Saat tengah sibuk di dapur, terdengar alunan 'Sang Dewi' milik penyanyi Lyodra hingga membuat Kania mengecilkan kompor lalu mendekati meja makan--tempat ponselnya terletak. Senyumnya seketika tersungging saat melihat nama sang suami di layar iPhone 13-nya. Ia lalu merapikan rambutnya dengan tangan sebelum menarik tombol hijau ke atas.
“Kenapa, Mas, tumben video call?” ucap Kania setelah menjawab salam Dika. Ia pun sempat melirik jam dinding yang ada di dapur. Jam tiga sore. “Biasanya kalau udah di kantor suka lupa sama yang di rumah,” ucapnya hingga membuat Dika tersenyum.“Dek, kamu lagi ngapain?”“Tuh lihat. Aku lagi masak, buat makan malam.”“Sekarang kamu matiin kompor dan cuci tangan. Nggak usah masak. Terus kamu pergi ke salon dan dandan yang cantik. Nanti jam lima Mas jemput. Kita makan malam di luar.”Sontak, mata Kania membulat. Sudah cukup lama Dika tidak pernah mengajaknya makan di luar. “Beneran, Mas?”“Iya. Kalau perlu kamu beli baju baru. Mas mau ajak kamu makan ke restoran mahal.”“Wah, oke, Mas. Eh, tapi dalam rangka apa, ni? Tumben. Aku, kan, lagi nggak ulang tahun? Ulang tahun pernikahan kita juga udah lewat.”“Aku naik jabatan. Sekarang Mas jadi kepala divisi, Dek, dan dipindahkan ke kantor pusat.”“Alhamdulillah. Selamat, ya, Mas. Akhirnya kerja keras Mas selama ini membuahkan hasil.”“Alhamdulillah.Berkat doa dan dukungan kamu juga, Dek. Ya, sudah, ya. Mas masih ada urusan. Jangan lupa kamu dandan yang cantik, ya.”“Siap, Bos.”Dika baru akan mematikan panggilan saat suara Kania kembali terdengar.““Eh, Mas, Mas.”“Iya, Dek, kenapa lagi?”“Boleh, nggak aku ajak Nisya?”“Buat apa? Mas kan ingin merayakannya berdua sama kamu.”“Aku cuma mau minta maaf atas sikapku tempo hari. Sampai sekarang aku masih merasa bersalah sama dia.”Dika melepas kasar udara di paru-parunya. “Iya, Dek, kamu memang agak keterlaluan waktu itu.”“Makanya, itu. Boleh, ya? Lagian dia pasti bisa bantuin aku dandan dan cari baju yang pantas.”“Ya, udah. Kamu boleh ajak dia.”"Asyik. Makasi, Mas." Sontak, perasaan Kania bagai dihinggapi ratusan bunga mawar yang baru mekar.***.“Selamat, ya, Mas atas jabatannya yang baru,” ucap Nisya yang duduk tepat di sebelah Kania. Ia begitu bahagia saat tadi Kania meneleponnya dan mengajaknya makan malam untuk merayakan kenaikan jabatan Dika.“Makasi, Nis. Maaf kalau undangannya mendadak. Kania yang tiba-tiba punya ide pengen ngajak kamu. Oh, iya, makasi juga sudah mengubah istriku jadi secantik ini.” Dika tersenyum sambil menggenggam erat tangan Kania. Seketika pipi Kania memerah. Namun, Nisya mencibir.“Iya, Mas nggak pa-pa. Kebetulan lagi nggak ada pelanggan penting. Jadi bisa ninggalin salon ke asisten aku.“Tak lama kemudian, seorang pramusaji datang membawa nampan dan mangkuk kecil di atasnya. Pelayan itu lalu meletakkan mangkuk berisi sup dengan irisan roti yang diletakkan di piring terpisah ke hadapan Dika, Kania dan Nisya.“Silakan dinikmati, Pak, Bu.“"Terima kasih,” ucap Dika, sedangkan kedua wanita di kanan kirinya hanya menganggguk pelan.Sepeninggal sang Pelayan, Kania yang baru pertama kali makan di restoran mewah tampak kebingungan.“Mas, kita cuma makan ini aja? Mana kenyang,” ucapnya pelan pada Dika yang masih bisa terdengar oleh Nisya."Ini baru makanan pembukanya, kok, Dek.""Oh, gitu." Kania mengangguk paham lalu mulai menikmati sup jamur yang aromanya sudah menggantung di hidung, dan membuat liurnya tertelan. Nisya seketika mengulum senyum. Dalam hati ia mentertawakan sikap Kania yang menurutnya sangat kampungan.Ia dan Kania memang sudah bersahabat selama dua tahun, tapi hubungan mereka bisa dibilang belum sedekat nadi. Tanpa setahu Kania, Nisya masih banyak menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Begitupun sebaliknya. Mereka dekat hanya karena sama-sama tinggal sendiri di perantauan. Kania yang ditinggal sang suami bekerja di luar kota, sedangkan Nisya yang sudah tidak bersuami.Sembari lidahnya bermesraan dengan sesendok kuah sup, Nisya mengalihkan pandangan ke arah Dika yang juga sedang menikmati supnya. Lelaki itu terlihat sangat tampan dengan balutan jas hitam Armani yang membungkus tubuh atletisnya.Sayang sekali, pria setampan kamu harus beristrikan seorang Kania yang kampungan, Nisya terus membatin.Dika yang sadar jika Nisya terus menatap sontak mengangkat kepala dan balas memandang sahabat istrinya itu. Tak dipungkiri jiwa lelakinya terganggu dengan penampilan seksi dan sorot mata tajam milik sahabat sang istri.Beberapa menit lamanya Nisya dan Dika saling beradu tatap. Keduanya seakan enggan memutus rasa yang sudah mulai timbul.***Dika baru akan membuka kotak makan yang Kania bawakan saat telepon di meja kerjanya berbunyi.“Hallo, siang.”“Pak, ada tamu untuk Bapak,” lapor resepsionis yang bernama Dita.“Siapa, Dit? Klien? Bilang saya sedang istirahat. Suruh kembali nanti di atas jam satu.”“Bukan, Pak. Ibu. Katanya mau mengantar makan siang buat Bapak.”"Ibu? Maksud kamu istri saya?""Iya, Pak. Kelihatannya, sih, begitu," ucap Dita yang membuat garis-garis halus di dahi Dika bermunculan..Kania? Ngapain dia ke sini?Dika sudah berpikir yang tidak-tidak. Lelaki itu khawatir kalau Kania akan membuat malu--dengan penampilan yang kuno dan tidak menarik. Itu juga yang menjadi alasan mengapa dia tidak pernah mengajak istrinya itu menghadiri acara-acara kantor.Namun, saat Dika akan bertanya lebih lanjut, samar terdengar suara seseorang yang sangat dikenalnya.Nisya? Mau apa dia kemari?“Bagaimana, Pak?”“Oke, Saya turun sekarang,” ujar Dika setelah meletakkan kotak makan siangnya ke dalam laci.Saat tiba di lobi, Dika langsung disambut Nisya yang siang itu tampak lebih memukau.“Mas,” sapa Nisya dengan suara manja. Bibir mungilnya yang berwarna merah muda sudah melengkung ke atas. Ia kemudian berdiri dan menghampiri Dika yang baru turun dari tangga.Awalnya Dika sempat ragu mau mengajak Nisya ke ruangannya. Hingga akhirnya wanita itu mulai bicara."Kita ke ruangan kamu aja, ya, Mas?""Bo-boleh." Dika lalu mengajak Nisya ke ruang kerjanya yang terletak di lantai tiga.“Kamu ada apa ke sini? Kok, nggak kasih tahu dulu? Kania juga nggak bilang apa-apa,” kata Dika pada wanita yang sudah duduk di hadapannya. Meski terlihat gugup, dia berusaha ramah.Sebenarnya Dika tidak nyaman berduaan dengan Nisya seperti itu. Terlebih mereka hanya dipisahkan oleh meja selebar 80 cm. Bukan karena tidak tertarik, belum tepatnya. Lebih karena Dika yang tidak terbiasa dipandangi wanita cantik bersorot mata tajam seperti Nisya."Sebentar aku kasih tahu Kania dulu, ya," ucap Dika berusaha mengalihkan perhatian Nisya darinya."Eh, jangan, jangan, Mas!" kata Nisya cepat. Tepat sebelum Dika menekan nomor Kania.Sontak, Dika memicing. "Kenapa, Nis?" Apa jangan-jangan dia punya maksud lain denganku?BersambungNisya langsung menarik ketat bibirnya, kemudian bicara, “Maaf kalau kedatanganku mengganggumu, Mas. Soal Kania, aku udah kasih tau dia, kok, tapi ponselnya mati,” katanya sambil melihat ke arah kiri atas. Ia lalu memandangi Dika hingga lelaki itu meletakkan ponselnya kembali ke dalam laci dan membuat Dika jadi salah tingkah. Meski sempat curiga Dika akhirnya mengangguk. “Oke. Nggak masalah. Aku cuma kaget aja. Biasanya nggak ada yang berkunjung pas makan siang. Apalagi tamunya tenyata kamu. Ada perlu apa, ya?"“Ini, Mas. Aku cuma mau kasih ini. Sebagai ucapan terima kasihku atas undangan makan malam kemarin.” Nisya mengangsurkan sebuah tas kecil berwarna merah yang bertuliskan Tupperware di atasnya. Hingga membuat Dika memandangnya dengan penuh tanda tanya."Apa ini? Harusnya kamu nggak perlu repot. Itu bukan hal besar. Lagipula aku mengundangmu karena permintaan Kania."Saat Dika menyebut nama Kania, dada Nisya sempat memanas. Tapi ia berusaha tetap tenang. "Mas pasti belum makan sia
Sebelum menyalakan mobilnya, Dika mengirim pesan pada Nisya. "Nis, kamu udah siap? Aku sebentar lagi sampai."Tidak sampai dua detik. Nisya pun sudah mengirim balasan. "Sudah sejak tadi, Mas. Aku tunggu, ya."Tidak sampai lima belas menit Dika tiba di kediaman Nisya yang hanya berjarak lima blok dari rumahnya. Namun, Dika sengaja memutar lewat jalan belakang kompleks agar tidak ada yang mencurigainya. Maklum saja waktu masih menunjukkan pukul 19.00 WIB masih banyak yang berlalu lalang. Awalnya Dika mau menyuruh Nisya agar bertemu langsung di kantornya tapi ia tidak tega. Selain itu pasti orang-orang kantornya akan merasa aneh. Jantung Dika terus berdebar-debar karena dua hal. Karena ia sudah membohongi Kania dan karena dia akan menemui Nisya. Sejak kedatangan sahabat istrinya itu ke kantornya, Dika jadi sering memikirkan Nisya. Terlebih setelah rekan kerjanya mengganggap bahwa Nisya adalah istrinya. Bukan Kania.Dika baru mematikan mesin mobilnya saat pandangannya terpaku. Matanya ba
Mentari sudah muncul malu-malu kala Dika memicing. Dengan matanya yang masih berat ia meraba sisi kanannya. Namun, ia mendadak sadar jika saat itu ia tidak berada di ranjangnya. Bahkan, tubuhnya seperti tersengat listrik kala melihat Nisya tengah menatapnya sambil tersenyum. Wanita beraroma vanila itu sudah tampil cantik seraya duduk di sisi sofa ruang tamu--tempat Dika terlelap semalam. "Kamu kenapa nggak bangunin aku?" ucap Dika sambil menegakkan punggungnya. Ia lekas mencari ponselnya dan langsung menepuk dahinya saat tampak puluhan kali panggilan dari Kania. "Enggak tega, Mas. Kelihatannya kamu capek banget.""Sstss," ucap Dika sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Ia pun langsung menelepon sang istri. Diabaikannya Nisya yang terus menatapnya tajam sambil mengerucutkan mulut. Beberapa detik kemudian terdengar suara Kania di ujung telepon. "Hallo, Mas. Akhirnya kamu telepon juga. Kamu di mana, Mas?""A-aku masih di .... di hotel, Dek. Maaf semalam rapatnya baru selesai tenga
"Aku sudah lama suka sama Mas Dika. Sejak pertemuan pertama kita, aku sudah jatuh cinta," ucap Nisya yang membuat Dika terbatuk-batuk.Nisya berdiri lalu menepuk-nepuk pelan punggung Dika. Nisya juga memberikan segelas air mineral pada lelaki itu.Setelah batuk Dika mereda, Nisya bicara lagi,"Aku juga tahu kalau hubunganmu dengan Kania sedang renggang.""Jangan sok tahu," ucap Dika gugup. "Kania yang bilang. Lagian terlihat jelas kok dari sikap Mas ke aku. Mas begitu nyaman denganku, bahkan Mas tidak pernah membicarakan tentang Kania saat bersamaku." Nisya menjeda kalimatnya beberapa saat. "Itu karena aku tidak ingin menganggu suasana hatimu. Nggak ada hal lain."Nisya kembali menghampiri Dika lalu melihat langsung ke matanya. "Katakan itu sekali lagi. Bilang kalau Mas nggak punya perasaan apa pun untukku."Beberapa menit ke depan, Dika hanya diam lalu menarik napas berkali-kali. Setelah Nisya menyatakan perasaannya, ia akhirnya menyerah. Tak ditampiknya lagi, bahwa sejak lama, ia
"Hati-hati, ya, Mas. Jangan lupa telpon kalau udah sampai sana.""Iya, Dek. Kamu baik-baik, ya, di rumah." Dika menjeda kalimatnya, tampak ragu melanjutkan pertanyaan. "Nisya ... jadi nemenin kamu?" Kania langsungmenekuk wajahnya hingga menimbulkan sedikit lipatan di kedua pipinya yang tembam. "Enggak jadi, Mas. Dia bilang nggak bisa. Mau pulang kampung.""Ooh, ya udah. Kalau kamu mau, aku izinkan ke rumah Bapak."Sontak, Kania membelalak. "Beneran, Mas?""Iya bener.""Aah, makasi, Mas," ucap Kania sambil memeluk Dika. "Eh, Mas. Nisya kan mau ke Semarang juga.Mas tahu? Kok bisa tiba-tiba barengan gitu sih? Apa jangan-jangan di belakangku kalian janjian?" Mendengar ucapan Kania, mata Dika langsung melebar. Wajahnya memerah dan dahinya berkeringat. "Eng-gak lah, Dek. Kamu itu ada-ada aja. Aku kan... aku kan mau kerja. Jangan asal nuduh!" kata Dika yang mendadak emosi. Mata Kania memicing, ia merasa sedikit aneh kenapa Dika tiba-tiba marah. Padahal kan ia hanya bercanda. "Mas, aku k
Tanpa setahu Kania, Galih kerap memperhatikan putrinya yang sering sekali melamun. Lelaki 60 tahun itu menduga bahwa sikap Kania itu ada hubungannya dengan kepergian Dika ke Semarang. Awalnya Galih tidak mau mencampuri urusan rumah tangga putrinya, tapi sebagai seorang bapak tetap saja ia merasa khawatir. "Kania, sini duduk dulu. Bapak mau bicara," ucap Galih memanggil Kania yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Sedangkan Galih sendiri sedang berada di teras. "Iya, Pak. Ada apa?""Dika kapan pulang?""Besok sore, Pak. Nanti sore juga Kania mau pulang, kok, Pak.""Bukan itu maksud bapak. Kamu mau tinggal. di sini sampai minggu depan juga boleh asal suamimu mengizinkan. Bapak cuma mau tanya. Apa sedang ada masalah dengan rumah tanggamu? Bapak perhatikan selama menginap di sini kamu sering sekali melamun."Kania terkesiap dia tidak menyangka jika bapaknya memperhatikan sikap anehnya. Namun ia tidak ingin bercerita apa yang sedang ia rasakan. Dia tidak mau membuat bapaknya semak
Selama mengandung, Dika meminta Nisya agar tetap berada di kontrakan. Tidak keluar rumah bahkan harus berhenti sementara dari salonnya. Ia tidak mau kalau Nisya kelelahan dan akan berakibat buruk pada calon bayinya. Selain itu alasan yang utama adalah karena Dika tidak mau jika Kania sampai mengetahui kalau Nisya sedang mengandung, karena Kania tidak tahu bahwa Nisya sudah menikah. Apalagi menikah dengan Dika. Untungnya Nisya menurut. Dia bahkan sangat bahagia karena Dika sangat memperhatikannya. Sebenarnya Dika mau mengantar Nisya ke kampungnya, atau tinggal bersama ibunya. Tapi Nisya tidak mau dengan alasan bahwa ia pasti akan sangat merindukan Dika. Dika pun tidak mungkin ikut Nisya tinggal di kampung karena harus bekerja dan juga bersama Kania. Akhirnya Nisya tetap berada di kontrakan tapi dia pura-pura pulang kampung. Nisya pun tidak boleh pergi jauh sendirian, karena Dikalah yang akan menyediakan semua kebutuhan Nisya dan calon bayinya. Keesokan harinya, Nisya kembali menemui
"Aawww! Kania apa-apaan, sih!" ucap Nisya sambil menarik paksa tangannya. "Jawab pertanyaanku tadi! Ada hubungan apa kamu sama Mas Dika? Dan Aksara, apa dia anak kalian?"Bola mata Nisya membesar. Jantungnya pun berdegup kencang. Jika saja dia tidak teringat akan perjanjiannya dengan Dika, dia akan senang hati mengakui pertanyaan Kania. Beberapa menit, Nisya terdiam dan mencoba berpikir cepat. "Kamu ngelindur ya, Kan? Kamu tuh ngomong apa, sih? Jangan asal nuduh, deh!""Aku nggak asal nuduh ya, Nis! Banyak buktinya. Aksara mirip banget sama Mas Dika dan dia deket banget sama kamu yang bukan ibunya. Satu lagi. Soal susu yang kamu barusan suruh aku kasih ke Aksara. Itu ASI, kan? Jangan pikir karena aku tidak punya anak, aku nggak tahu apa-apa, ya!" ucap Kania penuh emosi. Dadanya sudah sesak menahan rasa yang sangat tidak ingin ia alami. "Bukti apa lagi yang kamu mau?""Ya Tuhan gara-gara itu. Kamu tahu enggak. Susu itu adalah susu steril yang khusus aku beli buat kesembuhan Aksara da
Melihat Dika berdiri tak jauh dari posisinya, wajah Mahar sontak memerah. Urat-urat di dahinya langsung bermunculan. Ia pun mengepalkan tangannya kuat-kuat sambil menggemeretakkan gigi. Namun sedetik kemudian, kepalanya memutar ke arah Kania yang berdiri di sisinya. Keadaan wanita itu pun tidak jauh berbeda. Kania terus menunduk seraya meremas-remas jemarinya. "Tenang, Mir. Enggak usah takut. Ada aku," ucap Mahar seraya melingkarkan tangannya di bahu Kania dan mendekatkan tubuh wanita itu ke dadanya. Nisya pun seketika geram saat melihat Kania. Rasa cemburunya mendadak naik ke kepala. Terlebih melihat Dika yang terus memandangi Kania tanpa berkedip sedikit pun. Saat melihat Kania, Dika langsung menatapnya dengan pandangan penuh penyesalan. Ia ingin segera memeluk erat Kania tapi kakinya seperti terpaku. Dadanya mendadak sesak kala melihat Mahar melingkarkan lengannya di bahu Kania. "Sudah, Pak, cepat bebaskan suami saya. Saya tidak mau menghirup udara yang sama dengan mereka," uc
Bagi Argantara, uang adalah segalanya. Meski saat itu ia sudah menjadi seorang pengacara yang sukses dan terkenal, tetap tidak bisa mengurangi ketertarikannya pada uang. Ia bahkan berkali-kali menggadaikan idealismenya untuk membela koruptor, demi mendapatkan bayaran yang fantastis. Untuk melancarkan kasusnya, Argantara sudah sering melakukan praktek di bawah meja. Ia pun cukup terkenal di kalangan kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Tentu saja sebagai pengacara yang terkenal loyal dalam hal negatif. Dalam memberikan komisi yang tidak main-main demi membebaskan sang klien. Saat sore itu Nisya menghubunginya untuk meminta bantuan, tanpa pikir panjang Argantara pun langsung menerima, karena Dika merupakan salah satu klien penting di kantornya. ***Setibanya Nisya di kantor polisi, ia kembali dikejutkan dengan kondisi Dika yang kacau balau. Wajah suaminya itu babak belur dan masih ada sisa darah di ujung bibir kirinya. "Ya Tuhan, Mas Dika. Kamu kenapa?" ucap Nisya sambil mengusap
Kania menggigit tangan Dika hingga pria itu memekik kencang dan melepaskan tangannya dari mulut Kania. "Sebaiknya kamu menyerah, Mas! Agar hukumanmu tidak semakin berat." Kania kembali berlari ke pintu dan mencoba membukanya. Sayangnya Dika sudah berhasil menyembunyikan kuncinya.Bersamaan dengan itu, di lantai bawah, Mahar beserta dua orang petugas polisi sudah tiba di lobi hotel. "Selamat siang, kami sedang mencari seseorang," ucap petugas polisi bernama Alfred. "Ada apa, Pak?" "Apa ada tamu yang bernama Aldika Pratama?"Petugas resepsionis itu tidak langsung menjawab. Ia bingung apakah harus melaksanakan permintaan Mahar barusan, karena ia tidak boleh memberikan informasi mengenai tamu hotel kepada siapa pun. Beruntung sang manajer hotel ikut bergabung. Setelah mendengar penjelasan dari Mahar dan petugas polisi, dengan cepat ia menyuruh resepsionis itu mencari nama tamu yang dimaksud. "Iya benar, Pak. Dia menginap di sini sejak semalam.""Di kamar berapa?"Resepsionis berambut
"Sah," ucapan para jamaah Solat Jumat di masjid perumahan Galih tinggal membahana, menambah keharuan dan kesakralan suasana yang sedang tercipta: meski tidak dihadiri oleh mempelai wanita. Mahar lekas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mulutnya pun tak henti mengucap syukur karena saat itu telah resmi berstatus sebagai suami Kania. Bersamaan dengan itu, ingatannya terbawa ke masa satu jam lalu. Saat Mahar masih berusaha meyakinkan Galih bahwa ia benar-benar ingin menikahi Kania."Tapi Kania kan belum ketemu. Kita juga nggak tahu bagaimana keadaannya nanti? Dia masih hidup atau ...." "Pak, saya yakin Kania masih hidup. Dia pasti selamat. Lagi pula saya nggak peduli. Bagaimanapun keadaannya nanti, saya tetap ingin menikahi dia. Jadi tolong nikahkan kami."Galih akhirnya menyerah dan menuruti permintaan Mahar. Mahar pun lekas memberitahu Fitri agar segera hadir ke masjid tempat berlangsungnya akad nikah. Setelah acara selesai Galih langsung memeluk erat Mahar. Air mata lelaki it
"Gimana, Pak? Apa ada informasi?" ucap Mahar setibanya ia di kediaman Galih. Galih menggeleng lemah, "Bapak sudah menanyakan semua orang di sini tapi tidak ada yang mengaku melihat orang asing." Sebelum Mahar tiba, Galih sudah mengumpulkan semua tamu, termasuk tim penyedia fasilitas yang mereka libatkan dalam acara. Mahar mengerutkan dahi. Dadanya yang sudah memanas mendadak sempit. Mir, kamu di mana? Please, kasih aku petunjuk biar bisa nolongin kamu. Aku harap kamu baik-baik aja. Firasatnya kalau Kania diculik semakin kuat. Tiba-tiba salah seorang petugas katering melihat ke arah para tim sound sistem. "Personal kalian yang satu lagi mana?" "Ini sudah semuanya. Siapa yang kamu maksud?" kata pemimpin tim sound sistem. "Tadi itu ada orang memakai topi hitam dan masker keluar dari sini sambil membawa koper besar. Katanya dia membawa sound sistem."Mahar pun sontak mendekat. "Kenapa, Mas?""Ini, Pak, tadi waktu saya sedang sibuk membereskan meja untuk prasmanan, ada laki-laki yang
Setelah Kania terkulai, Dika lekas membopongnya dan menaruhnya di ranjang. Ia kemudian memasukkan tubuh Kania ke dalam koper besar yang ia temukan di dalam lemari Kania. "Jadi kamu dan Mahar akan bulan madu dengan menggunakan koper ini? Sayang sekali rencana itu aku hancurkan." Sesudah memastikan kalau kondisi aman: karena orang-orang masih sibuk di ruang depan, Dika lekas mendorong koper itu melalui pintu belakang. Ia juga menutupi wajahnya agar tidak ada yang mengenali. Lagi-lagi ia terbantu karena saar itu Galih sedang berada di depan menyambut para tamu yang berasal dari saudara jauh Kania. Dika lekas membawa tubuh Kania dan memasukannya ke mobil yang ia parkir di seberang rumah Galih. Ia sempat berpapasan dengan seorang petugas katering yang menanyakan mengenai koper yang sedang ia bawa, tapi Dika menjawab santai. "Ini hanya sound sistem." Karena petugas katering itu juga sedang sibuk menyiapkan penganan, ia langsung percaya dan tidak bertanya lebih lanjut. Tak lama setelah Di
Bagai kilat, Dika langsung mendekat dan memeluk erat Kania. Seketika aroma vanilla yang menguar dari tubuh Kania membuatnya terbuai. "Sejak awal melihatmu, aku sudah merasa kalau kamu Kania. Kaniaku. Kenapa kamu harus bohong?" "Lepasin! Kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" ucap Kania sambil mendorong kasar tubuh Dika. "Aku nggak bohong. Sekarang aku adalah Miranda. Karena Kania yang dulu kamu kenal, sudah mati!" Dika kembali mendekat. "Nggak usah menipu dirimu sendiri. Jelas-jelas aku dengar tadi kamu bilang kalau kamu masih mencintaiku." Wajah Kania yang putih semakin memucat. Ia pun lekas menghindari Dika dan mendekati Galih. "Dika! Jangan dekati anakku! Kenapa kamu kembali ke sini?" Galih maju selangkah ke depan Kania. "Pak, maaf. Tapi izinkan saya bicara berdua dengan Kania. Masih banyak yang harus saya sampaikan." "Kamu mau ngomong apa lagi, Mas? Urusan kita sudah selesai." "Urusan kita masih banyak, Kan. Dulu kamu main hilang begitu saja. Padahal masih banyak yang i
Saat Dika akan melangkah masuk ke rumah Galih, terdengar azan Maghrib. Dika sontak menghentikan langkahnya lalu masuk kembali ke mobilnya. Ia masih ingat betul bagaimana kebiasaan Galih. Mantan ayah mertuanya itu selalu salat berjamaah di Masjid. Dika tidak mau jika sampai bertemu dengannya. Dika masih ingat saat terakhir kali ia menemuinya, Galih memarahinya habis-habisan dan memakinya akibat ulahnya pada Kania. Dika masih sakit hati. Akhirnya Dika memutuskan menunggu sampaiB Galih pergi ke masjid.Setelah Galih pergi ke masjid, Dika turun dari mobilnya dan masuk ke rumah Kania. Kania yang sudah berada di kamar terkejut karena pintu rumahnya kembali diketuk."Kenapa Ayah balik lagi? Apa dia ketinggalan sesuatu?" Kania lalu bergegas keluar dan membuka tirai. Sontak, ia terkejut saat melihat Dika tengah berdiri tepat di depan pintu. Tubuh Kania seketika gemetar. Ia langsung menutup kembali tirainya dan masuk ke kamar.Namun, Dika kembali mengetuk hingga Kania akhirnya sadar."Ingat, kam
"Tante Miranda?" Aksara melepaskan pelukan Kania lalu memandang wanita itu."Maaf, Nak. Tante cuma teringat sama putra tante yang sudah lama pergi. Kalau dia masih ada, usianya sama denganmu."Aksara terdiam lalu bibir kecilnya membentuk lengkungan ke atas. "Nggak papa kok, Tante. Kalau Tante mau, Aksara bisa jadi pengganti anak tante.""Benarkah? Tante senang sekali." Kania lalu kembali memeluk Aksara."Tante aku berangkat sekolah dulu, ya. Takut terlambat. Pulang sekolah nanti apa aku boleh main ke rumah Tante?"Meski baru pertama kali bertemu Kania dalam sosok Miranda, Aksara pun sudah merasa dekat. Bahkan anak itu sudah sayang pada Kania seperti ia menyayangi Nisya. "Boleh, dong. Kamu hati-hati, ya," ucap Kania sambil melambai pada Aksara yang mulai menaiki kembali sepedanya. Setelah itu ia pun kembali menuju ke warung sayur.Di rumahnya, Fitri tersenyum lebar saat mendengar cerita Mahar bahwa Kania menerima lamaran putranya itu. Bahkan ia sampai tersedak dan terbatuk-batuk hing