Intan sangat terkejut dengan perubahan sikap Alex yang sangat mendadak. Ia bingung, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apa mungkin Alex sudah terpengaruh dengan perkataan papanya yang selalu menyudutkan Intan? "Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba sikapmu berubah? Apa ada sikapku yang membuatmu kesal?" tanya Intan. "Aku gak suka dengan orang munafik! Aku kecewa padamu, Intan," tegas Alex. Intan dan Alex duduk berhadapan di ruang tamu. Intan meletakkan plastik berisi makanan yang rencananya akan mereka makan bersama. Namun, amarah dan sikap Alex berhasil melunturkan semua selera makan Intan. "Munafik? Apa menurutmu aku munafik? Kenapa kamu tiba-tiba marah, Alex? Katakan semuanya sekarang juga! Sikapmu itu membuat aku bingung." Nada suara Intan meninggi. Ia mulai merasa kesal karena merasa tidak melakukan kesalahan fatal yang bisa menyebabkan emosi Alex terpancing. Intan berdiri dan menatap Alex. "Aku datang kemari dengan maksud baik, Alex. Aku membawakan makanan untukmu dan berharap kit
"Halo, Sam. Bagaimana? Apa Alex sudah merubah keputusannya? Kenapa kamu gak memberi aku kabar? Apa kamu sedang berusaha menghindar dariku dan perjanjian kita?" tanya Retno melalui panggilan telepon pagi itu. "Belum. Aku sudah berusaha menemui dia, tapi sayangnya Alex masih mempertahankan pendapatnya. Dia anak muda yang keras kepala. Aku harus memikirkan cara lain untuk memaksa dia.""Sam, apa kamu pikir ini perkara kecil? Apa kesehatan dan keselamatan anakku adalah hal yang sederhana untukmu? Aku harus berpacu dengan waktu, karena sewaktu-waktu Calista bisa berbuat nekat. Kamu malah menanggapinya dengan santai dan membuang waktu percuma seperti itu." Helaan nafas dan suara Mama Calista terdengar kesal. "Iya, aku tahu, Retno. Aku juga sudah berusaha keras, bahkan mengancam Alex akan kehilangan semua hak dan warisan dariku. Akan tetapi Alex sangat keras kepala, dia memilih kehilangan semuanya demi wanita itu. Saat ini dia tinggal di rumah kontrakan yang sederhana dan hidup menderita.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Papa Alex berusaha menghubungi putranya. Namun, Alex yang masih menyimpan rasa sakit hati pada sang papa enggan menjawab panggilan itu. "Sial! Kenapa anak itu gak mau menjawab teleponku?" rutuk Sam yang semakin gusar dan kesal. Ia mendengus kesal, menatap istrinya yang terbaring di tempat tidur mobil ambulans itu. Mama Alex masih memejamkan matanya, di dahinya masih terlihat cairan berwarna merah. "Ini semua karena kesalahan Retno. Seandainya dia gak membongkar rahasia itu, maka kecelakaan itu gak akan pernah terjadi. Awas kamu, Retno! Aku juga gak mau disalahkan atas kejadian ini. Bagaimana kalau istriku meminta bercerai dariku? Bagaimana kalau Alex dan seluruh keluarga tahu dan menyalahkan aku? Ah... Kenapa semuanya terbongkar saat ini?" Sam berbicara pada dirinya sendiri. Sam mencoba beberapa kali lagi untuk menghubungi Alex, tetapi hasilnya tetap nihil. Akhirnya, dengan terpaksa Sam meminta nomor ponsel Intan pada sekretarisnya. Ia tidak punya
"Saya Alex." Alex mendekati perawat itu. "Tunggu!" Papa Alex tiba-tiba mencegah Alex masuk. Ia merasa cemas istrinya akan memberi tahu Alex mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Alex dan Intan spontan berbalik, menatap Sam dengan penuh tanya. "Kamu tolong ke meja administrasi, biar papa yang menemani mama." Sam mengeluarkan kartu identitas dan sebuah kartu debit untuk membayar deposit biaya rumah sakit."Tapi mama memanggil aku, Pa. Aku juga ingin segera melihat keadaan mama," jawab Alex. "Nanti saja, masih banyak waktu. Kamu urus dulu administrasi dan semua biaya rumah sakit. Setelah itu baru kamu temui mama. Mamamu baru sadarkan diri, jangan sampai dia terkejut dengan kedatangan Intan. Papa cemas kondisinya justru akan semakin buruk karena Intan ada di sini." Sam berusaha meyakinkan Alex untuk menuruti perintahnya. Intan meremas jemarinya sendiri, sepertinya ia harus lebih sering menutup telinganya dari perkataan buruk di sekitarnya. Ia berusaha menguasai diri dan tidak terpanc
Mama Alex menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia menangis tersedu-sedu. Alex bisa merasakan hati mamanya yang terluka, karena ulah sang suami. Kebahagiaan dan keharmonisan selama bertahun-tahun lamanya hancur karena salah satu pihak yang tidak setia. Alex mengusap bahu mamanya dan berusaha untuk menenangkannya. "Sabar, Ma!""Alex, mama juga gak ingin mempercayai ini. Mama berharap ini adalah mimpi buruk yang akan segera berlalu saat mama terbangun. Akan tetapi mama harus melihat bahwa ini adalah kenyataan pahit yang gak bisa disangkal dan harus kita terima. Retno sudah mengungkapkan semua rahasia papamu," jawab Mama Alex. "Tante Retno, mamanya Calista?" Alex mengerutkan keningnya. "Iya, benar.""Apa Mama yakin Tante Retno gak membohongi mama? Dia pasti sedang sangat membenci keluarga kita, karena aku menolak untuk menikahi putrinya. Bagaimana kalau dia sengaja mengatakan semua itu untuk menyakiti hati Mama dan menghancurkan keluarga kita?""Cerita itu benar, Alex. Papamu juga
"Cukup! Jangan desak Alex lagi!" Suara Mama Alex terdengar parau di sela tangisnya. Semua orang yang ada di ruangan itu berhenti bicara dan menatapnya bingung. "Apa maksudmu, Ma?" tanya Papa Alex pada istrinya. Mama Alex berusaha duduk dan menegakkan tubuhnya. "Sam, aku ingin semua ini berakhir. Aku tetap akan mengajukan gugatan cerai. Retno, silakan saja lakukan apa maumu. Kali ini aku gak akan mengorbankan anakku untuk mengikuti keinginanmu dan Calista," katanya. "Apa?! Aku gak main-main dengan ancamanku. Kalian pasti tahu pengaruh dan reputasiku di dunia bisnis. Berita ini benar-benar bisa menghancurkan kalian," ancam Retno. "Aku gak peduli. Bagiku perasaan dan kebahagiaan Alex jauh lebih penting. Aku gak akan melindungi pengkhianat dan membiarkan dia tetap berada di rumahku," jawab Mama Alex. Wajah Papa Alex memerah seketika. Ia tidak menyangka istrinya yang selama ini lemah dan penurut tiba-tiba berubah sikap. "Ma, jangan lakukan itu! Aku gak mau bercerai darimu. Kita bisa
"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa wajahmu sedih seperti itu?" tanya Intan. Alex menghela nafas panjang, menatap sang kekasih. "Sayang, ada kejadian tak terduga semalam. Aku dan mama gak bisa tidur semalaman karena memikirkan masalah itu."Intan menggenggam tangan Alex dengan erat. "Ada apa? Apa papamu marah lagi? Apa ini karena kehadiranku di sini, Sayang?""Lebih dari itu, Sayang. Aku gak pernah bermimpi kalau kejadian ini akan menimpa keluargaku. Aku hampir putus asa memikirkan semua ini." Alex memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di dinding. "Ceritakanlah padaku! Aku siap untuk mendengarkan kamu, Sayang. Mungkin aku gak bisa memberikan solusi, tetapi aku akan mengusahakan yang terbaik dan menjadi pendengar setiap curahan hatimu," kata Intan. Intan tahu persis saat ini Alex membutuhkan dirinya, seseorang yang bisa mendengarkan dan meringankan beban di hatinya.Alex menundukkan kepalanya, ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Intan, orang tuaku akan bercerai.""Apa?! Kenapa menda
Kondisi kesehatan Mama Alex mulai membaik. Dokter sudah memeriksa dengan detail dan tidak menemukan luka yang fatal. Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Mama Alex diijinkan pulang ke rumah. "Ma, apa kita perlu memberi tahu papa bahwa Mama bisa pulang ke rumah hari ini?" tanya Alex sambil memasukkan barang-barang ke tas. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan rumah sakit itu. Selang infus yang tertancap di tangan Mama Alex juga telah dicabut. "Gak perlu, Nak," jawab Mama Alex dengan tegas. "Baik, Ma." Alex tidak ingin membahas masalah itu lagi. Ia berusaha menghargai dan menerima keputusan sang Mama saat ini. "Urusan administrasinya sudah selesai. Kita sudah bisa pulang, Tante, Alex," kata Intan yang baru saja kembali ke ruangan itu. "Terimakasih karena kamu mau membayar biaya rumah sakit mama, Sayang. Entah apa jadinya kalau kamu gak menolong kami saat ini," kata Alex. Intan tersenyum dan menatap Alex. "Bukan masalah besar. Ayo kita pulang!"Alex membawa tas pakaian dan b
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r