Dita tidak kuasa menahan air matanya saat Ibu memeluk tubuhnya. Wanita paruh baya itu juga menangis. “Dita baik-baik saja, kok, Bu. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dita. Dita yakin bisa melewati semua ini,” imbuh Dita yang sedang mengulas senyum tipis. Ibu mengangguk dengan air mata yang terus menetes. Ia hanya sedang menghibur Dita dengan percaya jika wanita itu baik-baik saja. Tidak ada orang yang baik-baik saja dengan sebuah perpisahan. Sebaik apa pun cara yang ditempuh, tetapi tetap akan meninggalkan luka dan kesedihan.Banyak hal yang ingin ditanyakan oleh wanita paruh baya itu pada Dita, tetapi dia juga tidak ingin kembali mengulik luka yang belum mengering. Dia tahu bagaimana perjuangan Dita terhadap mantan suaminya tersebut. Dita rela tinggal bersama suaminya di tempat asing dan jauh dari kedua orang tuanya. Bahkan Dita rela bekerja di negeri orang demi membantu perekonomian keluarga kecilnya, meninggalkan buah hati yang masih kecil. Dan ... setelah perjuangan itu, bukan k
Dita hampir saja kehilangan keseimbangan saat melihat pria yang sedang berdiri di depannya. Seperti mimpi. Keduanya tidak saling bicara untuk beberapa saat karena rasa terkejut yang masih menguasai diri. “Mbak Dita ….”Sampai panggilan dari Ayu menyadarkan Dita. Ia mengerjap beberapa kali dan menatap Ayu yang datang menghampirinya. “Loh, Mas Bimo kapan datang?” tanya Ayu menyapa tamu tak diundang tersebut. “Baru aja, Yu. Kamu apa kabar?” tanya Bimo, menyambut uluran tangan Ayu yang mencium punggung tangannya. “Udah gede, ya, sekarang,” imbuhnya yang mendapat senyum malu dari Ayu. “Alhamdulillah, baik, Mas. Ayu buatkan minum dulu, ya.” Remaja itu masuk ke dalam rumah.“Duduk, A,” ajak Dita yang mempersilakan tamunya untuk duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. “Apa yang membuatmu sampai datang ke sini?” tanya Dita saat mereka sudah duduk. “Kamu terlihat lebih beda sekarang,” puji Bimo yang mengabaikan pertanyaan Dita. Dita tersenyum getir. Sedikitpun ia tidak mau menata
“Mas Indra?” Dita kembali menepis dengan kasar tangan Bimo. Berhasil. Cengkeraman tangannya terlepas. Dita segera menghampiri Indra dan ibunya. “Kamu sudah tidak berhak lagi menyentuhnya, Bimo!” ucap Indra dengan tegas. Pria itu menghampiri Bimo. “Jangan ganggu dia lagi!”Dita cukup terkejut dengan ucapan Indra. Ia bisa menebak jika Ibu sudah memberitahu putranya itu perihal statusnya dengan Bimo saat ini. “Aku hanya ingin bicara dengan Dita, Mas.” Bimo membela diri. “Tapi tidak memaksa seperti itu, Bimo. Kami bisa melihat bagaimana kamu mencengkeram tangannya,” tukas Indra. Ia berbalik menatap Dita. “Ta, apa masih ada yang ingin kalian bicarakan?” tanya Indra pada Dita. “Enggak ada, Mas. Urusan kami sudah selesai,” imbuh Dita. “Ta—” “Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, A. Aku sudah tegaskan sama kamu.” Dita berbalik masuk ke rumah. Ibu menyusul di belakang wanita itu. “Maafkan ibu, Nduk. Ibu kasih tahu Indra tentang status kamu dan Bimo saat ini. Tadi ibu tidak se
Nadiya mengejar suaminya. Ia tidak akan membiarkan pria itu pergi begitu saja. Namun, Bimo bukan pulang ke rumahnya, melainkan pergi menggunakan motor.Tidak banyak yang bisa Nadiya lakukan selain menunggu suaminya pulang dan kembali menjelaskan pada pria itu.Tidak peduli dengan penjelasan Nadiya dan alasan yang diberikan oleh wanita itu. Bimo mendiamkan istrinya selama beberapa hari. Dalam diamnya Bimo mencari tahu tentang fakta yang sebenarnya pada Lastri. Rasa bersalah semakin menyelimuti diri pria itu. Dia bertekad untuk menyusul Dita ke Malang dan menjelaskan kejadian sebenarnya pada wanita tersebut. Tidak peduli apakah Nadiya akan setuju atau tidak. Karena Bimo tidak membutuhkan izin dari wanita itu.Sementara itu, Nadiya yang tahu jika Bimo pergi ke Malang untuk menemui Dita, semakin merasa resah dan takut.“Kejadiannya tidak akan sefatal ini kalau saja Ibu dulu tidak memberikan ide seperti itu padaku,” ucap Nadiya saat Mirna datang ke rumahnya untuk menanyakan apakah Bimo su
Dita masih merutuki diri sendiri. Dia benar-benar malu. Ingin rasanya menenggelamkan diri ke dasar bumi. Setelah makan siang, Dita diminta untuk istirahat lebih dulu sebelum sang majikan menjelaskan pekerjaannya."Ih, kamu kok, malah ketawa terus, sih, Sus!" kesal Dita. "Kamu juga kenapa nggak ngasih tahu aku kalau Tuan Daffin yang jemput. Aku nggak enak banget tau, Susi!" pekik Dita pelan. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya."Lagian masa setampan dan segagah itu dikira sopir, sih, Ta." Susi masih tertawa. "Aku sempat nggak percaya, tapi dia juga nggak bilang kalau dia itu bos aku. Dia juga bantu bawain barang-barangku ke bagasi mobil," imbuh Dita. "Dia marah nggak ya, sama aku, Sus?" "Tuan Daffin itu memang baik banget, Ta. Nggak cuman dia aja, sih. Tuan dan Nyonya Besar juga baik banget orangnya. Kamu tenang aja, Tuan Daffin nggak akan marah hanya karena kamu ngira dia sopir," kekeh Susi. Sembari istirahat, Susi sedikit menceritakan tentang pekerjaan Dita di sana.
Daffin beralih menatap Dita. "Maaf, mungkin karena kau mengenakan jilbab, Neira mengira kau adalah mamanya," imbuh Daffin. "Tidak apa, Tuan." Dita melambaikan tangan pada gadis kecil dalam gendongan Daffin. "Hai, Cantik," sapanya. "Mama." Lagi, Neira mengulang panggilan yang sama pada Dita. Gadis kecil itu bahkan meronta dari gendongan sang papa meminta digendong oleh Dita. Dita diam mematung. Meskipun ingin sekali menggendong anak itu, tetapi ia tidak berani jik belum mendapat izin dari Daffin."Sayang, itu bukan Mama. Namanya Sus Dita. Dia yang akan nemenin Neira main. Sekarang biar Sus Dita istirahat dulu, ya, Neira main sama papa." Daffin memberi pengertian pada putrinya. Ia takut Dita merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Dari KTP dan keterangan Susi, ia tahu jika Dita sudah menikah dan mempunyai seorang putri berusia 5 tahun. Daffin mempersilakan Dita untuk istirahat lebih dulu. Namun, baru wanita itu membalikkan badan dan belum melangkah ke luar dari ruangan tersebut
Dita memicing. Ingin bertanya, tetapi tidak mempunyai keberanian. "Terima kasih karena sudah menjaga Neira dengan baik hari ini." Daffin melanjutkan kalimatnya, memangkas sorot mata penuh tanya dari Dita. "Sama-sama, Tuan. Sudah menjadi tugas saya menjaga Non Neira dengan baik. Dia anak yang pintar." Dita menatap Neira yang sedang tidur dalam pangkuannya. Sederhana memang ucapan terima kasih yang diucapkan oleh Daffin pada Dita. Namun, kalimat sederhana itu bisa memberikan efek yang luar biasa. Seseorang akan merasa sangat dihargai dengan kalimat tersebut. Kalimat sederhana yang terkadang banyak orang melupakannya. Mobil Daffin sudah terparkir di basement apartemen. Dita masih menggendong Neira, sementara Daffin membawa barang-barang mereka. Dita segera memindahkan Neira ke kamar Daffin, karena anak itu memang tidur dengan ayahnya. "Kamarmu ada di sebelah kamar kami. Kamar mandi di lantai dua ada di sana." Daffin menunjuk pintu berwarna coklat di ujung ruangan. "Di lantai bawah
Silvia segera menghampiri Neira. Ia khawatir kalau cucunya itu mimpi buruk. "Sayang, ini oma." Silvia memeluk Neira. "Oma, Mama mana?" tanya gadis kecil itu. Sementara itu Dita yang baru datang hanya bisa berdiri di ambang pintu. Lega saat melihat nona kecilnya tidak menangis. "Mama," pekik Neira yang menyadari keberadaan Dita. Ia melepaskan pelukan omanya dan turun dari tempat tidur untuk menghampiri Dita. 'Mama?' Silvia bertanya dalam hati. Kenapa cucunya itu memanggil Dita dengan panggilan tersebut?Silvia segera menghampiri Neira. "Sayang. Itu bukan Mama. Itu namanya Sus Dita." Ia coba memberi pengertian pada cucunya. "Gak. Bukan Cus, Oma, tapi Mama." Neira masih kekeh. "Sayang dengerin oma, ya. Sini sama Oma dulu." Silvia masih berusaha membujuk cucunya. "Gak. Nela mau sama Mama." Neira mulai menangis dan meronta minta digendong oleh Dita. Segera wanita itu membawa Neira ke dalam gendongannya. "Non tenang, ya. Sus di sini." "Bukan Cus, Mama!" kesal Neira. Ia kembali me
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m