Daffin beralih menatap Dita. "Maaf, mungkin karena kau mengenakan jilbab, Neira mengira kau adalah mamanya," imbuh Daffin. "Tidak apa, Tuan." Dita melambaikan tangan pada gadis kecil dalam gendongan Daffin. "Hai, Cantik," sapanya. "Mama." Lagi, Neira mengulang panggilan yang sama pada Dita. Gadis kecil itu bahkan meronta dari gendongan sang papa meminta digendong oleh Dita. Dita diam mematung. Meskipun ingin sekali menggendong anak itu, tetapi ia tidak berani jik belum mendapat izin dari Daffin."Sayang, itu bukan Mama. Namanya Sus Dita. Dia yang akan nemenin Neira main. Sekarang biar Sus Dita istirahat dulu, ya, Neira main sama papa." Daffin memberi pengertian pada putrinya. Ia takut Dita merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Dari KTP dan keterangan Susi, ia tahu jika Dita sudah menikah dan mempunyai seorang putri berusia 5 tahun. Daffin mempersilakan Dita untuk istirahat lebih dulu. Namun, baru wanita itu membalikkan badan dan belum melangkah ke luar dari ruangan tersebut
Dita memicing. Ingin bertanya, tetapi tidak mempunyai keberanian. "Terima kasih karena sudah menjaga Neira dengan baik hari ini." Daffin melanjutkan kalimatnya, memangkas sorot mata penuh tanya dari Dita. "Sama-sama, Tuan. Sudah menjadi tugas saya menjaga Non Neira dengan baik. Dia anak yang pintar." Dita menatap Neira yang sedang tidur dalam pangkuannya. Sederhana memang ucapan terima kasih yang diucapkan oleh Daffin pada Dita. Namun, kalimat sederhana itu bisa memberikan efek yang luar biasa. Seseorang akan merasa sangat dihargai dengan kalimat tersebut. Kalimat sederhana yang terkadang banyak orang melupakannya. Mobil Daffin sudah terparkir di basement apartemen. Dita masih menggendong Neira, sementara Daffin membawa barang-barang mereka. Dita segera memindahkan Neira ke kamar Daffin, karena anak itu memang tidur dengan ayahnya. "Kamarmu ada di sebelah kamar kami. Kamar mandi di lantai dua ada di sana." Daffin menunjuk pintu berwarna coklat di ujung ruangan. "Di lantai bawah
Silvia segera menghampiri Neira. Ia khawatir kalau cucunya itu mimpi buruk. "Sayang, ini oma." Silvia memeluk Neira. "Oma, Mama mana?" tanya gadis kecil itu. Sementara itu Dita yang baru datang hanya bisa berdiri di ambang pintu. Lega saat melihat nona kecilnya tidak menangis. "Mama," pekik Neira yang menyadari keberadaan Dita. Ia melepaskan pelukan omanya dan turun dari tempat tidur untuk menghampiri Dita. 'Mama?' Silvia bertanya dalam hati. Kenapa cucunya itu memanggil Dita dengan panggilan tersebut?Silvia segera menghampiri Neira. "Sayang. Itu bukan Mama. Itu namanya Sus Dita." Ia coba memberi pengertian pada cucunya. "Gak. Bukan Cus, Oma, tapi Mama." Neira masih kekeh. "Sayang dengerin oma, ya. Sini sama Oma dulu." Silvia masih berusaha membujuk cucunya. "Gak. Nela mau sama Mama." Neira mulai menangis dan meronta minta digendong oleh Dita. Segera wanita itu membawa Neira ke dalam gendongannya. "Non tenang, ya. Sus di sini." "Bukan Cus, Mama!" kesal Neira. Ia kembali me
Dita masih diam tidak menjawab pertanyaan Daffin. Wanita itu semakin menunduk menyembunyikan wajahnya. "Apa kamu sakit, Dita? Kalau sakit kamu istirahat saja, biar aku bicara dengan Neira nanti." "Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja." Refleks Dita menggeleng dan mendongak. Netranya bersiribok dengan Daffin yang sedang menatapnya. Dita langsung kembali menunduk. "Baiklah. Kalau kamu sedang sakit jangan dipaksakan." Kembali Daffin berucap. "Istirahatlah." Dita mengangguk dan pamit untuk masuk ke kamar Susi. Daffin pun kembali ke kamar putrinya. Niatnya tadi hanya ingin menikmati langit malam di taman belakang. Pria itu sedang merindukan mendiang istrinya. Di tempat itu dulu mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Bercerita tentang kelahiran putri mereka. Menyusun rencana masa depan keluarga kecilnya kelak. Sayang, takdir memberi garis berbeda. Yang sudah Tuhan tuliskan tidak bisa untuk diubah. Termasuk kapan kematian itu akan datang. Tiga tahun hidup menduda. Tidak ada niat sedi
Dita masih mencerna jika ia tidak sedang bermimpi. Anak kecil yang sedang berdiri di depannya itu benar-benar Devina. Putri yang sangat ia rindukan. Cairan bening sudah memupuk di kedua mata wanita itu. Dita bahkan tidak menyadari jika Neira terus memanggilnya."Dita," panggil Daffin dengan mengguncang pelan lengan Dita. "Ya." Dita tersadar dan mengerjap. Tetesan bulir bening itu mulai menerobos membasahi pipi wanita tersebut. "Kamu baik-baik saja? Apa kamu mengenal anak itu?" tanya Daffin. Netranya menatap lekat wajah wanita itu. "Kamu menangis," imbuh Daffin sedikit berbisik. "Hah?" Dita segera menyeka air bening tersebut. "Maaf, Tuan." "Apa kamu mengenal anak kecil itu?" Daffin mengulangi pertanyaannya dan mendapat anggukan dari Dita. Devina berjalan mendekat ke arah Dita. "Tante Dita lagi liburan juga di sini?" tanya Devina. "Mama." Neira mengguncang lengan Dita. Gadis kecil itu menatap Devina yang juga sedang menatapnya. "Dede ini anak Tante Dita, ya?" tanya Devina denga
"Maaf, Dita, aku tidak tahu." "Tidak apa-apa, Tuan. Sejak awal saya memang tidak memberitahu Anda. Sebenarnya Daffin ingin bertanya kenapa anak kecil yang bertemu dengannya siang tadi, tidak tahu jika Dita adalah ibunya. Namun, Daffin takut akan membuat wanita itu semakin sedih.Daffin mempersilakan Dita untuk istirahat, karena wanita itu juga pasti lelah. Neira bangun saat Daffin sudah berangkat ke kantor. Daffin sempat menanyakan putrinya pada Dita, apakah gadis kecil itu menangis atau tidak. Pria itu menghela napas lega saat menerima laporan dari Dita jika Neira tidak menangis. Semenjak Dita menjadi babysitter putrinya, Daffin merasa lega dan bisa bekerja tanpa merasa khawatir dan cemas jika Neira akan menangis dan berdrama lagi. Siang ini, Silvia sengaja mampir ke kantor putranya untuk membahas perihal undangan makan malam dari orang tua Anggita. “Apa kamu yakin, Fin” tanya Silvia pada Daffin saat pria itu menjelaskan jika dia sudah bicara dengan Dita. “Iya, Ma. Dita nggak
Daffin dan Neira sudah siap saat Haryanto dan Silvia menjemput ke apartemen. "Cantiknya cucu oma," puji Silvia yang kemudian memangku Neira. "Sudah siap untuk pergi?" tanyanya."Sudah, Oma. Nela sudah siap temenin Papa," jawab anak itu dengan senyum yang menampakkan deretan gigi kecilnya. "Tapi Mama Dita nggak ikut dulu, ya," ujar Silvia lagi. "Iya, Oma. Mama udah kasih tau Nela." "Cucu Oma memang pintar," puji Silvia lagi.Neira turun dari pangkuan Silvia dan menghampiri Dita. "Mama, Nela temenin Papa dulu, ya. Mama jangan pelgi." Neira memeluk Dita. "Iya, Sayang. Dengerin Papa, Oma, dan Opa, ya. Neira 'kan anak pintar." Dita tersenyum sembari mengusap pucuk kepala anak itu. "Oke, Mama." Neira menyatukan ujung jempol dan jari telunjuknya hingga membentuk huruf O.Interaksi keduanya tak luput dari perhatian tiga orang dewasa yang ada di sana. "Kami pergi dulu, Dita. Terima kasih," ucap Daffin menatap Dita yang sedang menunduk. "Sama-sama, Tuan. Balas Dita masih terus menundu
Akhirnya malam ini, Daffin menemani Neira di kamar Dita bersama wanita itu. Rasanya sangat canggung berada dalam satu kamar dengan tuannya, tetapi Dita juga tidak bisa menolak permintaan Neira. Dita tidur di sisi kiri Neira, sedangkan Daffin di sisi kanan gadis kecil itu. Kedua orang dewasa itu sebenarnya tidak tidur, mereka hanya menemani Neira sambil bersandar di kepala tempat tidur. “Mama, tadi Nela tumpahin makanan telus kena baju Tante Gita,” adu anak itu. “Tapi Nela nggak sengaja, Mama,” imbuhnya kemudian. “Tapi Neira sudah minta maaf sama Tante Anggita?” tanya Dita. “Sudah. Nela nggak tau Tante Gita masih malah apa, nggak sama Nela.” Neira mendongak menatap Dita. “Tante Anggita pasti udah nggak marah lagi kok, sama Neira. Dia tahu, Neira tidak sengaja dan Neira udah pintar banget karena mau mengakui kesalahan Neira dan minta maaf,” puji Dita yang seketika membuat Neira berbinar bahagia. Malam itu, Daffin menemani Neira sembari mendengarkan putrinya bercerita pada Dita.
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m