Beruntung Lastri dan Alya datang tepat waktu.“Vina liat mainannya sama Tante Lastri dan Tante Alya dulu, ya.” Dita mengulas senyum hangat pada putrinya dan mendapat anggukan kecil dari anak itu.“Kita lihat boneka yang di sana, yuk, Vina,” ajak Alya yang segera memahami situasi. Ketiga orang itu pergi meninggalkan Dita dan Bimo.“Kenapa kamu melanggar janji kamu, A. Bukankah kamu sudah mengizinkan Devina untuk menghabiskan waktu bersamaku hari ini? Lantas kenapa kamu mengusik kesenangan yang baru kami lewati beberapa jam ini?” Dita menatap kesal pada mantan suaminya tersebut.“Aku tidak tahu kalau kalian juga ada di sini. Aku hanya mengantar Nadiya yang ingin belanja keperluan Nada di sini,” elak Bimo.“Lalu kenapa kamu tidak membawa istrimu ke tempat lain dan malah membiarkan dia mengikuti kami?”“Kamu melihat sendiri bukan, bagaimana kerasnya Nadiya?”“Bukankah seharusnya sebagai suami, kamu bisa membujuk istrimu?” Dita mendesis kesal. “Oke, kita abaikan tentang istrimu yang terus
Bimo hanya bisa menghela napas pasrah dengan segala kekesalan yang sedang ia rasankan. Kedua wanita itu sama -sama keras kepala. Tidak. Setahu Bimo, Dita dulu bukanlah wanita seperti itu. Dita dulu adalah istri yang sanagat penurut dan patuh padanya. Ah, kenapa ia jadi mengenang masa lalu. Yang jelas, Bimo harus mencegah dua wanita itu bertemu lagi atau mereka akan membuat keributan dan mengundang perhatian para mengunjung yang lain.“Tante makasih, ya, udah beliin Vina ini,” ucap Devina sembari menujuk keranjang yang tengah ia dorong.“Sama-sama, Sayang. tante, kan, sudah janji sama kamu kalau hari ini Tante akan belikan apa pun yang Vina mau.” Dita menghentikan langkahnya dan wanita jongkok di lantai untuk mengimbangi tinggi Devina. “Besok tante harus pulang ke Malang dan tente enggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi. Jadi, hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, ya,” ucap Dita.“Iya, Tante,” balas Devina dengan senyum yang mengembang dikedua sudut bibir mungilnya. Dita seg
Bimo tampak mencengkeram sebelah tangan Nadiya yang terangkat dan nyaris melayangkan sebuah tamparan di wajah Dita. Rahangnya tampak mengeras, pertanda bahwa ia sangat murka atas perbuatan istrinya. Sementara itu, Dita refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menghindari tindakan kasar yang akan dilakukan Nadiya padanya. Mendapat serangan mendadak, Nadiya pun Sigap menoleh ke bekakang dan seketikan matanya membeliak sempurna, saat mendapati sang suami yang ternyata berusaha menahannya. "Kamu apa-apaan sih, Ä?" bentak Nadiya dengan tatapan murka. Jelas saja ia tidak terima atas perlakuan suaminya. Secepat kilat Nadiya berusaha mengentakkan tangannya, berusaha melepaskan dari cengkeraman Bimo. Nihil. Alih-alih melepaskan, Bimo justru menyeret wanita itu keluar dari pusat perbelanjaan tersebut. "A, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" Nadiya memberontak dan berusaha melepaskan tangannya berulang kali. Namun, lagi-lagi ia gagal lantaran cengkeraman tangan kekar di per
Dita memandang senang wajah cantik Devina yang tersenyum bahagia. Senyum yang telah lama tak dilihatnya, dan mungkin butuh waktu yang tak sebentar untuk melihat senyuman itu lagi.Jujur saja, Dita sangat tidak rela berpisah dengan putri kecilnya itu. Namun, dia pun tidak bisa melanggar janji yang telah dibuatnya kepada Bimo. Terkadang rasa egois menguasainya. Agar pergi dan hidup berdua dengan Devina."Mau pulang sekarang?" tanya Lastri memegang pundak Dita. Wanita itu tampak tersentak dan kembali ke dunia nyata."Ah ... i-iya. Kita pulang aja, yuk. Kasian Devina pasti capek," jawab Dita kikuk. "Iya, ‘kan, Sayang?" Ia mengalihkan pandangan ke arah Devina.Gadis kecil itu tersenyum lebar. "Aku masih kuat, kok, Tante. Tapi ...." Devina tampak ragu untuk menyelesaikan perkataannya.Sesaat Dita saling beradu pandang dengan Lastri dengan wajah yang tampak keheranan. "Tapi kenapa, Sayang?""Aku mau pulang saja, Tante. Aku mau sama Mama dan Ayah," jawab Devina ragu dengan nada yang semakin
Kedua sahabat itu mulai membersihkan dan membereskan rumah peninggalan orang tua Dita. Terlihat beberapa tetangga yang saling berbisik bertanya apakah anak pemilik rumah itu sudah kembali. Yang mereka tahu, Dita memang pergi ke luar negeri untuk menjadi seorang TKI. Dita tidak peduli dengan omongan beberapa tetangga yang membicarakan perihal dirinya yang tidak kembali saat orang tuanya meninggal, dan mencibir dirinya.Benar yang dikatakan Lastri, mereka benar-benar akan berkeringat hari ini. Kedua sahabat itu mulai memilah beberapa barang yang masih bisa dipakai dan memang harus dibuang.Barang-barang yang ada di dalam rumah pun masih dengan posisi yang sama saat terakhir ditinggalkan oleh pemiliknya. Dita mulai menurunkan foto-foto yang menempel di dinding dan membersihkan debu-debu yang menempel. Rasa nyeri itu kembali mengingatkannya pada dua orang terpenting yang sangat berarti dalam hidupnya selama ini. Helaan napas panjang terdengar dari wanita itu. Dita mulai melanjutkan kegi
“Mas Indra?” Dita berucap pelan sembari menatap pria di depannya.“Mas kapan datang? Kenapa tiba-tiba ada di rumah?” tanya Ayu sembari menghampiri pria tersebut.“Salim dulu,” ucap pria jangkung tersebut sembari menyodorkan tangannya di depan wajah Ayu, dan langsung disambut oleh remaja tersebut, lalu mencium punggung tangan pria itu. “Pintar,” ucap pria itu sembari mengelus pucuk kepala Ayu.“Mas, Ayu bukan anak kecil lagi,” protes Ayu yang memanyunkan bibirnya dan menepis tangan pria tersebut.“Dita?” Seorang wanita paruh baya yang muncul dari dapur segera berjalan menghampiri Dita. “Ya ampun, akhirnya ibu bisa ketemu lagi sama kamu.” Wanita paruh baya tersebut langsung memeluk Dita dan terisak.“Alhamdulillah, Bu. Tuhan masih memberikan Dita umur panjang, dan bisa kembali lagi ke desa kelahiran Dita ini,” ucap Dita yang membalas pelukan wanita paruh baya tersebut.Wanita itu semakin terisak dalam pelukan Dita. Sedangkan Dita hanya bisa mengusap lembut punggung wanita paruh baya i
“Mbak Dita, ya?” tanya wanita bergaun merah tersebut. “Iya. Maaf kamu ….” Dita tidak melanjutkan kalimatnya. “Kenalkan saya Inggrit, Mbak. Calon istri Mas Indra,” wanita itu memperkenalkan diri sembari tersipu. “Mas Indra meminta saya agar menjemput Mbak Dita dan Mbak Lastri untuk makan malam bersama di rumah Ibu,” ucapnya lagi.“Oalah. Maaf, ya, jadi ngerepotin,”balas Dita yang merasa tidak enak hati.“Tidak apa, Mbak. Mas Indra minta maaf tidak bisa menjemput, karena takut akan menjadi fitnah dan gunjingan para tetangga nantinya. Ayu juga masih mengerjakan tugas sekolah. Katanya biar cepat selesai supaya bisa ngobrol sama Mbak Dita setelah makan malam,” jelas Inggrit sembari tersenyum pada kedua wanita di depannya.“Ya ampun eggak tahu diri banget kita, ya, Ta. Udah numpang makan, enggak bantu apa-apa lagi,”celetuk Lastri. “Eggak apa, Mbak. Kami senang dengan kedatangan kalian, kok. Ibu sama Ayu jadi terlihat lebih ceria,” sanggah Inggrit. Ketiga wanita itu pun berjalan bersama
Dita tidak kuasa menahan air matanya saat Ibu memeluk tubuhnya. Wanita paruh baya itu juga menangis. “Dita baik-baik saja, kok, Bu. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dita. Dita yakin bisa melewati semua ini,” imbuh Dita yang sedang mengulas senyum tipis. Ibu mengangguk dengan air mata yang terus menetes. Ia hanya sedang menghibur Dita dengan percaya jika wanita itu baik-baik saja. Tidak ada orang yang baik-baik saja dengan sebuah perpisahan. Sebaik apa pun cara yang ditempuh, tetapi tetap akan meninggalkan luka dan kesedihan.Banyak hal yang ingin ditanyakan oleh wanita paruh baya itu pada Dita, tetapi dia juga tidak ingin kembali mengulik luka yang belum mengering. Dia tahu bagaimana perjuangan Dita terhadap mantan suaminya tersebut. Dita rela tinggal bersama suaminya di tempat asing dan jauh dari kedua orang tuanya. Bahkan Dita rela bekerja di negeri orang demi membantu perekonomian keluarga kecilnya, meninggalkan buah hati yang masih kecil. Dan ... setelah perjuangan itu, bukan k
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m