"Siapa Mulan?"Aku menatap wajah mama. Wanita itu terlihat begitu penasaran dengan nama yang barusan keluar dari mulutku. Segera aku memasukkan ponsel ke dalam saku gamisku."Mawar, siapa Mulan?" kembali mama bertanya hal yang sama."Bukan siapa-siapa ma, dia temannya Siti. Hari Minggu besok dia akan menikah." Jawabku berbohong.Mama tidak langsung menanggapi jawabanku. Wanita berumur empat puluh tahun dan masih terlihat cantik itu hanya tersenyum masam."Mama dan papa ada urusan penting. Jadi, kau tidak perlu repot-repot membuat minuman. Ayo, kita ke depan.""Kenapa cepat sekali Ma? Kalian baru saja datang." aku begitu kesal dengan sikap kedua orang tuaku."Sudah, jangan banyak protes. Papamu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.""Maksudnya, papa sakit?""Tidak sayang, tapi ada sesuatu yang terjadi. Biasa, ada masalah di kantor. Dan papamu berharap suamimu bisa ikut andil dalam urusan kantor. Tapi, tadi suamimu berkat telah memilih untuk bekerja di Hotel milik Hamzah. Lengkapla
Aku melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul delapan malam. Sepertinya tidak ada tanda-tanda kepulangan mas Akbar ke rumah. bagiku, hal itu tidak jadi masalah. Hanya saja, hati ini masih tidak terima dengan rentetan kebohongan yang terus dilakukan oleh Mas Akbar.Saat aku ingin menutup pintu rumah, betapa terkejutnya diriku saat ada sesosok tubuh manusia yang berdiri di teras rumah menghadap berlawanan denganku."Kyaaaaaaa!!!" aku membayangkan sosok kuntilanak sedang bertamu ke rumahku."MAWAR!"Kedua mata yang tadi aku pejamkan segera aku buka kembali untuk melihat siapa orang yang sedang memanggil namaku. "Siti?"Pak!Gadis itu memukul lenganku, terlalu keras sampai aku merasa ngilu dibuatnya."Sakit tau!" ucapku kesal sambil mengelus lembut lenganku."Lagian, kenapa harus teriak begitu? Apa kau sedang membayangkan bahwa diriku ini Kunti?"Aku nyengir kuda. Segera Memeluk erat tubuh Siti."Malam ini, nginap di rumahku saja, ya?" aku mencoba untuk membujuk Siti agar mau berm
"Jadi, kau memilih untuk bertahan dalam rumah tangga seperti ini?"Aku tersenyum getir mendengar pertanyaan Siti. Bukan bertahan, lebih tepatnya ingin menghancurkan semua hal yang telah merenggut kebahagiaanku."Mawar, jawab aku. Jangan seperti ini. Jujur saja, karena rumah tanggamu yang seperti ini justru membuatku jadi takut untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius lagi." Siti menyandarkan tubuhnya pada Sofa. "Aku memilih, bukan berarti aku ingin mempertahankan mas Akbar.""Lalu?""Aku ingin menghancurkan semua hal yang membuat hatiku sakit. Mas Akbar dan wanita itu. Keduanya harus hancur."Siti tak lantas merespon perkataanku. Wanita itu nampak bingung dengan jawaban yang aku berikan padanya."Caranya?""Apa kau dapat menjaga rahasia?"Siti mencubit lenganku, gadis itu nampak terlihat kesal dengan pertanyaanku."Aku ingin mendekati Selingkuhan Suamiku.""What?! Kau gila Mawar!"Segera aku berdiri dan melangkahkan kakiku menuju ke tangga untuk menuju ke kamar."Kau berminat tid
Beberapa saat dalam keheningan yang telah tercipta antara diriku dan Siti, sahabatku itu nampak menatap marah padaku."Ceraikan saja Akbar dan buat dia menyesal."Aku menggeleng cepat berusaha untuk terlihat baik-baik saja dihadapan Siti."Mau menangis?"kembali aku menggeleng sambil tersenyum."Mawar, sumpah aku nggak tahan sama semua ini. Aku ingin sekali Menghajar Akbar Sekarang juga. Tapi, siapa pengirim video ini? Nomornya masih belum kau save." Komentar Siti tersadar bahwa nomor tersebut belum tersimpan."Apa bisa kita lanjutkan besok saja? Dan video itu…apakah Mas Akbar bersama dengan wanita itu?"Siti berulang kali mengelus dadanya, berusaha untuk menetralkan emosi dalam jiwanya."Ya, mereka berhubungan seks di dalam kamar mandi. Apa kau mau lihat? Mending aku hapus..""Jangan! Itu adalah bukti-bukti yang aku miliki. Jika suatu saat nanti akan tiba waktunya, pasti Mas Akbar akan mengelak dan dengan bukti tersebut, pasti Mas Akbar tidak dapat membela diri lagi."Siti segera men
Abian tidak memperdulikan umpatan dan teriakan kemarahan mas Akbar. Pria yang dulu aku kenal dengan sifat sabarnya itu dengan cepat menarik tubuhku menjauh dari jangkauan Mas Akbar. Aku dapat melihat beberapa pasang mata penuh kekesalan menatap kepergianku dengan Abian. Tubuhku sama sekali tidak berontak atau sekedar mengatakan kata tidak saat Abian menuntun langkahku untuk bergegas keluar dari mall.Sesampainya di parkiran mobil, jujur aku merasa ragu dengan keputusanku pergi meninggalkan Mas Akbar."Tidak Abian, aku harus menolong suamiku."Abian tidak tinggal diam. Pria itu membuka pintu mobilnya dan mendorong tubuhku agar masuk kedalam."Abian, ini salah."Pria itu sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapanku. Mobilnya terus melaju keluar dari parkiran mall.Kali ini, aku menyerah pada keadaan. Biarkan kali ini aku bersandar pada pendirian Abian, walaupun aku tahu jika diriku kali ini salah meninggalkan Mas Akbar dalam keadaan seperti itu."Masih menyalahkan diri sendiri?"aku me
Suasana mendadak menjadi hening setelah diriku memberanikan diri untuk melemparkan pertanyaan pada Papa. Pria berumur lima puluh tahun itu terlihat mengalihkan pandangannya dariku."Jawab Pa…" lirihku sambil sesekali melemparkan senyum agar terlihat tegar di hadapan beliau.Papa tidak menjawab pertanyaanku. Pria berkacamata itu memilih untuk pergi meninggalkan diriku dan duduk di samping Mama. Kepalanya tertunduk dan tidak berani menatap wajahku."Ayo sayang, kita ke kamarmu." Mama beranjak dari tempat duduknya dan segera memapah tubuhku untuk berjalan.Rasanya begitu menyakitkan hati ini saat mengetahui orang yang seharusnya menjadi sandaran tempat untuk mengeluhkan kondisi hidupku, justru malah membuat suasana hatiku semakin kacau saja."Mawar, coba lihat mama." Aku menatap wanita yang telah bersusah payah melahirkan diriku ke dunia ini."Apa mama juga tidak percaya padaku?""Bagaimana kalau kalian bercerai saja, itu adalah pilihan terbaik Mawar. Rumah tanggamu sudah terlampau banya
"Kenapa lama sekali?" Mulan menatap kesal wajah pria yang baru saja memasuki kamar. Karena tak mendapatkan Jawaban, Mulan bergegas menghampiri suaminya yang terlihat begitu lesu."Apa yang terjadi?" Mulan mengelus lembut pundak Akbar. Pria berwajah tampan itu menyandarkan tubuhnya pada Sofa. Sudah sejak satu jam lalu, Mulan telah meninggalkan rumah sakit, karena luka yang dibuatnya sendiri tidak terlalu parah sehingga dokter sudah memperbolehkan Mulan pulang dengan catatan, dalam waktu tiga hari Ia harus kembali kontrol."Aku bertemu dengan istriku dan Selingkuhannya."Mulan hampir saja tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Akbar. Ini adalah kabar gembira bagi Mulan. Jika istri pertama suaminya itu benar-benar berselingkuh, besar kemungkinan Akbar akan menuntut cerai pada istri pertamanya."Lalu, apa yang terjadi Mas? Apa kau akan menceraikannya?"Akbar Mendelik tajam pada Mulan."Apa maksudmu bicara begitu? Apa kau mengharapkan agar aku dan istriku bercerai?"Mulan bungkam. Ia men
"Langsung pulang?" Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Abian. Pria itu terlihat masih konsentrasi menyetir mobil. Tidak banyak hal yang bisa aku katakan pada Abian. Jujur saja, aku malu pada dirinya yang masih saja mendukung sepenuhnya diriku. Secara tidak langsung, permasalahan yang saat ini sedang membelenggu diriku melibatkan nama Abian. Perlahan tapi pasti, nama Abian akan terus terekspos begitu saja dengan campur tangan Mas Akbar. Pasti suamiku itu akan membuat sebuah rencana."Lho, kita mau kemana Abian?" tanyaku saat menyadari arah jalan pulang berlawanan dengan arah jalan mobil."Pantai,"Pantai?Sudah berapa lama Mas Akbar tidak mengajak diriku bermain di pasir pantai dan menikmati hembusan angin pantai yang begitu menyejukkan."Putar balik, Abian.""Kenapa?""Pantai membuatku mengingat Mas Akbar. Maaf, untuk kali ini aku ingin pulang saja." Sahutku tanpa memandang wajah Abian. Wajahku sengaja melihat ke arah kaca jendela Mobil.Selang beberapa saat kemudian, Abian te