Jani duduk di teras rumah Leon, berulang kali ia merenung, mengingat bagaimana Leon mengatakan cara menghargai dirinya sendiri. Selama ini Jani tak tau bagaimana dirinya harus bahagia, bagaimana caranya menemukan kebahagiaan lain untuk dirinya sendiri."Membahagiakan diri sendiri, apa yang bisa aku lakukan?" Ia bertanya pada dirinya sendiri.Terlalu banyak berpikir juga membuat perutnya yang hanya terisi semangkuk brokoli dan telur mulai meminta di isi ulang. Ia berdiri dan berjalan ke luar kamar, memastikan tak ada lagi Leon di rumahnya Jani berjalan ke dapur dan membuka lemari makan."Kosong?" Ucapnya kecewa, perutnya sudah berbunyi sejak beberapa waktu lalu."Dimana makanan tadi di simpan?" Ucapnya sendiri, kini ia beralih membuka kulkas dan hanya menemukan beberapa selada dan timun."Cari apa non?" Tanya bi Marni saat melihatnya berkutat di dapur sendirian.Jani terkejut dan menutup kulkas dengan cepat. " Ambil makanan bi, ada tidak?"Bi Marni tersenyum, ia sudah menduga Jani seda
Malam pertama sang pengantin baru, hawa dinging tak bisa membuat dua insan itu memadu kasih dengan indah, mereka bahkan kini duduk di ruang tengah bersama Ibu dan Sari di sana."Hancur sudah semua yang ibu lakukan! Malu ibu Amran, malu sekali!" Ucap Yuliana menangis meratapi nasibnya yang menyedihkan."Sari juga malu mas, niat hati mau tampil cantik depan pak Tomi atasanmu itu, tapi malah jadi urus mbak Lusi yang kena darah di mana-mana!"Amran hanya diam, dia.sendiri juga merasa tak terima dengan apa yang sudah terjadi."Mas yakin nggak punya musuh?" Kali ini Lusi bertanya dengan curiga, setelah di pikir, Lusi merasa mungkin Amran memang punya musuh tanpa dia tau."Musuh siapa, aku mana pernah berbuat jahat dengan orang!" Ucap Amran yakin."Ya tapi kamu jahat sama mbak Jani to mas, mungkin saja ini orang yang di bayar mbak Jani!" Sari berkata, ia masih merasa agak mencurigakan bila tiba-tiba kakak iparjya itu menghilang tanpa kabar.Amran dan Lusi saling pandang, sementara sang ibu d
Leon tersenyum mendengar ucapan Lusi, dia hampir saja tertawa sebenarnya namun berusaha menahan agar tak merusak rencananya."Bagaimana jika setelah ini kita ke salon sayang?"Leon mengeraskan suaranya, ia masih bertahan duduk di depan Amran dan Lusi, entah kenapa mendengar ucapan Lusi yang seolah tak percaya Jani berjalan dengan lelaki setampan dirinya membuat Leon ingin memberi mereka pelajaran.Jani melotot mendengar pertanyaan Leon, ia jadi salah tingkah, kenapa Leon memanggilnya sayang-sayang begitu!"Sayang, kenapa diam saja?"Jani semakin salah tingkah, ia ingin berlari namun tangannya ada dalam genggaman Leon."Kita akan ke salon Remember sebentar untuk membersihkan rambutmu yang berdebu dan kita beli beberapa baju baru di butik Aston, bagaimana?" Ia keraskan suaranya agar terdengar jelas.Mata Lusi membelalak, ia merasa begitu iri dengan keberuntungan wanita di hadapannya ini, ia mungkin bergaya dan berkulit putih bersih, namun dengan tubuh gemuk tentu saja Lusi merasa dia le
Lusi menatap Jani dan Leon yang menjauh, ia merasa marah, sangat marah, harga dirinya, bahkan kesombongannya di hancurkan begitu saja. Ia menarik tangan Amran mengikuti langkah kaki dua orang yang baru saja mempermalukan dirinya itu.Wajah Lusi semakin kesal saat melihat dua orang itu masuk ke dalam mobil sport mewah, bahkan dua lelaki yang membawakan sepatu baru itu masuk ke dalam mobil lain yang tak kalah mewahnya."Dia bukan orang sembarangan!" ucap Lusi dalam hati, ia merasa bahkan Amram suami barunya tak sebanding dengan lelaki tampan yang baru saja menghinanya tadi."Ada apa?" Amran menarik tangan Lusi, sejak tadi ia hanya diam menatap ke jalan."Ada apa, kenapa kamu diam saja saat aku di hina?" Lusi bertanya pada Amran, ia merasa kesal suaminya ini hanya diam saat dirinya di sudutkan."Aku sudah meminta maaf, apa lagi?"Lusi semakin tajam menatap Amran. "Maaf saja tak cukup membeli harga diriku!" Ucapnya ketus sambil menunjuk dada bidang Amran."Ya lalu aku harus apa?" Amran ma
Leon berhenti di sebuah departemenstore besar, ia membukakan pintu untuk Jani dan membawa wanita itu masuk ke dalam."Tunggu Leon, ini masih tutup!" Jani membaca dengan jelas papan bertuliskan close pada pintu masuk kaca itu."Lalu?" Leon hanya bertanya begitu namun tak menghentikan langkah kakinya."Ya lalu buat apa kita ke sini?" Tanya Jani heran, ia tak mengerti kenapa Leon tetap menariknya masuk."Rumah akan selalu terbuka untuk tuannya Jani!"Kalimat Leon membuat dua alis Jani bertaut."Rumah siapa yang dia maksud? Lama-lama cowok ini benar-benar tak waras!"Jani berkata sendiri, tak mungkin juga ia hina Leon terang-terangan, bisa habis dia di ceramahi.Sampai di depan pintu, Jani bahkan jelas melihat pintu itu masih terkunci dari dalam namun tak lama dua satpam dari arah seberang berlari menghampiri mereka."Leon, kita pulang saja yuk, jangan buat masalah lagi!" Ucap Jani menutup wajahnya, ia takut tiba-tiba viral masuk ke dalam berita karena kehaluan si tuan muda."Kenapa pulan
Sepanjang perjalanan, Amran dan Lusi saling diam, mereka sedang ada dalam pikiran masing-masing, hingga mobil Amran memasuki pelataran rumahnya.Lusi turun tanpa bicara, membanting pintu dengan kasar dan berjalan kesal masuk ke dalam rumah. Melihat hal itu Amran hanya diam, batinnya sesak terlebih bila mengingat kebodohan yang baru saja ia lakukan, dadanya terasa semakin bergemuruh.Sementara suaminya berdiam diri di mobil, Lusi masuk dan mendapati ibu mertua dan iparnya duduk di ruang tengah dengan wajah tak bersahabat."Mana Amran?" Tanya Yuliana"Di mobilnya!" Ucap Lusi singkat, ia lalu berjalan menuju pintu kamar."Cucian di belakang tu sudah segunung, kamu nggak ada niat buat nyuci?" Ibu mertuanya kembali bicara, sudah berhari-hari ia biarkan cucian baju di dalam ember besar, bukannya berkurang, Lusi justeru menambah lagi dengan tumpukan baju kerjanya.Lusi berbalik menatap ibu mertuanya. "Memang siapa yang biasa cuci baju di rumah ini?" Tanyanya heran, selama tinggal di sini ia
Aku berdandan rapi dengan baju terbaik yang kumiliki, gamis kuning berbunga merah, yang kubeli di pasar desa lebaran dua bulan lalu. Gamis yang kata Sari lebih mirip gorden karena warna dan besarnya, namun inilah baju terbaik yang ku punya.Kupakai bedak tabur Vi*a shaset yang juga, kubeli beberapa bulan lalu masih banyak tersisa, kuikat dengan karet gelang berwarna merah, semoga bisa sedikit menyamarkan wajahku yang kusam karena tak pernah terawat.Lisptik satu-satunya yang kumiliki, pemberian kawan juga beberapa bulan lalu. Dia bilang warnaya sudah tak lagi tren, memang tak bisa lagi diputar, isinya sudah habis hingga menjorok ke dalam. Tapi aku tak hilang akal, aku ambil Cuttonbud dan menyolek bagian dalamnya keluar, ku usap pada bibirku tipis, kini warnanya merah jadi jambu.Aku tau ini bukan penampilan terbaik, namun hanya ini yang kumiliki. Gamis ini juga bukan seleraku, aku membelinya karena memang ini yang paling murah dan cukup bila ku pakai. Gamis dengan ukuranku yang lain,
Yuliana memasak sendiri ikan lele yang baru di belinya, lama tak menyentuh semua peralatan dapur, wanita paruh baya itu merasa waktu begitu lama berlalu."Nih goreng!" Ucap Yuliana pada anak gadisnya, sejak tadi Sari hanya duduk di dekat pintu sambil memainkan ponsel, gadis itu merasa mual setiap kali ada darah keluar dari tubuh ikan saat di bersihkan."Ihh, nggak mau buk!" Gadis itu melompat, menjauh dari baskom berisi lele hitam yang telah di bumbui."Kok hitam begitu lelenya buk, aku nggak mau pengang!" Ucap Sari mengeliat jijik melihat lendir-lendir masih keluar."Jijik bagaimana to, ini ikan yang sering kamu makan pakai sambal terasi!" Umpat Yauliana kesal, ia sudah capek memukul dan membersihkan ikan itu, kini bahkan baunya begitu anyir."Ya tapi itu tinggal makan, ini masih mentah bentuknya begini ibuk!" Sari merengek kesal, jika bisa ia memilih pergi keluar rumah saja, namun Yuliana pasti tak akan memberinya izin."Nggak usah banyak ngeluh kamu, dari tadi ibu yang cuci, yang b
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil