"Papa harus dirawat di rumah sakit, Nak. Papa sedang menghadapi masa kritisnya saat ini. Sekarang papa ada di ruang ICU dan gak bisa selalu ditemani. Kita doakan supaya kondisi papa cepat pulih, ya." Mama Calista baru saja memberi kabar pada putrinya melalui telepon. Alex yang ada di sampingnya turut mendengar perkataan Mama Calista dan merasa prihatin. Calista yang mendengar kabar yang kurang menyenangkan itu menangis tersedu-sedu. Kejadian buruk yang menimpanya terasa datang bertubi-tubi. Baru saja mengalami kecelakaan dan patah kaki, kini kesehatan papanya memburuk dan bisa saja membuat nyawanya terancam. Panggilan telepon itu berakhir, Calista meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Sejurus kemudian ia menatap Alex penuh kebencian. Ia merasa kesal, karena Alex yang menyebabkan kondisi papanya kembali memburuk. "Lihat akibat perbuatanmu, Alex! Puas kamu? Kondisi papaku bisa saja memburuk sewaktu-waktu dan itu karena kamu yang menyampaikan kabar mengejutkan untuk dia. Kamu ja
Sore itu Tommy datang ke rumah Intan untuk menemui putranya. "Selamat sore, Tuan. Mau cari siapa?" tanya asisten rumah tangga Intan. "Darren ada, Bi?" tanya Tommy. "Darren sedang berenang di kolam renang belakang rumah. Kalau Bu Intan sepertinya sedang ada di kamarnya," jawabnya. "Kalau begitu saya ke belakang dulu untuk menemui Darren," kata Tommy. "Apa Tuan sudah membuat janji dengan Bu Intan?" tanya wanita paruh baya itu. "Bi, saya ini papa kandungnya Darren. Saya rasa seorang papa gak perlu membuat janji untuk bertemu dengan anaknya," jawab Tommy. Tommy langsung masuk sambil membawa beberapa plastik berisi mainan dan makanan ringan untuk buah hatinya. Ia mengabaikan panggilan asisten rumah tangga itu yang berusaha untuk menahan Tommy di teras. "Pak, saya harus memberi tahu Bu Intan dan meminta ijin dulu padanya. Bapak harus mendapat ijin sebelum menemui Darren," terangnya. "Silakan tanya pada Intan, saya yakin kalau dia akan mengijinkan saya untuk bertemu dengan Darren. K
Papa dan mama Alex sedang berada di luar kota saat Papa Calista jatuh sakit. Melihat kejadian yang sangat penting dan bisa saja berpengaruh besar, Papa Alex menyempatkan waktunya untuk pulang dan menemui Alex. Ia sengaja tidak memberi tahu putranya atau asisten rumah tangga mengenai rencana kepulangannya. "Tuan, kenapa gak memberi kabar kalau mau pulang?" tanya asisten rumah tangga di rumah itu. "Sejak kapan aku harus minta ijin padamu untuk pulang ke rumahku sendiri?" Papa Alex langsung masuk ke dalam rumah. Wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja di rumah itu tersentak kaget. Dari ekspresi wajah dan perkataan tuannya, asisten rumah tangga itu bisa menerka dengan jelas kondisi emosi tuannya. "Mana Alex?" tanya Papa Alex. "Mas Alex belum pulang dari kantor, Mas," jawab asisten rumah tangga itu. "Ya sudah, tolong siapkan makanan dan minuman!" Papa Alex langsung menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Wanita paruh baya itu bergegas, menyiapkan makanan dan minuman
"Itu gak mungkin, Intan! Aku gak akan mau menikahi Calista dengan alasan apapun. Aku sudah menyampaikan hal itu dengan tegas pada papa," jawab Alex dengan cepat dan yakin. "Entahlah, Alex, sejujurnya aku gak bisa mempercayai ucapanmu sepenuhnya. Aku melihat dengan jelas, kalau papamu bisa mengatur dan mengendalikanmu sepenuhnya," kata Intan. "Jangan seperti itu, Sayang! Aku mohon, percayalah padaku! Tunggulah dan aku akan membuktikannya padamu!" bisik Alex. Tok... Tok... Tok... "Alex, apa kamu sudah siap?" Terdengar ketukan dari luar pintu kamar itu. "Sudah, Pa," jawab Alex. "Sayang, aku harus pergi sekarang. Ingatlah pesanku! Kamu harus tetap yakin padaku. Cuma kamu yang ada di hatiku, Intan," kata Alex sebelum mengakhiri panggilan telepon itu. Alex menghela nafas panjang, lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Entah mengapa, ada beban yang sangat berat di dalam hatinya. Ia juga tidak mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi nanti. Persoalan Papa Calista merupakan masalah y
"Apa?! Tapi itu gak mungkin, Om," jawab Alex. "Sst... Alex, tolong jangan egois di saat seperti ini! Kasihan Papa Calista, biarkan dia tenang!" bisik papanya. Papa Alex memegang tangan Papa Calista dan menatapnya dengan serius. "Kamu tenang saja! Alex akan melakukan apa yang kamu minta. Dia akan menjaga Calista dengan baik. Aku pastikan mereka berdua akan segera menikah.""Pa...." kata Alex. Namun pria paruh baya itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Alex tak bicara lagi. Alex mengerti bahwa itu adalah situasi darurat, tetapi ia tahu bahwa hatinya tidak dapat berbohong. Ia bungkam, tetapi hatinya terus bergejolak. "Ah, aku bisa pergi dengan tenang sekarang," kata Papa Calista. Sebutir air bening mengalir di pipinya, sebelum ia tersengal dan menghembuskan nafas terakhirnya. "Papa...." Calista berteriak dengan suara keras ketika tangan sang papa yang sedang ia genggam terkulai. Mama Calista yang berdiri dengan jarak beberapa langkah dari tempat tidur suaminya itu segera be
Intan memejamkan matanya dan bersandar pada sandaran tempat tidurnya. Rudy mengirimkan foto-foto yang memperlihatkan kondisi rumah duka itu. Tentu tujuan utama Rudy adalah memperlihatkan bahwa Alex berada di situ dan melakukan sesuatu yang bisa membuat Intan kembali merasa kecewa. Alex duduk di samping Calista dan memeluknya dengan erat. Sekalipun Intan lebih kuat dan tegar saat ini, rasa kecewa dan sakit hati tetap ia rasakan. Sebagai seorang wanita, mungkin sangat wajar jika Intan terluka dan kecewa karena merasa dibohongi dan dikhianati. Intan menerawang jauh, rasanya tak ada daya lagi untuk berharap dan merajut asa dengan Alex. Alex memang meminta Intan untuk menunggu, tapi entah sampai kapan semuanya akan kembali seperti dahulu. Intan baru tersadar dari lamunannya ketika Rudy membuka pintu dan masuk ke kamarnya. Intan mencoba menutupi rasa di hatinya. Ia berusaha menahan air matanya walaupun batinnya menjerit perih dan pilu. "Sudah pulang, Rud?" sapa Intan sambil berusaha meny
"Papa gak bisa memaksa aku. Aku ini manusia yang punya hati dan pikiran sendiri. Aku bukan robot, Pa!" seru Alex. Alex yang semula berusaha menguasai diri dan menjaga perasaan Calista dan keluarganya, kini tidak bisa lagi menahan diri. "Alex! Jaga sikapmu! Semua yang ada di sini sedang dalam suasana berduka." Nada suara Papa Alex meninggi. "Tapi aku gak bisa menuruti kemauan Papa. Aku gak pernah berjanji untuk menikahi Calista. Kalau Papa mau, silakan Papa yang menikahi dia.""Alex, keterlaluan kamu!" Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Alex. Semua orang yang ada di ruangan itu tersentak, tidak menyangka akan terjadi keributan di tempat itu. Mama Calista menangis dengan suara keras, sehingga beberapa saudara yang berada di dekatnya berusaha menenangkannya. "Jahat kamu, Alex! Apa kurangnya Calista di ?matamu sehingga kamu gak bisa menerima dia?" tanya Mama Calista. "Tante, Calista itu cantik dan sempurna, tetapi masalah hati tidak bisa dipaksakan. Aku berhak memilih wanita ya
Setelah acara pemakaman usai, Intan meninggalkan area pemakaman itu dan berjalan menuju mobilnya. Ia enggan berpamitan pada Calista dan Alex lagi. Intan membuka pintu mobilnya, namun tepat pada saat itu, Alex datang dan ikut masuk ke dalam mobil itu. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Intan. "Intan, aku ingin menjelaskan semua. Aku minta maaf kalau akhirnya jadi seperti ini. Ini benar-benar ada di luar kendaliku." Alex mengacak rambutnya sendiri. "Mau menjelaskan apa lagi? Semuanya sudah cukup jelas bagiku, Alex. Kamu memilih Calista daripada aku. Menurutku ini bukan hal yang aneh atau baru. Laki-laki memang akan selalu berpaling jika ada wanita yang menurutnya lebih baik, cantik, dan menarik," kata Intan dengan santai. "Bukan begitu, Intan. Aku terpaksa melakukan itu. Posisiku saat ini sangat sulit. Kamu harus tahu apa yang terjadi semalam.""Aku gak mau tahu apapun lagi, Alex. Jangan memakai banyak alasan atau menyalahkan orang lain atas keputusan yang kamu ambil! Jadilah p
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r