Tommy mengemudi mobil Intan dan mengantarnya ke rumah. Di sepanjang perjalanan, Intan hanya diam membisu dan menatap ke luar jendela. Ia sama sekali menghindari kontak apapun dengan Tommy. "Kamu gak apa-apa?" tanya Tommy setelah sekian lama berpikir dan mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan. Entah mengapa hanya untuk bicara dengan Intan, jantung Tommy berdebar kencang tak menentu. "Iya, terimakasih karena sudah menolongku. Seharusnya Mas gak perlu melakukan itu, karena aku bisa melindungi diri sendiri," jawab Intan. "Iya, aku tahu kalau kamu bisa menolong dirimu sendiri. Aku hanya gak rela orang-orang merendahkan kamu dan menyudutkanmu seperti tadi. Aku pasti akan membelamu dan melindungi kamu, Intan."Intan melirik mantan suaminya itu. Ingin rasanya ia tertawa, karena sikap Tommy saat ini sangat bertolak belakang dengan sikapnya dahulu. "Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan, Mas? Apa kamu salah makan atau minum sebelumnya?" tanya Intan. "Apa maksudmu? Tentu s
Siang itu Rudy sedang menghadiri acara makan malam yang diadakan oleh sebuah perusahaan ternama di kota itu. Seperti biasa, setelah acara makan malam, beberapa pengusaha saling berbincang dengan akrab. Banyak hal yang bisa menjadi topik pembahasan mereka, baik pembicaraan santai, kegemaran di waktu luang, bahkan rencana kerja sama bisnis di masa yang akan datang. Rudy cukup pintar menyesuaikan diri. Saat ini ia tampil sebagai sosok pengusaha muda yang cerdas dan kaya raya. Tidak ada lagi figur pemuda desa yang lugu dan biasa direndahkan dalam dirinya. "Pak Rudy belum menikah, ya?" tanya salah seorang pria yang duduk di dekat Rudy. "Iya, Pak," jawab Rudy sambil tersenyum. "Wah, tunggu apa lagi, Pak? Saya yakin dengan jabatan dan kekayaan yang Bapak miliki, banyak wanita yang mengantre ingin menjadi istri Bapak.""Saya belum memikirkan itu, Pak. Saya masih ingin fokus dengan karir dan pekerjaan. Saya akan menikah jika sudah menemukan orang yang tepat," jawab Rudy. "Wah, hebat sek
Agnes mengajak Rudy berjalan-jalan di halaman belakang rumahnya. Saat sedang jalan bersama, Rudy dan Agnes memang terlihat sangat serasi. Tubuh Agnes ramping dan tinggi semampai, sangat cocok berdampingan dengan Rudy yang juga memiliki tubuh tinggi. "Kamu kuliah di luar negeri, ya? Kenapa gak mau tinggal di sana?" tanya Rudy. "Iya, Mas. Aku cukup lama tinggal di Australia, dan setelah lulus kuliah, aku memilih pulang ke Indonesia. Walaupun di luar negeri cukup nyaman dan menyenangkan, sepertinya hatiku tetap terpaut pada kampung halaman," jawab Agnes. "Wah, ternyata kamu punya rasa nasionalisme yang tinggi," kata Rudy. Agnes tertawa mendengar perkataan Rudy, senyumnya sangat indah untuk dipandang. "Bukan begitu, Mas, aku lebih suka makanan Indonesia, juga orang-orangnya yang ramah. Papa beberapa kali membujuk agar aku mau pindah ke Singapura dan belajar mengelola bisnis keluarga, tetapi aku belum berminat.""Kenapa? Suatu saat memang papamu membutuhkan penerus untuk usahanya. Seh
"Jadi bagaimana rencana untuk hubungan kalian selanjutnya? Apa kalian sudah mengambil keputusan bersama?" tanya Mama Calista. Alex hanya diam, ia terlihat lesu dan tak bersemangat untuk membahas hal tersebut. Sebaliknya, Calista justru tersenyum manis, dalam benaknya sudah terbayang mengenai indahnya jalinan cinta di antara mereka berdua. "Ma, kami mau bertunangan dulu, agar semua orang mengetahui bahwa hubungan kami ini serius. Kami mau melaksanakan pertunangan secepatnya dan gak akan membuang waktu lagi," jawab Calista. "Apa itu benar, Alex?" tanya Mama Calista. "Terserah kalian saja," jawab Alex. Jawaban Alex yang menyiratkan rasa terpaksa itu membuat wanita paruh baya yang duduk di hadapannya menggelengkan kepala. Jika bukan karena putri manjanya yang sangat mencintai Alex, mungkin ia tidak akan bersikeras memaksa Alex seperti itu.Sejatinya Mama Calista menyadari bahwa ikatan cinta tidak akan bisa dipaksakan. Namun tidak ada pilihan lain, kebahagiaan Calista hanya tergantung
Tommy menatap lembaran kertas di tangannya dengan gelisah. Sudah setengah jam ia terpaku melihat angka-angka yang tertera di kertas itu. Tidak pernah perusahaan yang ia kelola mengalami kerugian sebesar ini. Tommy beralih menatap karyawan yang duduk di hadapannya. Adly, seorang pria berusia empat puluh tahunan itu hanya tertunduk. Kepala bagian keuangan di perusahaan itu bisa membaca ekspresi wajah Tommy yang menyiratkan dengan jelas rasa kecewa dan amarahnya. "Bagaimana ini bisa terjadi? Kita sudah berusaha mengantisipasi kerugian ini terus terjadi," kata Tommy. "Iya, Pak. Kita sudah berusaha menerapkan berbagai strategi, tetapi kondisi ini sepertinya di luar kendali kita," jawab Adly. "Lalu apa saranmu agar kita bisa bertahan dan melalui krisis ini?" tanya Tommy. "Mungkin dengan pengurangan karyawan dan memangkas biaya lainnya?" Adly balik bertanya. "Gak bisa seperti itu. Kalau kita mengurangi karyawan, berita buruk mengenai kondisi perusahaan ini akan beredar dengan cepat,"
Intan tersenyum melihat punggung Tommy kian menjauh dan pintu ruangannya tertutup. "Akhirnya kamu datang karena membutuhkan bantuanku, Mas," gumamnya. Ia merasa sangat puas melihat wajah Tommy yang lesu dan mengiba padanya. Dahulu di hadapannya Tommy selalu angkuh dan berkuasa. Ucapannya adalah titah yang menakutkan untuk Intan. Mungkin baru kali ini Intan berani menunjukkan taringnya di hadapan Tommy. "Wanita lemah yang dahulu diinjak dan disiksa olehnya, kini menjadi satu-satunya orang yang bisa menolongnya. Aku suka melihat kejatuhanmu, Mas Tommy. Aku sudah menunggu kesombonganmu berakhir," kata Intan. Rudy yang baru saja kembali dari pertemuan dengan koleganya masuk ke ruangan Intan. Ia melihat wajah sang kakak tersenyum ceria. Suatu hal yang jarang terjadi dahulu dan akhir-akhir ini. "Wah, ada apa ini, Mbak? Kenapa wajah Mbak sangat ceria? Apa Mbak baru mendapat keuntungan besar?" tanya Rudy. "Lebih dari itu, Rud," jawab Intan. Rudy duduk di kursi yang berada tempat di dep
Semua orang yang ada di ruangan itu diam dan menatap Tommy. Tommy duduk di sofa dan memegang kepalanya. Ia merasa sangat bodoh dan terjebak dalam situasi yang sama sekali tidak menyenangkan baginya. Andai saja bisa, ia ingin segera meninggalkan ruangan itu demi menyelamatkan harga dirinya. Tommy sadar sepenuhnya, kini dia hanya bisa mengandalkan Intan. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Intan yang duduk dan menyilangkan kaki dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Intan, tolonglah aku! Aku akan melakukan apapun agar kamu bersedia meminjamkan uang yang aku butuhkan," kata Tommy. "Aku akan memberikan uang itu dengan satu syarat," jawab Intan. "Apa itu?" "Bersujud di depanku dan minta maaflah! Seingatku kamu belum pernah meminta maaf padaku dengan tulus sebelumnya. Lakukan itu dengan tulus, Tomny Nugraha yang terhormat! Aku harap kamu belum melupakan apa yang kamu lakukan dahulu kepadaku. Aku dan anak dalam kandunganku sangat menderita, dianiaya secara fisik dan mental olehmu. K
Setelah menandatangani surat itu, Tommy melemparkan pena itu ke meja dengan kasar. Intan mengambil kertas bermaterai itu dan membacanya. "Bagus, Mas! Rudy akan mengirimkan uangnya saat ini juga. Aku senang bisa bekerja sama denganmu," kata Intan. "Oke. Aku akan pergi sekarang juga dari tempat ini. Kalian sudah puas melihat kondisiku saat ini, bukan?" tanya Tommy pada semua orang yang ada di ruangan itu. "Tunggu, Nak Tommy! Ada satu hal yang mau saya sampaikan pada semua yang hadir di sini. Silakan duduk kembali!" kata asisten pribadi Kakek Nugraha. Dengan langkah gontai, Tommy kembali ke tempat duduknya. Ia menunggu apa yang akan disampaikan oleh pria paruh baya itu. Asisten pribadi kakek membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah dokumen. Ia menatap sekelilingnya sebelum memulai pembicaraan yang serius. "Baiklah, saya hadir di sini atas perintah dari Bapak Nugraha yang saat ini masih ada di Singapura. Beliau menyatakan beberapa hal untuk disampaikan pada Nak Carlo, Nak Tommy, dan
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r