bisa menggelar rapat luar biasa nantinya, Damian. Hilangkan saja dulu. Anak-anak perlu waktu untuk belajar."Luca terkekeh santai saat memutuskan hal itu.Damian pun tak bisa membantah kemauan sang atasan. Tapi ia akan cukup dipusingkan dengan administrasi pemerintah karena mengganti agenda rapat mendekati hari di mana rapat diselenggarakan.Sementara itu, Bianca yang tahu kalau Ernesto sudah selesai bicara dengan Luca, bergegas menuju ke kamar anak laki-lakinya tersebut untuk menanyakan apa yang dikatakan sang ayah padanya."Bagaimana, Nak? Papamu akan menyerahkan posisi itu untukmu, kan?" tanya Bianca. Perasaannya campur aduk antara penuh semangat dan juga ketakutan. Tapi melihat wakah sumringah sang anak, Bianca menebak kalau pembicaraan mereka sepertinya mulus."Aku akan mulai bekerja di Viensha Ltd, besok lusa, Mama. Tenang saja. Aku akan belajar dengan cepat." Senyuman Ernesto terlihat cukup bahagia di pandangan mata Bianca.Tapi, sepertinya sang ibu tidak s
"Kak ... apa kau bisa menjelaskan saja, apa arti semua laporan ini?" bisik Ernesto sambil menggeser kursinya dan memiringkan tubuhnya mendekat pada Visha. Anak kedua dari Luca itu menambahkan, "Aku tidak paham apa maksud semua ini, Kak Visha."Mendengar pengakuan jujur dari Ernesto, Visha hampir saja kelepasan mentertawakan sang adik. Bukan karena ia meremehkannya, tapi wajah Ernesto terlihat lucu ketika berbisik barusan.Visha pun pura-pura membersihkan tenggorokannya dengan berdeham beberaoa kali, sebelum ia akhirnya mengatakan, "Kau bisa ikuti saja rapatnya. Catat apa yang tidak kau mengerti. Nanti setelah rapat baru kita bahas.""Baiklah! Jangan sampai mereka meminta saran dariku, Kak. Karena aku sungguh tidak paham dengan semua ini," keluh Ernesto dengan suara pelan, sambil kembali ke posisi duduknya semula."Tenang saja." Visha kemudian mengirim pesan pada Damian untuk meminta para direksi tidak memberi pertanyaan pada Ernesto untuk saat ini.'Damian, tolong beritahu semua dir
"Apa?!" Ernesto mencoba protes. "Pa—maksudku, Tuan Luca—"Sayangnya, Luca sudah berjalan keluar dari ruang rapat sambil tertawa terbahak-bahak.Merasa dipermalukan, Ernesto pun terdiam di tempat sambil mengepalkan tinju kanannya.Melihat respon sang tuan muda, Damian pun segera mengosongkan ruangan, meminta semua peserta rapat segera meninggalkan ruangan.Sementara itu, Visha menghela napas lelah. Lelah dengan kelakuan antik sang ayah. Untuk Visha pribadi, entah kenapa, ia bisa memahami sudut pandang sang ayah. Memang awalnya ia merasa tertekan, tapi setelah Visha melihat sisi terang dari sikap keras sang ayah, ia pun bisa bekerja dengan lebih baik."Ernesto. Tenang saja. Ada aku." Visha meraih kepalan tangan sang adik, berharap pria muda itu mau mengendurkannya, termasuk emosinya.Sang adik menggeleng, tidak terima. "Dia bersikap seenaknya! Apa dia sebegitu tak sukanya aku memegang kendali atas perusahaan ini?!" sentak Ernesto dengan nada tertahan."Tidak, Ernesto. Tidak seperti itu
"Aku minta libur 1 hari!" Ernesto segera berdiri dan tanpa menunggu komentar Luca, ia pamit pulang.Sepeninggalan Ernesto, Luca tergelak seperti orang gila, membuat Visha membulatkan matanya kesal."Ayah! Bisa tidak, berhenti mengganggu anak laki-lakimu itu." Visha protes sambil menggelengkan kepalanya.Luca memegangi perutnya yang terasa sakit karena ia terlalu banyak tertawa. "Nak, kau lihat kan? Orang seperti itu, mau memimpin perusahaan ini setelah lulus kuliah?! Ha! Ha! Ha!"Kali ini Visha melemparkan tatapan tak setuju ke arah Luca sambil berseru, "Ayah mengujinya?!"Luca langsung mengangkat kedua tangannya. "Tidak, Sayang. Ayah pun berharap banyak padanya. Ayah pikir kali ini mungkin Ernesto akan mau memperjuangkan sesuatu. Tapi sepertinya tidak. Anak itu selalu saja senang bersantai."Mendengar itu, Visha pun tak lagi berkomentar. Jelas sang ayah yang paling tahu, seperti apa Ernesto dan bagaimana membuat anak laki-laki itu layak menyandang nama Cavallo. Bagaimanapun, ia sud
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu