“Pa, bukankah ini tidak ada kaitannya dengan suka atau tidak, hm? Aku hanya menagih janji saja,” ujar Ernesto sambil terkekeh. Ia merasa di atas angin saat ini, karena ia tahu semua ucapannya benar. Tapi segera, kekehannya berubah menjadi raut wajah siaga ketika sang ayah mengambi cangkir teh dan menyesapnya santai.Setelah meletakkan cangkir itu lagi, Luca akhirnya membuka mulut berkomentar dengan tenangnya, “Kau pikir papa tidak memperhitungkan semuanya? Kalau seperti itu, perusahaan yang papa bangun dengan keringat dan air mata hanya akan hancur dalam hitungan bulan.”“Apa maksud Papa?” Kerutan tak suka muncul di kening anak kedua dari Luca tersebut. “Jangan menganggap karena aku masih muda lantas aku tak bisa memimpin sebuah perusahaan!”Melihat raut kekesalan sang anak, Luca pun tergelak. ‘Tapi kuacungkan jempol karena berani menagihku,’ batinnya dengan bangga.“Ernesto, kau bahkan tak bisa mengerjakan tugas kecil dariku kalau bukan karena bantuan ibumu. Apa kau percaya diri ak
“Visha, Nak. Bagaimana pekerjaan sejauh ini?” tanya Luca membuka pembicaraan. Luca melirik Ernesto, seolah memintanya untuk melihat dan menilai bagaimana Visha memberikan laporan.'Laporan? Kupikir ada apa. Wajah Ernesto terlihat tegang,' batin Visha menghela napas lega, karena ini hanyalah pertanyaan seputar pekerjaannya.“Ada beberapa komplain saat aku pergi mengunjungi dua orang klien lama kita, Yah. Tapi, aku sudah mendapat izin untuk memberikan mereka sedikit kompensasi agar mereka tidak melepas kerja sama dengan Viensha Ltd.,” lapor Visha dengan nada santai. Setiap kali Luca menanyakan soal pekerjaannya, Visha tidak menampilkan hal baik di awal. Dan entah kenapa itu membuat pria paruh baya tersebur merasa tenang. ‘Putriku tahu di mana letak masalah dan ia paham bagaimana mengambil langkah cepat, sambil menunggu proses perbaikan,’ batin Luca puas.Belum selesai, Visha pun melanjutkan, “Mereka terdengar senang, tapi aku sudah menyelipkan alat penyadap, kalau-kalau mereka mengoce
"Nah ... kita masih bisa menggelar rapat luar biasa nantinya, Damian. Hilangkan saja dulu. Anak-anak perlu waktu untuk belajar."Luca terkekeh santai saat memutuskan hal itu.Damian pun tak bisa membantah kemauan sang atasan. Tapi ia akan cukup dipusingkan dengan administrasi pemerintah karena mengganti agenda rapat mendekati hari di mana rapat diselenggarakan.Sementara itu, Bianca yang tahu kalau Ernesto sudah selesai bicara dengan Luca, bergegas menuju ke kamar anak laki-lakinya tersebut untuk menanyakan apa yang dikatakan sang ayah padanya."Bagaimana, Nak? Papamu akan menyerahkan posisi itu untukmu, kan?" tanya Bianca. Perasaannya campur aduk antara penuh semangat dan juga ketakutan. Tapi melihat wakah sumringah sang anak, Bianca menebak kalau pembicaraan mereka sepertinya mulus."Aku akan mulai bekerja di Viensha Ltd, besok lusa, Mama. Tenang saja. Aku akan belajar dengan cepat." Senyuman Ernesto terlihat cukup bahagia di pandangan mata Bianca.Tapi, sepertinya sang ibu tidak s
"Kak ... apa kau bisa menjelaskan saja, apa arti semua laporan ini?" bisik Ernesto sambil menggeser kursinya dan memiringkan tubuhnya mendekat pada Visha. Anak kedua dari Luca itu menambahkan, "Aku tidak paham apa maksud semua ini, Kak Visha."Mendengar pengakuan jujur dari Ernesto, Visha hampir saja kelepasan mentertawakan sang adik. Bukan karena ia meremehkannya, tapi wajah Ernesto terlihat lucu ketika berbisik barusan.Visha pun pura-pura membersihkan tenggorokannya dengan berdeham beberaoa kali, sebelum ia akhirnya mengatakan, "Kau bisa ikuti saja rapatnya. Catat apa yang tidak kau mengerti. Nanti setelah rapat baru kita bahas.""Baiklah! Jangan sampai mereka meminta saran dariku, Kak. Karena aku sungguh tidak paham dengan semua ini," keluh Ernesto dengan suara pelan, sambil kembali ke posisi duduknya semula."Tenang saja." Visha kemudian mengirim pesan pada Damian untuk meminta para direksi tidak memberi pertanyaan pada Ernesto untuk saat ini.'Damian, tolong beritahu semua dir
"Apa?!" Ernesto mencoba protes. "Pa—maksudku, Tuan Luca—"Sayangnya, Luca sudah berjalan keluar dari ruang rapat sambil tertawa terbahak-bahak.Merasa dipermalukan, Ernesto pun terdiam di tempat sambil mengepalkan tinju kanannya.Melihat respon sang tuan muda, Damian pun segera mengosongkan ruangan, meminta semua peserta rapat segera meninggalkan ruangan.Sementara itu, Visha menghela napas lelah. Lelah dengan kelakuan antik sang ayah. Untuk Visha pribadi, entah kenapa, ia bisa memahami sudut pandang sang ayah. Memang awalnya ia merasa tertekan, tapi setelah Visha melihat sisi terang dari sikap keras sang ayah, ia pun bisa bekerja dengan lebih baik."Ernesto. Tenang saja. Ada aku." Visha meraih kepalan tangan sang adik, berharap pria muda itu mau mengendurkannya, termasuk emosinya.Sang adik menggeleng, tidak terima. "Dia bersikap seenaknya! Apa dia sebegitu tak sukanya aku memegang kendali atas perusahaan ini?!" sentak Ernesto dengan nada tertahan."Tidak, Ernesto. Tidak seperti itu
"Aku minta libur 1 hari!" Ernesto segera berdiri dan tanpa menunggu komentar Luca, ia pamit pulang.Sepeninggalan Ernesto, Luca tergelak seperti orang gila, membuat Visha membulatkan matanya kesal."Ayah! Bisa tidak, berhenti mengganggu anak laki-lakimu itu." Visha protes sambil menggelengkan kepalanya.Luca memegangi perutnya yang terasa sakit karena ia terlalu banyak tertawa. "Nak, kau lihat kan? Orang seperti itu, mau memimpin perusahaan ini setelah lulus kuliah?! Ha! Ha! Ha!"Kali ini Visha melemparkan tatapan tak setuju ke arah Luca sambil berseru, "Ayah mengujinya?!"Luca langsung mengangkat kedua tangannya. "Tidak, Sayang. Ayah pun berharap banyak padanya. Ayah pikir kali ini mungkin Ernesto akan mau memperjuangkan sesuatu. Tapi sepertinya tidak. Anak itu selalu saja senang bersantai."Mendengar itu, Visha pun tak lagi berkomentar. Jelas sang ayah yang paling tahu, seperti apa Ernesto dan bagaimana membuat anak laki-laki itu layak menyandang nama Cavallo. Bagaimanapun, ia sud
"Wha! Nona, tunggu sebentar!" seru Javier kaget dengan keputusan Visha. Pasalnya mereka masih jauh dari gedung sekolah. Tapi Visha tidak menunggu. Wanita itu langsung membuka pintu dan turun begitu saja dari mobil.Mau tak mau, Javier segera turun mengikuti Visha. Begitu juga dengan Madoka yang langsung turun dan menuju ke mobil yang berada di belakang mereka. Sejak penyerangan 7 tahun lalu, Luca memberlakukan penjagaan berlapis disekitar Visha dan Dante. Ke manapun mereka pergi, 2 mobil lain akan mengapit di depan dan di belakang."Lucas, gantikan aku menyetir. Ada masalah di sekolah. Aku dan Javier akan mengikuti Nona Visha."Lucas menunjukkan wajah khawatirnya. Ia pun bertanya, "Masalah apa? Apa kami semua lebih baik ikut turun?"Usulan Lucas benar-benar sangat menggoda bagi Madoka. Tapi kemudian ia berkata, "Nah, bersiaga saja. Kalau kubilang turun, kalian segera cari ruang kepala sekolah dan berbaris rapi. Ok?"Lucas yang tak menebak macam-macam pun mengiyakan perintah Madoka.
"Ha! Tahu rasa kau, Dante! Paman-pamanku ini akan berurusan denganmu!" seru seorang anak laki-laki yang wajahnya terlihat lebam, keluar dari belakang salah satu pria kekar tersebut.Dante pun terlihat semakin kaget karena kehadirannya. Ia berseru, "Collen?!""Collen? Anak yang mengataimu, Tuan Muda?" tanya Madoka sambil berbisik menunduk.Dante mengangguk, mengiyakan pertanyaan Madoka.Ia mengamati setiap orang yang menantang mereka itu, mencoba mengingat-ingat. Karena ia merasa pernah melihat gerombolan ini.Dan setelah ia menemukan ingatannya, Madoka malah tertawa terbahak-bahak. Membuat semua pria kekar itu mengepalkan tangan mereka."Hey! Siapa kau pria kurus?! Apa ada yang lucu, hah?!" bentak salah satu pria kekar tadi.Madoka pun meredakan tawanya dan berdiri sambil menunduk.'Pria kurus?! Bajingan mereka! Antek Griffin ini memang tidak pernah punya otak!' batin Madoka sambil menyentak naik kepalanya. Netra pria cantik itu menyalak kesal."Kalian memang sudah tidak membuat kerib