"Sherin, Calista, kalian memang keterlaluan! Sherin, apa ini rencanamu? Kamu sengaja mengundang Calista kemari untuk merusak hubunganku dengan Intan?" seru Alex. "Itu gak benar, Mas," jawab Sherin. "Iya, aku dan Sherin sudah lama gak saling berhubungan. Kita memang bertemu secara kebetulan di sini," kata Calista. Intan memalingkan wajahnya, ia merasa kesal dengan ulah Sherin. Kini wajah Sherin terlihat sedih, seolah dia yang menjadi korban karena Intan menyalahkan dirinya. Itu membuat Intan semakin kesal dan tidak tahan lagi berada di tempat itu. "Saya permisi. Terimakasih sudah mengundang saya." Intan berdiri menatap Sherin dan Calista. Ia tidak mau menundukkan kepala dan terlihat kalah di depan mereka. Intan meninggalkan meja itu, diikuti oleh Alex yang mengekori langkahnya. "Tunggu, Sayang!" Alex memegang lengan Intan, lalu keduanya pun masuk ke mobilIntan mendengus kesal, ia menyesal karena menyetujui ajakan Alex untuk pergi menemui Sherin malam itu. Sebenarnya sejak awal m
Air mata Intan tak berhenti mengalir, apalagi ketika ia melihat perawat memasang infus di tangan Darren. Darren menangis ketika jarum suntik mulai menusuk kulit tangannya. Ia meronta dan menolak, ingin melepaskan diri. Hati Intan terkoyak kala melihat buah hatinya merasa sakit, tetapi memang tidak ada pilihan lain. "Sabar, Sayang. Tahan sakitnya, ya! Darren anak mama yang hebat dan kuat. Mama akan selalu ada di sini, Nak," kata Intan sambil memegang tangan Darren. Alex yang selalu berada di sisi Intan juga merasa tidak sampai hati melihatnya. Setelah infus berhasil terpasang, Darren dipindahkan ke kamar perawatan. Intan berjalan sedih di belakang tempat tidur Darren yang didorong oleh perawat. Mereka masuk ke sebuah elevator besar dan menuju kamar perawatan di lantai atas. Alex menggandeng tangan Intan yang mendadak lemas. Alex berupaya memberikan dukungan dan kekuatan untuk Intan. Akhirnya mereka tiba di kamar VIP di rumah sakit itu. Ruangan kamar itu cukup luas, ada sofa dan tem
"Apa yang terjadi, Dokter? Anak saya kenapa?" tanya Intan. "Dia mengalami pendarahan, harus segera dilakukan transfusi darah untuk Darren," jawab dokter itu. "Ambil darah saya saja, Dok," kata Intan dan Alex hampir bersamaan. "Silakan kalian ikut dengan perawat ke ruangan untuk memeriksa apakah kalian bisa melakukan donor darah." Dokter itu menunjuk seorang perawat yang akan membantu Intan dan Alex. Tanpa membuang waktu, Intan dan Alex segera mengikuti perawat itu. Perawat mengambil sampel darah mereka secara bergantian. Intan dan Alex menunggu beberapa saat di depan ruangan itu. Intan tidak bisa menyembunyikan rasa gelisah di hatinya dan berjalan bolak-balik. "Sayang, jangan panik! Kita akan segera menolong Darren," kata Alex. "Tapi aku sangat takut saat melihat darah tadi. Aku gak sanggup melihat Darren menderita." Intan menghapus air matanya dan bersandar di pelukan Alex. "Iya, Sayang, aku mengerti ketakutan dan perasaanmu." Perawat itu keluar dari ruangan dan menyampaikan
Intan menatap dirinya di depan cermin, ia sedang bersiap-siap menuju ke kantor Tommy. Sebentar lagi sopir akan menjemput Intan dan mengantarnya ke sana. Sedangkan Alex akan menunggu di kantor Tommy dan menemani Intan menemuinya. "Ah, kenapa aku harus bertemu dia lagi? Aku benar-benar gak mau melihat atau bersinggungan dengan pria egois dan gak punya hati itu. Seandainya bukan karena Darren, aku gak akan sudi bertemu denganmu, Mas!" gumam Intan. Ia menatap Darren yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Jika bukan demi buah hatinya, Intan tidak akan melakukan hal itu. Ponsel Intan berdering, sopirnya menelepon dan memberi tahu bahwa ia sudah tiba di tempat parkir rumah sakit itu. "Bu, Intan pergi sebentar," kata Intan. "Kamu mau menemui Tommy?" tanya ibu. "Iya, gak ada cara lain, Bu. Intan harus memintanya mendonorkan darah untuk Darren," jawab Intan. "Apa susahnya Tommy langsung datang kemari? Darren juga anak Tommy, dan kita sedang berpacu dengan waktu. Bukankah Alex sudah
"Tunggu!" Suara Tommy menggelegar di ruangan itu, membuat Alex dan Intan spontan berbalik dan menatapnya. "Baiklah, aku akan ikut kalian untuk mendonorkan darahku." Tommy terlihat benar-benar merenungkan ucapan Intan yang menusuk hatinya tadi. "Benarkah? Kamu bersedia memberikan darahmu untuk Darren tanpa syarat apapun?" Intan kembali memastikan. "Iya, aku hanya ingin kamu sesekali memberi kesempatan bagiku untuk dekat dengan Darren. Bagaimanapun juga, dia harus tahu bahwa aku benar-benar papa kandungnya. Hanya itu yang aku inginkan saat ini," jawab Tommy. Intan terdiam sejenak, sebenarnya itu juga sangat berat baginya. Kalau Tommy sering menemui Darren, tentu itu artinya ia dan Tommy juga akan sering bertemu.Intan merasa itu tidak adil bagi dirinya, karena seharusnya Tommy memang tidak mempunyai hak lagi untuk berhubungan dengan Darren. Tommy sama sekali tidak pernah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang papa pada buah hatinya. Intan merasa kesal, karena baru sekarang Tomm
Selama di rumah sakit, Tommy rutin mengunjungi Darren. Beberapa kali ia berusaha menunjukkan di depan Intan dan keluarganya bahwa dirinya adalah papa yang baik untuk Darren.Tommy membawa mainan dan makanan untuk Darren. Ia mengajak Darren bermain bersama dan berusaha membuat putranya itu senang. Intan melihat hubungan Tommy dan Darren mulai membaik, Darren tidak lagi takut berada di dekat Tommy. Bagi Intan semua itu terlambat, Tommy baru datang setelah semua luka yang telah ia torehkan di hati Intan. Saat Tommy datang, Intan akan menjaga jarak dengannya. Ia memilih duduk di sofa, meminimalkan kontak apapun dengan mantan suaminya itu. Rudy sempat merasa kesal dan marah karena Intan mengijinkan Tommy mendekati Darren. "Mbak, kenapa sekarang Tommy bisa semaunya menemui Darren? Apa Mbak sudah memaafkan dia?""Rud, Mbak juga awalnya merasa gak rela saat Tommy mendekati Darren, tetapi kalau bukan karena bantuan Tommy yang bersedia mendonorkan darahnya, mungkin kondisi Darren gak akan
Tommy tersenyum sendiri melihat foto-foto dirinya bersama Darren di ponselnya. Wajah Darren yang imut dan menggemaskan, serta tingkahnya yang lucu selalu membuat Tommy merasa bahagia. "Ternyata anak kecil memang polos dan menggemaskan. Aku sangat suka berada dekat dengannya. Aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya." Tommy mengusap layar ponselnya, seolah menyentuh langsung wajah Darren dengan jemarinya. Baru Tommy hari lalu berjumpa dengan Darren, kini ia sudah sangat merindukan bocah itu. Ia sangat ingin mengunjungi Darren di rumah Intan, tetapi Tommy sadar bahwa Intan, ibunya, dan Rudy kurang berkenan dengan kehadirannya. Penyesalan memang selalu datang terlambat, Tommy baru menyadari kebahagiaan yang telah hilang darinya. Andai dahulu ia tidak berbuat bodoh, mengkhianati dan menyakiti hati Intan, mungkin dirinya sudah bahagia bersama keluarga kecilnya.Ternyata perasaan cinta untuk Intan juga bisa bertumbuh seiring dengan waktu yang berjalan. Jika saja
"Silvy, ini mama, Nak. Lihat siapa yang datang menjengukmu!" bisik Tante Pratiwi. Silvy menatap mamanya, lalu menoleh ke belakang, tempat Tommy berdiri. Untuk beberapa saat lamanya Silvy diam, keningnya berkerut seperti sedang berusaha mengingat dan berpikir. Tommy, Mama Silvy, dan perawat yang berada di ruangan itu menunggu reaksi Silvy saat melihat Tommy. Walaupun selalu menyebut nama Tommy, tapi mungkin reaksi Silvy akan berbeda saat bertemu langsung dengannya. Semuanya menunggu dan waspada, karena reaksi Silvy bisa saja di luar dugaan.Air mata mengalir membasahi pipi Silvy. Ia perlahan mendekat dan tidak melepaskan pandangannya dari mantan suaminya itu. Ada luka dan kesedihan dalam sorot matanya, tetapi sebuah senyum terbit di bibirnya. Silvy masih bisa mengingat dengan jelas siapa Tommy. "Mas Tommy." Lirih Silvy. Silvy mengulurkan tangannya yang gemetar dan menyentuh wajah Tommy. Namun Tommy terkejut dan mundur beberapa langkah untuk menghindar. "Kenapa kamu baru datang sek
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r