Retno jatuh tersungkur karena Sam mendorongnya lagi. Kali ini ia benar-benar ketakutan, karena belum pernah Sam melampiaskan amarahnya seperti itu. "Jangan macam-macam, Sam!" Retno mundur dan merapat ke dinding di belakangnya. Tidak ada lagi peluang baginya untuk melarikan diri dari pria yang sedang terbakar amarah itu. Beberapa asisten rumah tangga Retno berlari dan berusaha menolong sang majikan, namun dengan mudahnya Sam menepis mereka. Sam menggertak dan mengancam semua orang yang berani mendekat dan menolong Retno. Sam tak segan melukai siapapun saat ini. "Tolong! Siapapun tolong aku! Cepat hubungi polisi!" teriak Retno sambil menangis. Saat seorang asisten rumah tangga berlari diam-diam untuk menelepon dan mencari pertolongan, Sam melihatnya dan langsung mengancamnya lagi. "Kalau kalian berani menghubungi polisi, kalian dan majikan kalian ini gak akan selamat dari tanganku." Spontan asisten rumah tangga itu menghentikan langkahnya dan menatap sang nyonya dengan pasrah. Ca
Alex, Intan, dan Mama Alex baru saja tiba di kantor polisi. Mama Alex menatap nanar ke luar jendela dan berulang kali menarik nafas dalam-dalam. Tak mudah baginya untuk menjumpai sang suami yang sebentar lagi akan berpisah darinya. Apalagi Sam saat ini telah menjadi tersangka kasus penganiayaan. "Ma, kita sudah sampai. Kalau Mama gak siap untuk bertemu dengan papa, sebaiknya Mama di mobil saja. Gak perlu terlalu memaksakan diri, Ma. Aku juga hanya sebentar menemui papa. Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa papa bisa bertindak nekat seperti ini," kata Alex. Mama Alex menggelengkan kepalanya dan menatap Alex. "Mama akan ikut menemui dia untuk yang terakhir kali. Mama juga akan menunjukkan bahwa mama bisa kuat dan tegar di hadapan papamu. Mama mau hubungan ini diselesaikan secara baik-baik dan kita akan memulai lembaran hidup yang baru.""Baiklah kalau itu yang Mama inginkan, tapi Mama harus tenang. Jangan sampai terbawa emosi yang nantinya bisa berakibat buruk p
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Sayang?" tanya Intan pada Alex malam itu. "Aku akan menemui Calista dan mamanya. Walaupun aku gak ingin bertemu lagi dengan mereka, tetapi rasanya ini adalah satu-satunya cara terakhirku untuk menolong papa," jawab Alex. "Iya, aku mengerti. Bagaimanapun kamu adalah seorang anak, jadi pasti ada rasa sedih saat melihat keadaan papamu," kata Intan. "Ini adalah masa yang paling berat dalam hidupku, Sayang. Banyak kesulitan dalam hal usaha dan masalah lainnya selama ini, tetapi belum pernah ada yang seberat ini. Hatiku sangat hancur dan terluka saat melihat papa dan mama akan bercerai. Apalagi papa mungkin akan mendekam di penjara untuk beberapa waktu lamanya." Mario memijat pelipisnya. Intan menghela nafas panjang dan mengusap bahu Alex. "Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Kamu harus sabar, karena papa dan mamamu sangat membutuhkan kamu."Alex menggenggam tangan Intan dan menatapnya. "Aku merasa beruntung karena ada kamu di sisiku, Sayan
Alex menghentikan langkahnya dan menatap Calista. "Ada apa?""Aku akan mencabut tuntutan untuk papamu kalau kamu mau melanjutkan rencana pertunangan dan pernikahan kita," kata Calista. Alex dan Mama Calista terkejut. Mama Calista terlihat geram dan langsung bereaksi. "Calista, apa kamu sudah gila? Papa Alex sudah membuat kita terluka. Dia pantas menerima hukuman yang setimpal. Apa kamu bisa dengan mudahnya akan memaafkan perbuatan mereka dengan syarat menikah dengan Alex? Kamu gak punya harga diri lagi di hadapan Alex. Mama gak menyangka kalau kamu selemah itu."Calista terlihat sangat serius dengan ucapannya. Ia tidak menghiraukan lagi perkataan sang mama yang berusaha mencegahnya. Baginya menikah dengan Alex tetap menjadi keinginan terbesarnya saat ini. Alex memejamkan matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Keningnya berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. "Maaf, Calista. Aku menolak penawaranmu itu. Aku gak bisa bertunangan dan menikah denganmu," jawab Alex. "Ja
Siang itu Intan berencanaa untuk mengajak Alex dan Darren menemui Kakek Nugraha. Ini pertama kalinya Intan mengajak Alex bersamanya. Intan sangat menyayangi kakek dan menganggapnya seperti kakek kendungnya sendiri.Intan ingin memperkenalkan Alex sebagai calon suaminya pada sang kakek. Walaupun kini Intan sudah bercerai dengan Tommy, ia masih mengharapkan doa dan kasih sayang yang tulus dari Kakek Nugraha. "Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Intan sambil membuka pintu kamar putranya. Intan melihat Darren duduk di tempat tidurnya dan melihat beberapa gambar di hadapannya. "Loh, dari tadi koq Darren gak bersiap-siap? Kita harus segera berangkat ke rumah kakek," kata Intan. "Darren bingung memilih kado untuk kakek," jawabnya polos. Intan terkejut dan mengerutkan keningnya. "Kado apa, Nak?" "Ini, Ma. Menurut Mama, mana gambar yang bagus untuk kakek?" tanya Darren. Intan tersenyum melihat ekspresi wajah Darren yang sangat serius. Walaupun Darren baru beberapa kali berjumpa dengan Kakek
Mata Kakek Nugraha melotot ketika mendengar Intan menyebut Alex sebagai calon suaminya. Setelahnya, Kakek Nugraha terdiam dan menatap Alex dari ujung kepala hingga kaki. Intan melihat dari wajah Alex tersirat rasa canggung dan gelisah. Namun, pria itu tetap menyunggingkan senyum dan mencium tangan Kakek Nugraha. "Apa kabar, Kakek? Saya Alex. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Kakek secara langsung. Saya sudah banyak mendengar tentang kehebatan Kakek dalam berbisnis. Saya juga banyak mendengar cerita tentang Kakek dari Intan." Alex memperkenalkan dirinya. "Oh... Ayo kita masuk!" ajak Kakek Nugraha. Intan memberi isyarat pada asisten rumah tangga kakek, bahwa ia ingin mendorong kursi roda kakek. Mereka menuju ruang tamu rumah itu dan duduk di sofa minimalis berwarna putih. Ruangan demi ruangan di rumah itu terkesan asri, hangat, dan bersih. Intan melihat sekelilingnya dan sangat menyukai suasana rumah itu. "Kek, apa Mas Tommy sering datang kemari dan menjenguk Kakek?" tanya In
Gadis itu tersenyum penuh percaya diri. Lengkungan di bibir merahnya menandakan betapa senang hatinya saat Tommy menyebut dirinya sebagai calon istri. Tubuh gadis itu tidak setinggi Intan. Rambutnya diwarnai pirang dan berombak. Riasan yang cukup tebal menghiasi wajahnya yang terkesan sedikit ketus. Intan tersenyum tipis, ia mengetahui bahwa Tommy selalu menyukai wanita seperti itu. Secara fisik, gadis itu tidak jauh berbeda dengan Silvy. Secara fisik, mungkin memang seperti itu wanita yang selalu diidamkan oleh Tommy. "Nama saya Vanessa, putri Bapak Baskoro pemilik PT. Sukses Bersama. Kakek pasti sudah mengenal nama papa saya dan perusahaan kami, bukan?" Intan menelan salivanya. Ia bisa mendengar aroma kesombongan dalam nada suara Vanessa dan gaya bicaranya. Nama perusahaan milik Papa Vanessa memang sudah tidak asing di kalangan pengusaha. Intan melihat ekspresi wajah Tommy yang ceria, sangat berbeda dengan saat terakhir mereka berjumpa. Entah sejak kapan Tommy menjalin hubungan
Raut wajah Vanessa langsung berubah masam saat mendengar ucapan Darren yang menusuk hatinya. Tommy yang melihat ekspresi wajah Vanessa langsung memelototi Darren. "Darren, bisakah kamu bersikap sopan sama Tante Vanessa? Dia ini calon mama kamu, jadi kamu harus menghormati dia. Apa kamu mengerti?" teriaknya. Darren berlari ke pangkuan Intan dan meminta perlindungan darinya. "Mas, jangan berteriak seperti itu pada Darren! Dia masih kecil dan mungkin kondisi ini membuatnya bingung.""Justru karena dia masih kecil, kita harus mendidiknya dengan keras. Sejak kapan dia bersikap buruk seperti itu? Apa kamu gak bisa mendidik dia dengan baik? Aku rasa kamu memang terlalu memanjakan dia, Intan," kata Tommy. "Mas, sejak kapan kamu peduli dan memikirkan tentang cara untuk mendidik Darren? Sejak dia dalam kandungan, aku membesarkan dia sendiri. Apa kamu gak merasa malu berkata seperti itu? Kamu bahkan hampir gak pernah menjalankan peranmu sebagai seorang papa," jawab Intan. "Kamu... Ternyata
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r