"Tante...." Intan menatap mama dari kekasihnya itu. Wajah wanita paruh baya itu terlihat pucat dan lelah. Intan bisa melihat kantung mata yang menandakan bahwa wanita itu terus menangis dan tidak dapat tidur semalaman. "Intan, apa kamu tahu keberadaan Alex?" tanya Mama Alex. "Tante mencari Alex?" Intan menghela nafasnya, ia tidak sanggup ia berbohong pada wanita yang nyaris putus asa itu. "Iya, dia pergi dari rumah. Saya yakin kamu pasti mengetahui dimana dia berada. Apa dia ada di sini?" Mama Alex mengalihkan pandangan ke sekelilingnya. Belum sempat memberi jawaban, Alex keluar dari kamarnya dan mendekati Intan. "Mama...." katanya saat melihat sang mama berdiri di hadapannya. Air mata Mama Alex mengalir deras. Ia tidak dapat menahan diri untuk berlari dan memeluk putranya. Alex juga menghapus air mata yang luruh membasahi wajahnya. "Kenapa Mama datang kemari?" tanya Alex seraya mengusap punggung sang mama. "Tentu mama mencari kamu, Nak. Mama sangat mencemaskan keadaanmu. Mam
"Aku hanya...." Mama Alex terbata-bata, otaknya berpikir cepat mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan suaminya. Ia tidak pernah menyangka, anak suami akan mengetahui bahwa ia menemui Alex.Mama Alex sengaja tidak memberi tahu asisten rumah tangga kemana dia pergi pagi itu, juga tidak mengajak sopirnya. Namun Papa Alex lebih pintar, ia meminta orang untuk menyeliki dan mengikuti istri dan juga putranya. "Kamu menemui anak itu, kan? Apa yang kukatakan padamu semalam? Jangan pernah temui dia lagi! Dia sudah memilih keluar dari rumah ini, jadi biarkan dia menderita di luar sana! Aku mau lihat, sejauh mana dia bisa bertahan," kata Papa Alex. "Tapi dia anak kita, Pa. Kenapa Papa berubah seperti ini? Apa Papa gak menyayangi Alex lagi? Bagaimana kalau dia menderita di luar sana? Kalau memang dia gak mau menikah dengan Calista, mama rasa itu gak akan berpengaruh banyak bagi kita, Pa. Kenapa Papa terus memaksa dan mendesak kita?" "Itu salahnya sendiri, Ma. Kenapa dia gak mau mendengarkan
"Kamu mengancamku?" kata Papa Alex dengan nada suara meninggi. "Aku hanya meminta kerja sama darimu, Sam. Alex dan kamu sudah berjanji untuk menikahi putriku. Semua persiapan sudah kita lakukan, juga penentuan tanggal pernikahan tersebut. Calista, putriku sangat menginginkan pernikahan ini dan berharap semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Sayangnya Alex justru melanggar janji dan membatalkan rencana itu begitu saja. Selama ini kita mempunyai hubungan yang baik, Sam. Aku harap hubungan kita akan tetap bisa terjalin dengan baik dan saling menguntungkan. Selain itu, selama ini aku sudah menjaga rahasia itu demi kamu dan keluargamu. Bayangkan jika pada akhirnya rahasia itu terkuak! Aku yakin keluarga dan bisnismu akan hancur dalam sekejap, Sam," kata Retno. Papa Alex berdiri dan mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya menerawang jauh, mengingat kejadian yang telah lama dikuburnya. "Kejadian itu sudah lama berlalu, Retno. Untuk apa kamu mengungkitnya lagi? Seharusnya kita melupakan
"Apa kamu suka rumah ini?" tanya Intan sambil menatap Alex. Sebenarnya Intan sudah membujuk Alex untuk tinggal di salah satu rumah miliknya yang masih kosong. Intan saat ini sudah memahami pentingnya berinvestasi. Ia mempunyai beberapa rumah dan tanah sebagai tabungan bagi dirinya dan Darren. Alex menolak usul Intan itu dan memilih hidup mandiri. Alex harus membuktikan bahwa dirinya mampu bangkit dan menjadi pria yang dapat diandalkan. Alex tidak mau ada orang yang menilai bahwa dirinya memanfaatkan kekayaan Intan. "Iya, aku menyukainya. Rumah ini juga gak terlalu jauh dari rumahmu, jadi aku bisa datang setiap hari ke rumahmu untuk bertemu denganmu dan Darren," jawab Alex. "Tapi...." Intan tidak melanjutkan ucapannya. Ia tidak yakin bahwa Alex bisa bertahan hidup di rumah itu. Sekalipun memang rumah itu cukup nyaman, tetapi jelas ukurannya lebih kecil dan tidak bisa dibandingkan dengan rumah mewah milik Alex. "Ada apa?" tanya Alex. Intan balik bertanya, "Rumah ini kecil dan sang
Papa Alex terpaksa meninggalkan tempat itu dengan tangan hampa. Sia-sia ia membujuk Alex yang juga sudah yakin dengan keputusannya. Alex menatap kepergian papanya dengan mobil yang mulai menjauh. Ia menghela nafas panjang dan berharap kali ini sang papa bisa menerima keputusannya dan memahami dirinya. Intan mengusap bahu Alex perlahan, berusaha memberi dukungan bagi kekasihnya itu. Ia tahu persis bagaimana perasaan Alex saat ini. Bukan hal yang mudah untuk pergi dan meninggalkan semua kenyamanan yang Alex miliki. "Sabarlah, Sayang. Aku yakin semua masalah ini akan berlalu. Kamu pasti bisa melaluinya," ucap Intan. Alex menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia menggandeng tangan Intan dan masuk ke dalam mobil. Intan berinisiatif menyetir mobilnya karena mengerti bahwa Alex belum dapat fokus dan perlu waktu untuk menenangkan diri. Intan menghentikan mobilnya di depan warung soto ayam sederhana yang terletak di pinggir jalan. Ia melihat wajah Alex yang muram dan seperti sedang melam
"Maaf, Kek. Darren sedang kurang enak badan, jadi aku gak bisa membawanya malam ini," jawab Intan. "Apa anakku sakit? Darren kenapa, Intan?" tanya Tommy yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat Intan. Intan berbalik dan menatap mantan suaminya itu. "Hanya sakit ringan." Intan enggan memperpanjang pembicaraan itu dengan Tommy. Secepatnya ia ingin segera menghindar dan menjauh dari sang mantan suami. "Jangan meremehkan penyakit apapun, Intan! Besok aku akan membawa dia ke dokter," kata Tommy. "Gak perlu, Mas. Aku sudah membawanya ke dokter. Kata dokter Darren hanya sakit flu biasa. Dia hanya butuh banyak makanan bergizi dan istirahat. Saat ini kondisi kesehatannya juga sudah mulai membaik. Terimakasih untuk perhatianmu."Tommy mendekati Intan dan berbisik, "Intan, aku ini papa kandung Darren. Wajar kalau aku memperhatikan dia dan sangat cemas saat mendengar dia sedang sakit. Kamu gak perlu merasa canggung padaku. Kesehatan dan kebahagiaan Darren menjadi tanggung jawab kita bersama. Lag
"Mbak, aku mau ke toilet dulu. Mbak tunggu di mobil sebentar, ya!" kata Rudy. Keduanya pun berpisah, Rudy berbelok ke kiri dan menuju toilet. Sementara itu, Intan langsung menuju ke halaman depan restoran, tempat mobilnya terparkir. Sambil menunggu, ia mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Restoran yang terletak di tengah kota itu baru satu tahun berdiri dan hampir tidak pernah sepi. Tempat yang nyaman dan lokasi yang strategis membuat banyak pelanggan, juga pengusaha menggunakan tempat itu bukan hanya sebagai tempat makan, tapi juga berbagai berteman bisnis. Intan melihat beberapa orang keluar dan masuk melalui pintu utama restoran itu. Berbagai ekspresi terlihat dari wajah orang-orang itu. Intan menghela nafas panjang, merenungkan kembali keputusan kakek yang menimbulkan berbagai reaksi dari kaum keluarganya. Intan terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang yang memeluknya dengan erat dari belakang. "Siapa kamu? Lepaskan aku!" teriak Intan. Intan menoleh, berusaha melihat si
Intan sangat terkejut dengan perubahan sikap Alex yang sangat mendadak. Ia bingung, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apa mungkin Alex sudah terpengaruh dengan perkataan papanya yang selalu menyudutkan Intan? "Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba sikapmu berubah? Apa ada sikapku yang membuatmu kesal?" tanya Intan. "Aku gak suka dengan orang munafik! Aku kecewa padamu, Intan," tegas Alex. Intan dan Alex duduk berhadapan di ruang tamu. Intan meletakkan plastik berisi makanan yang rencananya akan mereka makan bersama. Namun, amarah dan sikap Alex berhasil melunturkan semua selera makan Intan. "Munafik? Apa menurutmu aku munafik? Kenapa kamu tiba-tiba marah, Alex? Katakan semuanya sekarang juga! Sikapmu itu membuat aku bingung." Nada suara Intan meninggi. Ia mulai merasa kesal karena merasa tidak melakukan kesalahan fatal yang bisa menyebabkan emosi Alex terpancing. Intan berdiri dan menatap Alex. "Aku datang kemari dengan maksud baik, Alex. Aku membawakan makanan untukmu dan berharap kit
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r